Perawang, Riau – Fenomena antrian panjang kendaraan kembali terjadi di SPBU No. 14.286.662 KM 9 Perawang, beralamat di Jl. Minas – Perawang, Perawang Barat, Kecamatan Tualang, Kabupaten Siak, Riau 28685, pada Jumat pagi (29/08/2025). Berdasarkan pantauan di lapangan, terlihat sejumlah kendaraan besar seperti truk PT Indah Kiat, truk pengangkut gas LPG, serta mobil pickup yang diduga telah dimodifikasi tangkinya mengantre untuk membeli BBM jenis solar subsidi. Kondisi ini menimbulkan dugaan kuat adanya praktik penyaluran BBM subsidi yang tidak tepat sasaran.
Masyarakat menilai SPBU tersebut sengaja melayani kendaraan yang seharusnya tidak berhak menerima solar bersubsidi. Informasi yang berkembang menyebutkan solar subsidi itu kemudian dialirkan ke pengepul atau pekangsir untuk dijual kembali ke sejumlah pabrik kelapa sawit di sekitar wilayah Riau. Praktik ini dinilai sebagai bentuk kerja sama terselubung antara pihak SPBU dengan jaringan mafia migas yang telah lama beroperasi.
Antrian panjang yang didominasi kendaraan industri membuat masyarakat kecil, termasuk sopir angkutan umum, pedagang keliling, dan pelaku usaha mikro, kesulitan mendapatkan BBM subsidi yang menjadi hak mereka. Kondisi ini jelas merugikan negara karena subsidi yang digelontorkan pemerintah tidak sampai kepada sasaran yang sebenarnya.
Ketua Harian Satu Garis, Ricky Fathir, mengecam keras fenomena ini.
“Kami menduga kuat SPBU KM 9 Perawang bermain dengan mafia migas dan pekangsir solar. Pertamina jangan tutup mata. Kalau terbukti, izinnya harus dicabut. Kami juga mendesak aparat kepolisian segera bertindak, jangan sampai masyarakat menilai polisi ikut menikmati aliran uang haram dari bisnis kotor ini,” tegas Ricky.
Keluhan juga datang dari masyarakat kecil. Yunan (42), seorang pedagang yang biasa berjualan dari pasar ke pasar di wilayah Tualang, mengaku kesulitan mendapatkan solar.
“Kami yang kecil ini sering tidak kebagian. Mau beli solar subsidi harus antre lama, kadang habis. Padahal kami butuh untuk jalan kerja. Sementara mobil-mobil besar bisa bebas isi. Kami rasa ini tidak adil,” ujarnya dengan nada kecewa.
Warga lain bernama Ujang menambahkan,
“Sudah berulang kali begini. Satu jam kami antri baru bisa dapat minyak. Ini karena banyak mobil perusahaan atau PT yang ikut isi juga. Seharusnya pihak SPBU jangan kasih subsidi, mereka itu wajibnya isi BBM industri, bukan rebutan dengan kami masyarakat kecil.”
Catatan menunjukkan SPBU ini bahkan sudah berulang kali diberikan teguran keras oleh Disperindag Siak. Namun, fenomena antrean panjang dan dugaan penyelewengan tetap berulang setiap tahunnya tanpa ada perubahan signifikan.
Secara hukum, praktik tersebut dapat dijerat Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang menyatakan bahwa setiap orang yang menyalahgunakan pengangkutan dan/atau niaga bahan bakar minyak yang disubsidi pemerintah dapat dipidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp60 miliar.
Selain itu, sesuai Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM, solar subsidi hanya diperuntukkan bagi transportasi darat, nelayan kecil, dan usaha mikro, bukan kendaraan industri maupun perusahaan besar.
Secara prinsip, terdapat perbedaan mendasar antara solar bersubsidi (Solar Penugasan atau Bio Solar) dengan solar industri. Solar subsidi memiliki harga yang ditetapkan pemerintah yaitu Rp.6.800,- dan distribusinya diawasi ketat untuk memastikan tepat sasaran, sementara solar industri memiliki harga pasar lebih tinggi yaitu Rp.13.300-14.000 (DEXLITE / Pertamina DEX) , Untuk harga Solar Industri B40 ditetapkan dengan harga Rp.21.000′- dan disalurkan melalui jalur khusus kepada perusahaan-perusahaan yang memiliki izin dan kontrak suplai resmi.
Satu Garis dengan tegas mendesak Pertamina menghentikan sementara pengiriman solar subsidi ke SPBU No. 14.286.662 KM 9 Perawang untuk mencegah berlanjutnya praktik mafia migas di lapangan. Jika terbukti melakukan pelanggaran berat, Pertamina diminta segera menyegel SPBU tersebut dan mencabut izin operasionalnya.
Selain itu, kami juga akan melaporkan persoalan ini langsung kepada Pertamina serta pertanyakan perihal ini kepada pemilik SPBU di Pekanbaru agar memberikan sanksi tegas terhadap manajer operasional yang diduga terlibat dalam praktik mafia minyak. Pertanggungjawaban juga tidak boleh hanya berhenti pada operator lapangan, melainkan juga menyentuh pengelola yang sengaja menutup mata.
Aparat kepolisian dituntut segera turun tangan menindak dugaan praktik ilegal ini. Apabila tidak ada tindakan nyata, kecurigaan masyarakat bahwa aparat ikut menikmati hasil transaksi gelap dari SPBU tersebut akan semakin menguat.
Tidak ada komentar