Kepulauan Meranti – Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kepulauan Meranti tengah menjadi sorotan publik setelah Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Provinsi Riau mengungkap dugaan kelebihan pembayaran serta berbagai pelanggaran dalam pelaksanaan proyek swakelola. 16/02/2025)
Namun, alih-alih memberikan klarifikasi terbuka kepada masyarakat, Dinas PUPR justru memilih langkah kontroversial dengan melayangkan somasi kepada media Mataxpost.com, yang sebelumnya memberitakan hasil audit BPK tersebut. Anehnya, surat somasi itu hanya disebarluaskan oleh dua oknum yang mengaku sebagai awak media melalui grup WhatsApp, menimbulkan kecurigaan adanya tekanan terhadap pers.
Langkah ini justru memicu pertanyaan besar: Apakah Dinas PUPR Kepulauan Meranti berusaha menutupi temuan BPK?
Fakta Laporan BPK: Penyimpangan dalam Proyek Swakelola
Berdasarkan LHP BPK Nomor: 17A/LHP/XVIII.PEK/05/2024 tertanggal 20 Mei 2024, ditemukan berbagai indikasi pelanggaran serius dalam proyek swakelola Dinas PUPR Kepulauan Meranti tahun 2023, di antaranya:
1. Pelaksanaan Swakelola Tidak Sesuai Aturan
✔ Perencanaan Awal Melibatkan Konsultan: Volume dan kuantitas pekerjaan sudah diketahui sejak Februari 2023, tetapi tetap menggunakan mekanisme swakelola. Ini bertentangan dengan prinsip swakelola, yang seharusnya diterapkan untuk proyek yang tidak dapat dikerjakan oleh penyedia jasa.
✔ Penggunaan Skema Swakelola Tipe 1 Secara Tidak Sah: Bidang Cipta Karya Dinas PUPR tidak menggunakan sumber daya sendiri dalam pelaksanaan proyek, melainkan menyerahkan pekerjaan kepada pihak ketiga, yang menyalahi aturan pengadaan barang dan jasa.
2. Pelanggaran Regulasi Pengadaan Barang dan Jasa
✔ Melanggar Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 dan Peraturan LKPP Nomor 3 Tahun 2021, di mana proyek swakelola digunakan untuk pekerjaan yang sebenarnya bisa dilakukan melalui lelang terbuka.
✔ Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) Proyek Swakelola Mencapai Rp 2,35 Miliar, dengan pembayaran dilakukan secara tunai, tanpa mekanisme pencairan yang jelas, meningkatkan risiko korupsi.
Beberapa proyek yang mendapat sorotan dalam laporan BPK antara lain:
Pembangunan Kantor Kelurahan Selatpanjang Barat – Rp 469,6 juta
Lanjutan Pembangunan Kantor Kelurahan Selatpanjang Barat – Rp 350 juta
Pembangunan Pagar Kantor Dinas PUPR – Rp 850 juta
Seluruh pembayaran dilakukan secara tunai melalui KPA/PPTK di Kantor Dinas PUPR, tanpa mekanisme pencairan yang transparan.
Somasi terhadap Media: Upaya Membungkam Kritik?
Setelah temuan BPK ini diberitakan oleh Mataxpost.com, redaksi media tersebut justru menerima somasi dari Dinas PUPR Kepulauan Meranti. Yang lebih mencurigakan, surat somasi tersebut justru disebarluaskan oleh dua individu yang mengaku sebagai awak media melalui grup WhatsApp.
Fakta ini memunculkan sejumlah pertanyaan kritis:
Apakah somasi ini merupakan upaya untuk membungkam kebebasan pers?
Mengapa Dinas PUPR tidak memberikan klarifikasi terbuka kepada masyarakat dan memilih menekan media?
BPK: Laporan Bersifat Final dan Mengikat :
Sebagai lembaga auditor negara, BPK memiliki kewenangan konstitusional untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara sesuai dengan UU Nomor 15 Tahun 2004, UU Nomor 15 Tahun 2006, dan Pasal 23E UUD 1945.
Artinya, hasil audit bersifat final dan mengikat serta dapat dijadikan dasar penyidikan jika ditemukan unsur pidana, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Jika benar terdapat dugaan korupsi dalam proyek swakelola PUPR Kepulauan Meranti, kasus ini berpotensi masuk dalam ranah hukum dan menyeret sejumlah pejabat ke meja hijau.
Dugaan Intervensi dari Oknum PUPR?
Selain somasi terhadap media, muncul dua orang oknum yang mengaku awak media yang beruupaya intervensi pemberitaan serta melakukan pengancaman terhadap Pimpinan Redaksi mataxpost, dari dua individu bernama Aprizal dan Riki Kurniawan, dari sumber yang dipercaya bahwa :
✔ Aprizal ternyata merupakan pegawai honorer di Dinas PUPR Meranti.
✔ Diduga berusaha mengintimidasi media agar tidak memberitakan kasus ini lebih lanjut.
Hal ini semakin memperkuat dugaan bahwa ada usaha sistematis untuk menutup-nutupi kasus ini, terutama mengingat salah satu pihak yang aktif membela Dinas PUPR berasal dari dalam instansi yang sedang disorot.
Skandal di PUPR Meranti yang Harus Diusut Tuntas:
Dari seluruh fakta yang terungkap, kasus dugaan penyimpangan anggaran di Dinas PUPR Kepulauan Meranti bukan sekadar soal administrasi, melainkan berpotensi masuk ke ranah tindak pidana korupsi.
Fakta-fakta berikut menguatkan dugaan tersebut:
✔ Penyimpangan dalam mekanisme swakelola yang tidak sesuai aturan.
✔ Penggunaan anggaran yang tidak transparan dan pencairan tunai yang berisiko tinggi terhadap korupsi.
✔ Upaya pembungkaman media dengan somasi dan dugaan intervensi dari oknum internal Dinas PUPR.
Masyarakat berhak mengetahui bagaimana anggaran daerah dikelola, dan sudah seharusnya aparat penegak hukum mengambil langkah tegas terhadap dugaan penyimpangan ini. Jika tidak ada tindakan lebih lanjut, bukan hanya integritas BPK yang dipertanyakan, tetapi juga kredibilitas Aparat Penegak hukum dan pemerintah daerah dalam menegakkan transparansi dan akuntabilitas.
Tidak ada komentar