Jakarta โ Gelombang kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah semakin terasa. Kebijakan yang lahir dari para menteri dan disahkan DPR dinilai tidak berpihak pada rakyat kecil. Alih-alih menghadirkan kesejahteraan, aturan-aturan itu justru menambah beban hidup masyarakat. (31/08/2025)
Dikutip dari berbagai akun media sosial, sejumlah kalangan mulai mengaitkan nama mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan kekacauan politik dan sosial yang terjadi belakangan ini. Narasi yang berkembang menyebutkan, fondasi masalah yang kini dirasakan rakyat tidak lepas dari kebijakan dan kompromi politik selama satu dekade pemerintahannya.
Sejumlah pengamat menilai, warisan problem struktural dari era Jokowiโmulai dari kebijakan pembangunan yang dianggap lebih berpihak pada investor, tumpulnya penegakan hukum, hingga praktik oligarki yang kian menguatโturut menjadi pemicu keresahan rakyat di masa kini.
Media internasional juga mencatat persoalan ini. Reuters (2024) menulis: โAlih-alih menguatkan demokrasi, Jokowi justru meninggalkan warisan politik yang memperlemah institusi demokrasi Indonesia.โ Sementara BBC Indonesia menyebut: โMeski dipuji atas pembangunan, Jokowi juga menghadapi kritik serius karena langkah-langkah yang dianggap melemahkan demokrasi.โ
โTidak bisa dilepaskan begitu saja, apa yang kita hadapi hari ini adalah kelanjutan dari arah kebijakan satu dekade sebelumnya,โ ujar Viktor, seorang analis politik di Jakarta.
Namun, ada pula suara yang mengingatkan agar publik berhati-hati dalam menuding. Menurut mereka, meski kebijakan di masa lalu meninggalkan jejak, tanggung jawab utama tetap berada di pundak pemerintah yang berkuasa saat ini.
โHukum seolah hanya tajam untuk rakyat kecil. Ketika menyentuh lingkaran elit, hukum seperti tak berjalan. Ini yang membuat kepercayaan publik ambruk,โ ujar Nanik, seorang akademisi hukum dari salah satu universitas negeri di Jakarta.
Dari kalangan mahasiswa, sebut saja Dedet, kritik diarahkan pada merosotnya fungsi DPR sebagai wakil rakyat. Banyak kebijakan dianggap hanya menguntungkan segelintir kelompok pemodal besar.
โDPR kehilangan legitimasi moral. Mereka lebih sibuk melayani kepentingan oligarki dibanding memperjuangkan suara mahasiswa, buruh, dan rakyat miskin kota,โ kata Dedet.
Hal ini sejalan dengan analisis The Conversation (2024) yang menyoroti warisan Jokowi: โDua warisan kontroversial Jokowi adalah menguatnya politik dinasti dan polarisasi politik. Keduanya meninggalkan dampak panjang pada lanskap politik Indonesia.โ
Kaum buruh juga menyuarakan keresahan. Serikat pekerja menilai aturan ketenagakerjaan selama Mulyono berkuasa hanya memperlemah posisi buruh di hadapan korporasi. Outsourcing makin marak, upah murah dibiarkan, sementara ruang negosiasi semakin sempit.
โNegara terasa absen melindungi pekerja. Padahal buruh adalah tulang punggung perekonomian,โ ungkap Joko, salah satu pimpinan serikat buruh Banten.
Dari kalangan petani dan nelayan, keluhan serupa muncul. Janji swasembada pangan tidak pernah tercapai, malah impor terus digencarkan.
โKami kalah di tanah kami sendiri. Petani padi dan nelayan tradisional dipaksa bersaing dengan produk impor murah. Ini pengkhianatan terhadap kedaulatan pangan,โ kata seorang aktivis tani di Jawa Tengah yang dikutip dari salah satu media lokal.
Sementara itu, tokoh agama menyampaikan keprihatinan moral. Mereka menilai krisis kepemimpinan selama dua periode terakhir bukan hanya soal ekonomi dan politik, melainkan soal hilangnya keteladanan.
โPemimpin yang seharusnya jadi contoh justru larut dalam budaya korupsi dan hedonisme. Jika teladan hancur, maka bangsa kehilangan arah,โ tutur Ahmad, seorang ulama di Riau.
