Mataxpost | Jakarta – Di tanah basah yang harum oleh padi muda, di kaki-kaki bukit Tanah Datar, berdiri batu-batu tua yang seakan berbicara tanpa suara. Goresan halus di permukaannya adalah pesan dari tujuh abad silam, ditulis untuk melawan pelupaan. Batu-batu bersurat ini adalah peninggalan Adityawarman, raja Minangkabau abad ke-14 yang darahnya mengalir dari dua mata air besar Nusantara: Minangkabau dan Majapahit. (10/08)
Prasasti Bukit Gombak memahatkan nama sang raja dalam bahasa Sanskerta dan Melayu Kuno dengan aksara Jawa Kuno. Di sana terselip pujian bagi pemimpin yang melindungi negeri dan menjunjung ajaran Buddha Mahayana. Salah satu bagiannya berbunyi
> “Sri Maharajadiraja Adityawarman yang mulia, pemelihara rakyat, penakluk negeri, yang masyhur bagaikan Gunung Meru di bumi, menjadi pelindung segala makhluk dengan kasih sayang yang tiada tanding.”
Di Saruaso, batu lain berdiri dengan tegap, membawa gelar kebesaran Adityawarman serta pernyataan tentang luasnya kekuasaan yang membentang dari pedalaman Minangkabau hingga pesisir perdagangan.
Prasasti Rambahan bercerita tentang pemberian tanah untuk tujuan suci. Dari situ kita tahu bahwa kerajaan ini tak hanya berkuasa dengan pedang dan panji, tetapi juga mengatur negeri dengan hukum, membangun masyarakat dengan agama, dan mengikat rakyat dengan adat yang teratur.
Tulisan-tulisan ini menjadi jembatan antara ranah Minang dengan dunia yang lebih luas. Bahasa Sanskerta yang megah, aksara Jawa Kuno yang anggun, semuanya membuktikan bahwa Minangkabau pada masa Adityawarman adalah bagian dari jaringan kebudayaan besar Nusantara, sejajar dengan istana-istana di Jawa, Sumatra timur, hingga Semenanjung Malaya.
Bagi pembaca di rantau Melayu, batu bersurat ini bukan sekadar warisan Minangkabau, melainkan bagian dari akar yang sama. Gelombang budaya dan darah bangsawan dari Pagaruyung mengalir ke pesisir, menyeberang ke pulau-pulau, dan berlabuh di pelabuhan-pelabuhan Melayu, membawa bahasa, adat, dan sistem gelar yang kita kenal hingga kini.
Kini batu-batu itu masih ada. Sebagian tegak di tanah asalnya, sebagian tersimpan di museum. Diam, namun menyimpan letupan kisah yang tak pernah padam. Menyentuhnya seperti menyentuh denyut nadi masa lalu hangat, meski berasal dari tujuh abad yang lampau.
Ini adalah sambungan kisah Adityawarman yang kemarin kita buka. Namun perjalanan belum selesai. Masih ada batu bersurat lain yang tersembunyi di lembah dan di tepi sungai, menunggu untuk ditemukan kembali. Di edisi berikutnya, kita akan menelusuri jejak itu, huruf demi huruf, hingga rahasia masa lalu terbuka seterang matahari di puncak Marapi.