Jakarta โ Gelombang kekecewaan rakyat terhadap pemerintah semakin meluas. Kebijakan yang disusun para menteri dan disahkan DPR dinilai semakin jauh dari kepentingan rakyat kecil. Aturan yang lahir dalam dua periode kepemimpinan Mulyono justru memperberat beban masyarakat, sementara korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan tajamnya hukum ke bawah terus terjadi tanpa henti.
Selama sepuluh tahun terakhir, rakyat menyaksikan bagaimana janji-janji reformasi hukum dan kesejahteraan tidak pernah benar-benar terwujud. Dua periode kekuasaan Mulyono dianggap telah cukup membuktikan kegagalan dalam menjawab kebutuhan rakyat. Aparat semakin jauh dari fungsi pelayanan, keadilan terasa hanya untuk kalangan tertentu, sementara rakyat kecil dibiarkan menanggung beban hidup yang kian berat.
Di tengah situasi panas ini, desakan agar Presiden mengambil langkah berani kian menguat. Bukan sekadar mencabut undang-undang bermasalah atau mencopot pejabat, sebagian kalangan bahkan mulai menyuarakan opsi paling radikal: pembubaran DPR.
Secara hukum, Presiden memang berwenang menerbitkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) dalam keadaan genting dan memaksa. Namun, Perppu tetap harus diajukan ke DPR untuk mendapat persetujuan. Artinya, jika tujuan utamanya adalah membubarkan DPR, maka Perppu tidak mungkin dipakai, karena mekanisme justru menggantungkan nasibnya pada lembaga yang hendak dibubarkan itu sendiri.
Skenario yang tersisa adalah Dekrit Presiden. Langkah ini pernah ditempuh Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959 ketika membubarkan Konstituante dan mengembalikan UUD 1945. Dekrit semacam itu berada di luar jalur konstitusional biasa, namun bisa menjadi jalan pintas politik bila negara dinilai terancam pecah.
โJika Presiden benar-benar ingin membubarkan DPR, jalannya hanya lewat dekrit. Tetapi konsekuensinya sangat besar: bila rakyat mendukung, dekrit itu sah secara politik. Namun bila rakyat menolak, negara bisa masuk ke dalam krisis yang lebih dalam,โ ujar seorang pakar hukum tata negara di Jakarta, Minggu (31/8).
Bagi rakyat, desakan agar Presiden segera bertindak bukan sekadar soal pergantian pejabat atau perubahan regulasi. Ini adalah soal menyelamatkan masa depan bangsa. Kekecewaan semakin menumpuk, sementara keresahan terhadap strategi elit termasuk kekhawatiran bahwa mereka bisa berlindung di balik IKN membuat situasi makin genting.
Namun di tengah kemarahan yang meluas, tokoh-tokoh masyarakat menyerukan agar rakyat menahan diri. โJangan biarkan bangsa ini pecah hanya karena amarah. Kalau negara ini chaos, asing bisa masuk, dan Indonesia bisa kembali dijajah dengan cara baru,โ tegas seorang aktivis senior.
Kini, semua mata tertuju kepada Presiden. Rakyat sudah menyampaikan tuntutan: cabut undang-undang bermasalah, bersihkan aparat, hentikan korupsi, kembalikan Polri ke fungsi sejatinya. Tetapi bila DPR dianggap menjadi sumber kebuntuan, tidak sedikit suara yang mendesak agar Presiden mengeluarkan dekrit untuk membubarkannya. Pertanyaannya: apakah Presiden berani mengambil langkah sebesar itu? Ataukah situasi ini akan terus dibiarkan berlarut, hingga keresahan berubah menjadi perpecahan?
Sejarah akan mencatat: di saat bangsa berada di ambang krisis, hanya keberanian untuk berpihak pada rakyatlah yang mampu menjaga Indonesia tetap berdiri tegak. Dua periode Mulyono sudah cukup menjadi pelajaran rakyat tak lagi ingin dijerat janji, mereka menuntut perubahan nyata.
Dan kepada rakyat, jangan biarkan amarah menghancurkan persatuan yang kita miliki. Bangsa ini lahir dari pengorbanan darah dan air mata, jangan biarkan asing dan elit licik mengambil keuntungan dari perpecahan. Persatuan adalah senjata terakhir kita untuk melawan segala bentuk penindasan.
Tidak ada komentar