Analisis dari berbagai elemen masyarakat ini menegaskan satu hal: satu dekade kekuasaan Mulyono dianggap gagal menyejahterakan rakyat, gagal menegakkan keadilan, dan gagal menjaga martabat bangsa.
Puncaknya, aksi protes pun bermunculan di berbagai daerah. Elit maupun DPR dinilai masih melanjutkan kebijakan era Jokowi, yang juga melakukan praktek kotor yang menyengsarakan rakyat. Dimulai dari demonstrasi di Kabupaten Pati tanggal 23/08/2025 hingga aksi โBubarkan DPRโ yang menyulut kerusuhan di berbagai daerah Indonesia (25/08/2025โ30/08/2025).
Magdalene (2024) menulis: โPemerintahan Jokowi kerap menggunakan hukum sebagai alat kontrol, membungkam oposisi, dan mempersempit ruang kebebasan sipil. Ini memperlihatkan pola manipulasi demokrasi yang sistematis.โ
Demonstrasi dilakukan sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan yang dinilai menyengsarakan. Namun, sebagian aksi berujung ricuh: perusakan, penjarahan, hingga bentrokan dengan aparat. Sejumlah tokoh masyarakat mengingatkan, kemarahan rakyat memang wajar, tetapi bila tidak terkendali justru berisiko merusak tatanan bangsa.
โKalau negara ini chaos, jangan salahkan bila asing ikut campur. Kita bisa kembali dijajah dengan cara baru,โ kata Zoel, seorang pengamat politik di Jakarta.
Di tengah situasi yang tidak menentu, muncul pula kekhawatiran terkait keberadaan Ibu Kota Nusantara (IKN). Sebagian rakyat menilai, bila Jakarta dan daerah lain dilanda kekacauan, para elit bisa saja berlindung di balik tembok kekuasaan di IKN.
โKalau negara ini pecah, siapa yang bisa menuntut mereka ke sana? Jangan biarkan Mulyono menang dengan strategi seperti ini,โ ujar AL, seorang aktivis mahasiswa.
Kekhawatiran itu membuat banyak pihak menyerukan agar rakyat menahan diri. Amarah yang tidak terkendali justru dikhawatirkan memberi ruang bagi elit menyelamatkan diri, sementara rakyat menanggung dampaknya.
Harapan kepada Presiden Prabowo
Dalam situasi yang semakin genting, sebagian rakyat menuntut Presiden segera turun tangan. Mereka berharap langkah nyata, bukan sekadar janji. Tuntutan yang muncul antara lain:
Kembali kepada UUD 1945.
Mencabut undang-undang yang dianggap menyengsarakan.
Mencopot Kapolri dan menghentikan dualisme di tubuh kepolisian.
Membersihkan aparatur penegak hukum dari praktik korupsi.
Mengembalikan Polri pada fungsi utama: pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat.
Jangan Biarkan Bangsa Ini Pecah
Bagi sebagian rakyat, keresahan ini bukan sekadar soal kebijakan, melainkan juga soal masa depan bangsa. Mereka mengingatkan, kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah dan nyawa pendiri bangsa terlalu mahal untuk dipertaruhkan karena amarah sesaat.
Seruan pun bergema: rakyat diminta tetap bersatu, menyalurkan aspirasi dengan damai, serta waspada terhadap strategi pihak asing maupun elit yang berpotensi melemahkan Indonesia dari dalam.
Kini, bangsa ini berada di persimpangan jalan: membiarkan negeri runtuh oleh kekacauan, atau berdiri tegak menjaga persatuan sambil menuntut perubahan dengan cara yang bermartabat.
Semua mata tertuju pada Presiden dan para pemimpin bangsa. Rakyat sudah bersuara lantang, tuntutan sudah jelas, dan keresahan makin meluas. Pertanyaannya: apakah situasi ini akan dibiarkan berlanjut hingga bangsa benar-benar pecah, ataukah langkah berani akan segera diambil demi menyelamatkan Indonesia?
Sejarah akan mencatat: di saat bangsa berada di ambang perpecahan, hanya keberanian untuk berpihak pada rakyatlah yang bisa menjaga Indonesia tetap berdiri tegak.
Tidak ada komentar