[gnpub_google_news_follow]
Example floating
Example floating
Example 728x250
Berita ViralSejarah

Membongkar Mitos Asal-Usul: Riau, Minangkabau, dan Distorsi Identitas Melayu

8668
×

Membongkar Mitos Asal-Usul: Riau, Minangkabau, dan Distorsi Identitas Melayu

Sebarkan artikel ini
Example 728x60
Spread the love

Mataxpost|Pekanbaru – Di tengah perdebatan yang kian intens soal jati diri kultural masyarakat Riau, terutama di wilayah daratan, satu narasi sejarah yang selama ini ditutupi atau diabaikan secara sistematis mulai kembali mencuat ke permukaan: bahwa sebagian besar kelompok masyarakat adat yang kini tinggal di Riau daratan bukanlah β€œMelayu asli” sebagaimana sering diklaim, melainkan memiliki akar sejarah dan garis keturunan yang kuat dari tanah Minangkabau, khususnya dari wilayah Pagaruyung, Tanah Datar, Sumatera Barat, menariknya, nama β€œMinangkabau” itu sendiri secara historis bahkan lebih tua dibanding entitas politik seperti Istana Pagaruyung ataupun provinsi modern Sumatera Barat..(07/08)

 

MataXpost.com
Example 300x600
Tiada Kebenaran Yang Mendua

Fakta ini tidak lahir dari spekulasi atau retorika adat semata. Ia muncul dari rangkaian bukti sejarah tertulis, pengakuan lisan para tetua suku, penelitian ilmiah etnografi, dan catatan kolonial Belanda yang telah dilakukan sejak abad ke-19 hingga kini. Suku-suku seperti Sakai, Talang Mamak, Bonai, Akit, dan kelompok pedalaman lainnya secara konsisten menyebut bahwa nenek moyang mereka berasal dari Minangkabau, baik melalui migrasi langsung, pelarian politik, perdagangan, maupun penyebaran adat dan agama.

 

Dalam tradisi lisan masyarakat pedalaman Riau, cerita tentang asal-usul dari Pagaruyung menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari identitas mereka. Hal ini diperkuat oleh struktur sosial matrilineal, sistem pembagian masyarakat ke dalam suku-suku (klan), praktik adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah, serta penggunaan rumah panggung dan tata ruang kampung yang sangat identik dengan adat Minangkabau. Bahkan dalam penggunaan bahasa sehari-hari, ditemukan kesamaan leksikal dan fonetik yang jelas antara dialek Riau pedalaman dan bahasa Minangkabau.

 

Sejarawan kenamaan seperti Taufik Abdullah dan peneliti lokal seperti Amir Hasan mencatat adanya gelombang migrasi besar dari Minangkabau ke Riau antara abad ke-14 hingga ke-18. Proses ini dipicu oleh konflik internal di Pagaruyung, ekspansi adat, misi dagang, serta penyebaran Islam ke wilayah timur Sumatera. Riau, yang kala itu merupakan bagian dari jalur strategis maritim dan sungai besar seperti Siak, Kampar, Teratak buluh dan Indragiri, menjadi tempat persinggahan dan pemukiman baru bagi banyak komunitas Minangkabau.

 

Namun, di tengah fakta-fakta ini, muncul narasi lain yang berkembang massif sejak era kolonial hingga kini, yakni bahwa Riau adalah negeri Melayu, dan masyarakatnya adalah β€œMelayu asli” yang sudah mendiami wilayah itu sejak zaman dahulu kala. Narasi ini belakangan digunakan secara politis dalam wacana budaya, otonomi daerah, bahkan kebijakan pendidikan dan identitas.

 

Di sinilah distorsi sejarah mulai terjadi.

Istilah β€œsuku Melayu Riau” sesungguhnya bukan entitas etnis murni, melainkan identitas kultural dan politis yang terbentuk melalui proses panjang akulturasi budaya pesisir, gelombang migrasi, dan penetrasi kekuasaan Islam sejak abad ke-13. Identitas ini dibentuk oleh pengaruh kuat dari Kerajaan Melayu Lama (Sriwijaya), lalu Kesultanan Melaka, Kesultanan Johor, dan Kesultanan Siak Sri Indrapura, yang semuanya berdiri di atas campuran unsur-unsur etnis: Minangkabau, Bugis, Jawa, Arab, India, dan Orang Laut.

 

Banyak tokoh-tokoh penting dalam sejarah Melayu Riau termasuk para Sultan Siak berdarah campuran. Beberapa di antaranya merupakan keturunan Minangkabau atau Bugis, dan membangun sistem kekuasaan yang tidak lagi berbasis etnis, tetapi berbasis loyalitas politik, agama, dan kekuasaan maritim. Naskah-naskah klasik seperti Tuhfat al-Nafis, Hikayat Siak, dan Sejarah Melayu secara gamblang mencatat keterlibatan berbagai kelompok etnis dalam pembentukan struktur kerajaan dan masyarakat pesisir.

