Jakarta, 27 Agustus 2025 β Indonesia pernah mencatatkan sejarah yang mengejutkan dengan menjatuhkan hukuman mati kepada seorang koruptor yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam skala besar. Ini bukan hanya peristiwa langka, tetapi juga menjadi simbol betapa seriusnya negara ini dalam memerangi korupsi, meskipun pada akhirnya eksekusinya tidak terwujud.
Kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara kembali mengguncang Indonesia. Kali ini, perhatian publik tertuju pada Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebezer (Noel), yang ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan pemerasan dalam pengeluaran sertifikasi K3.
Meskipun bukan kasus korupsi pertama yang melibatkan pejabat negara, skandal ini mengingatkan kita pada salah satu kasus terbesar dan paling fenomenal dalam sejarah Indonesia: skandal korupsi yang melibatkan Menteri Urusan Bank Sentral Jusuf Muda Dalam (JMD).
Pada tahun 1966, JMD menjadi sorotan publik setelah terungkap keterlibatannya dalam serangkaian tindakan korupsi yang merugikan negara hingga miliaran rupiah. Selama menjabat sebagai Menteri Urusan Bank Sentral dalam Kabinet Kerja IV dan Kabinet Dwikora pada masa pemerintahan Presiden Soekarno (1963-1966), JMD memiliki wewenang besar dalam mengelola keuangan negara. Namun, kekurangan pengawasan pada saat itu membuka celah bagi praktik korupsi yang tak terkontrol.
Laporan penyelidikan yang diberi judul “Anak Penyamun di Sarang Perawan” (1966) mengungkapkan empat kasus besar yang melibatkan JMD dikutip dari CNBC Indonesia.
1. Impor dengan Skema Deffered Payment: JMD memberikan izin impor barang kepada perusahaan-perusahaan tertentu dengan skema penangguhan pembayaran luar negeri, yang totalnya mencapai US$ 270 juta. Skema ini menguntungkan banyak pihak, namun menambah beban negara.
2. Pemberian Kredit pada Perusahaan: JMD memberi kredit kepada perusahaan-perusahaan tertentu yang pada akhirnya memperburuk defisit negara, menyebabkan kerugian yang sangat besar bagi perekonomian Indonesia.
3. Penggelapan Dana Negara: JMD terlibat dalam penggelapan dana revolusi yang diperkirakan mencapai Rp97,3 miliar, yang seharusnya digunakan untuk mendukung perjuangan dan pembangunan negara.
4. Penyelundupan Senjata: JMD juga terlibat dalam penyelundupan senjata dari Cekoslovakia tanpa izin, menambah daftar pelanggaran yang dilakukan selama masa jabatannya.
Sebagai bagian dari praktik korupsinya, JMD menggunakan dana hasil tindakannya untuk membiayai gaya hidup mewah. Ia membeli rumah, tanah, mobil mewah, hingga perhiasan. Bahkan, hasil korupsi tersebut juga digunakan untuk membiayai kehidupan pribadinya yang hedonis, di mana ia dikenal memiliki enam istri dan hubungan dengan 25 perempuan lain.
Hal ini semakin memperburuk citranya di mata publik, yang merasa kecewa dan marah karena di tengah kesulitan ekonomi yang melanda rakyat, ada pejabat negara yang hidup bergelimang harta hasil dari korupsi.
Pada 30 Agustus 1966, JMD dihadapkan ke pengadilan. Sidang yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Made Labde ini menarik perhatian publik, dengan ruang sidang yang penuh sesak dan sering riuh. JMD berusaha membela diri, namun pengakuannya hanya terbatas pada pengakuan tentang banyaknya istri yang dimilikinya, yang justru menambah rasa muak publik.
Setelah proses hukum yang panjang, pada 8 September 1966, JMD dijatuhi vonis mati oleh majelis hakim. Vonis tersebut didasarkan pada dua faktor utama: pertama, JMD terbukti melakukan korupsi dengan skala besar yang merugikan negara, dan kedua, latar belakang politiknya yang dianggap terlalu dekat dengan ideologi komunis, sebuah hal yang semakin memberatkan posisinya mengingat ketegangan politik pada saat itu.
Keputusan hakim mengundang berbagai reaksi. Meski publik mendukung vonis mati tersebut, beberapa tokoh, seperti Ketua PBNU KH Moch Dahlan, berpendapat bahwa hukuman mati seharusnya diberikan lebih dari sekali, bahkan dengan eksekusi di depan umum untuk memberikan efek jera yang lebih besar.
Meskipun JMD mengajukan kasasi, Mahkamah Agung menolak permohonan tersebut pada April 1967 dan menguatkan vonis mati. Namun, eksekusi hukuman mati yang dijatuhkan kepadanya tidak pernah terlaksana.
Pada September 1976, sebelum ia dapat dieksekusi, JMD meninggal dunia di penjara akibat penyakit tetanus. Meskipun demikian, skandal ini tetap dikenang sebagai kasus pertama di Indonesia di mana seorang koruptor dijatuhi hukuman mati.
Kasus Jusuf Muda Dalam hingga hari ini tetap menjadi pengingat keras tentang betapa bahayanya korupsi dalam menggerogoti negara. Hukuman mati yang dijatuhkan padanya menjadi simbol keseriusan negara dalam menangani kasus korupsi, meskipun pada kenyataannya eksekusinya tidak pernah terlaksana.
Seiring dengan munculnya kasus-kasus korupsi baru, seperti yang melibatkan Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebezer (Noel), publik diingatkan kembali bahwa korupsi dalam skala besar harus dihukum dengan tegas.
Kasus JMD tetap menjadi patokan dalam sejarah hukum Indonesia, dan menjadi bukti bahwa tak ada yang kebal hukum, tidak peduli seberapa besar jabatan yang dimiliki seseorang. Di tengah kekhawatiran akan semakin banyaknya kasus korupsi, hukum harus tetap menjadi alat penegakan keadilan yang adil dan tidak pandang bulu.
Tidak ada komentar