Mataxpost | Pekanbaru โ Kasus dugaan korupsi Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif DPRD Riau tahun 2020โ2021 sempat dibuka dengan gebrakan besar. Audit BPKP Riau menyebut kerugian negara mencapai Rp195,9 miliar, lebih dari 400 saksi diperiksa, aset mewah disita, hingga gelar perkara dilakukan bersama Bareskrim Polri. Dari hasil gelar perkara itu, inisial โMโ disebut dapat dimintai pertanggungjawaban hukum. (13/09)
Secara hukum, langkah berikutnya semestinya adalah penetapan tersangka. Namun hingga kini, kasus tersebut justru senyap. Tidak ada penetapan tersangka, tidak ada pelimpahan berkas, sementara aset yang sudah disita berpotensi kehilangan dasar hukum bila hakim praperadilan memutuskan penyitaan tidak sah.
Informasi internal yang beredar menyebut, mandeknya perkara ini diduga terkait keterlibatan banyak pihak, termasuk oknum di lingkaran pimpinan DPRD Riau. Dugaan ini memperkuat persepsi publik bahwa penyidikan yang semula agresif tiba-tiba terhenti di tengah jalan.
Tokoh masyarakat Riau, Afri, menilai Polda Riau tidak menunjukkan ketegasan dalam perkara ini. โPolda Riau bak macan ompong. Di daerah lain, aparat berani mengungkap kasus SPPD fiktif hingga menetapkan tersangka berjamaah. Sementara di Riau, sudah jelas ada kerugian ratusan miliar dan bukti penyitaan aset, tapi tersangkanya tak kunjung diumumkan,โ kata Afri.
Afri juga menyoroti langkah Polda Riau yang terkesan melepaskan tanggung jawab. โBuktinya, kasus ini malah dilemparkan ke Bareskrim. Padahal, kalau berani, Polda Riau bisa menuntaskan sendiri. Ini justru menambah kesan mandul dan tidak serius,โ ujarnya.
Publik pun bertanya-tanya: hingga kini, janji aparat yang pernah menyatakan akan menuntaskan kasus ini senyap tak terdengar kabarnya. Pertanyaan yang muncul, mengapa institusi sebesar Polri, bahkan dengan dukungan penuh dari Kapolri, justru membiarkan anggotanya di Polda Riau terlihat tak bernyali menghadapi perkara yang sudah jelas kerugian negaranya?
Kritik ini kontras bila dibandingkan dengan penanganan kasus serupa di daerah lain, yang jauh lebih progresif:
Pasaman Barat, Sumbar (2025): Lima mantan anggota DPRD ditetapkan tersangka kasus SPPD fiktif 2019. Perkara sudah dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Padang.
Kepahiang, Bengkulu (2025): Kejaksaan Negeri menetapkan lima mantan anggota DPRD periode 2019โ2024 sebagai tersangka perjalanan dinas fiktif senilai Rp1,2 miliar.
Provinsi Bengkulu (2025): Kejati menetapkan eks Sekwan, bendahara, dan beberapa staf Sekretariat DPRD sebagai tersangka kasus perjalanan dinas fiktif tahun anggaran 2024.
Kota Malang (2018): KPK menetapkan 41 dari 45 anggota DPRD sebagai tersangka kasus suap pembahasan APBD.
Sumatera Utara (2018): Puluhan anggota DPRD ditetapkan tersangka kasus suap mantan Gubernur Gatot Pujo Nugro Nugroho.
Perbandingan ini menegaskan anomali di Riau. Di berbagai daerah, aparat tidak ragu menjerat banyak anggota dewan sekaligus. Namun di Riau, meski kerugian negara terhitung fantastis dan aset mewah sudah disita, penetapan tersangka masih menggantung.
Pengamat hukum di Pekanbaru, Dr. Yusran, menilai kondisi ini berbahaya bagi wajah penegakan hukum. โKalau kasus dengan kerugian negara hampir Rp200 miliar bisa berhenti begitu saja, publik akan semakin yakin bahwa hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas. Polri berisiko kehilangan legitimasi karena dianggap hanya berani menindak rakyat kecil, tapi tumpul ketika kasus menyentuh pejabat,โ ujarnya.
Situasi ini, lanjut Yusran, menuntut transparansi penuh. โKalau memang berkas belum cukup, jelaskan ke publik. Kalau ada kendala teknis, buka secara terbuka. Diam seperti sekarang hanya memperkuat kecurigaan adanya intervensi politik,โ tegasnya.
Publik kini menunggu jawaban: apakah kasus ini benar-benar dituntaskan, atau hanya akan menjadi contoh lain dari perkara besar yang dibuka dengan gegap gempita, lalu ditutup dengan sunyi?
Tidak ada komentar