 

Bahasa Melayu Riau modern pun bukan bahasa β€œasli” atau β€œmurni” dari suatu kelompok etnik tertentu. Ia adalah hasil pengembangan dari dialek Melayu pasar yang telah terpapar oleh bahasa Minangkabau, Bugis, bahkan Arab dan India. Bahasa ini difungsikan sebagai bahasa komunikasi dagang dan agama, bukan sebagai identitas etnis yang eksklusif.

 

Begitu pula dengan adat dan tradisi yang diklaim sebagai β€œadat Melayu Riau”. Banyak dari unsur adat tersebut merupakan adopsi atau adaptasi dari adat Minangkabau yang lebih dahulu berkembang di wilayah pedalaman Riau. Bahkan, sejumlah komunitas Melayu pesisir masih menjalankan praktik-praktik yang identik dengan sistem adat Minang, meskipun telah dimodifikasi dalam kerangka simbolik yang disebut β€œkemelayuan”.

 

Oleh karena itu, klaim bahwa Riau adalah negeri Melayu dan masyarakatnya adalah Melayu asli adalah sebuah sesat pikir yang tidak berdasar pada fakta sejarah. Ia adalah produk dari pembentukan identitas politis dan konstruksi kolonial yang bertahan hingga kini. Klaim semacam ini bukan hanya keliru secara akademis, tetapi juga berbahaya karena menghapus kenyataan historis akan keragaman asal-usul, mobilitas sosial, dan percampuran budaya yang membentuk wajah Riau hari ini.

 

Sebagai wilayah yang sejak dahulu menjadi simpul perdagangan, pelabuhan lintas bangsa, dan ruang migrasi terbuka, Riau tidak pernah dilahirkan dari satu akar tunggal. Riau adalah hasil dari persilangan akar: Minangkabau dari barat, Bugis dari timur, Arab dari selatan, Orang Laut dari pesisir, dan berbagai suku lain yang membentuk jaringan sosial, ekonomi, dan budaya. Inilah yang sesungguhnya menjadi kekayaan sejati Riau: identitas majemuk yang dinamis, bukan purifikasi identitas semu.

 

Redaksi menegaskan bahwa sejarah tidak berpihak pada klaim-klaim asal-usul yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Sejarah tidak mengenal β€œasli” dalam arti mutlak. Yang dikenang oleh sejarah adalah mereka yang membentuk peradaban, menjaga warisan, dan menghormati akar yang beragam. Bukan mereka yang paling lantang mengklaim tanah atau identitas sebagai milik tunggalnya.

 

Kini, saatnya masyarakat Riau melihat cermin sejarah yang jujur. Menerima kenyataan bahwa sebagian besar dari kita adalah anak dari migrasi, keturunan dari silang budaya, dan pewaris dari tanah yang dibentuk oleh banyak leluhur, bukan satu.

 

Sejarah adalah warisan bersama yang kaya, kompleks, dan seringkali dibentuk oleh berbagai sudut pandang. Dalam menelusuri asal-usul identitas dan tokoh-tokoh penting dan sangat penting bagi kita untuk bersandar pada bukti sejarah yang dapat diverifikasi, baik dari naskah klasik, tradisi lisan, hingga catatan kolonial dan penelitian ilmiah.

 

Namun demikian, penyampaian fakta sejarah tidak dimaksudkan untuk menegasikan identitas kelompok manapun, melainkan sebagai bentuk penghormatan terhadap keragaman akar budaya yang telah membentuk wilayah Riau dan sekitarnya.

 

Mari kita jadikan sejarah sebagai jembatan pemahaman, bukan sumber perpecahan. Sebab bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenali sejarahnya secara jujur dan tetap menjaga persatuan dalam keberagaman.

 

Sumber Referensi:

Hikayat Siak, Tuhfat al-Nafis (oleh Raja Ali Haji), Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu), Arsip VOC dan catatan perjalanan Thomas Stamford Raffles, β€œDe Maleiers van Siak” oleh P. Voorhoeve, Taufik Abdullah – “Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, M. Junus Djamil – β€œSejarah Perkembangan Adat Minangkabau”, Syed Hussein Alatas – β€œThe Myth of the Lazy Native”,Pengakuan lisan dari:Suku Sakai, Talang Mamak, Bonai, Petalangan, Anak Dalam, Akit, Anam, dll.

Example 250x250
Example 120x600
banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Example 468x60