Mataxpost | Pekanbaru โ Di saat rakyat kecil di Riau bergulat dengan harga kebutuhan pokok yang kian menekan, para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau justru bergelimang gaji dan tunjangan. Berdasarkan aturan resmi, seorang anggota DPRD Riau bisa mengantongi penghasilan sedikitnya Rp84,6 juta per bulan. Jumlah itu dihitung dari sederet komponen yang menumpuk. (20/09)
Dari uang representasi yang setara dengan gaji pokok Gubernur Riau, anggota DPRD menerima Rp2,25 juta per bulan. Lalu ditambah tunjangan keluarga, tunjangan beras, serta uang paket data Rp225 ribu. Tidak berhenti di situ, ada pula tunjangan jabatan senilai Rp3,26 juta, serta tunjangan alat kelengkapan dewan yang diberikan bagi anggota Banmus, Banggar, maupun Bapemperda. Bagi yang merangkap jabatan, tunjangan ini otomatis bertambah.
Komponen paling besar datang dari tunjangan perumahan sebesar Rp23 juta per anggota dan tunjangan transportasi Rp20,09 juta. Sementara untuk tunjangan reses dan komunikasi intensif, setiap anggota berhak atas Rp21 juta.
Jika seluruhnya dijumlahkan, seorang anggota DPRD Riau biasa bisa mengantongi sekitar Rp84,6 juta per bulan. Angka ini bisa lebih tinggi lagi bila anggota dewan tersebut merangkap jabatan di berbagai alat kelengkapan dewan.
Kontrasnya dengan kehidupan rakyat sangat mencolok. Rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP) Riau pada 2025 hanya berada di kisaran Rp3,6 juta per bulan. Artinya, satu orang anggota DPRD Riau menerima penghasilan setara ยฑ 23 kali lipat UMP.
Ketimpangan ini menimbulkan pertanyaan besar. Bagaimana wakil rakyat bisa berdiam diri menikmati tunjangan selangit, sementara ribuan buruh, nelayan, petani, dan pekerja informal di Riau masih harus berjibaku memenuhi kebutuhan harian?
Yang lebih ironis, pengeluaran DPRD Riau tidak berhenti pada gaji dan tunjangan rutin. Dari dokumen anggaran, pos makan minum untuk anggota DPRD setiap tahunnya mencapai miliaran rupiah. Nilainya fantastis dan kerap dipertanyakan publik karena jauh di atas standar konsumsi normal.
Selain itu, anggaran perjalanan dinas DPRD Riau juga menyedot dana daerah dalam jumlah besar. Setiap tahun, miliaran rupiah dihabiskan untuk kunjungan kerja ke luar kota maupun luar negeri. Efektivitas perjalanan dinas ini sering dipertanyakan, karena hasilnya jarang berbanding lurus dengan kualitas kebijakan yang dilahirkan.
Dalam APBD Riau Tahun 2025, anggaran DPRD tercatat mencapai Rp269,8 miliar. Rinciannya, penyelenggaraan acara DPRD Rp48,9 miliar, makan dan minum Rp59,4 miliar, serta perjalanan dinas Rp69,4 miliar. Semua bersumber dari APBD dan dikelola lewat metode swakelola serta pengadaan langsung oleh Sekretariat DPRD Riau (Sekwan).
Aktivis Riau dari ormas SATU GARIS Ricky Fathir, menilai angka itu terlalu berlebihan. โUntuk makan minum saja mereka anggarkan Rp59 miliar, belum lagi acara Rp48,9 miliar dan perjalanan dinas Rp69,4 miliar angka yang sungguh tidak masuk akal ketika rakyat masih sulit memenuhi kebutuhan pokok,โ ujarnya.
Lebih jauh, pos-pos anggaran tersebut rentan dikorupsi. Publik tentu belum lupa dengan kasus Surat Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif yang pernah menyeret sejumlah anggota DPRD di daerah, termasuk di Riau. Perjalanan dinas yang seharusnya dipertanggungjawabkan sesuai aturan, justru dimanipulasi demi keuntungan pribadi. Ironisnya, penegakan hukum atas kasus SPPD fiktif di DPRD Riau hingga kini tidak tahu ujung pangkalnya, senyap tak tahu rimbanya.
Sejumlah aktivis menilai struktur gaji, tunjangan, serta tambahan fasilitas DPRD Riau bukan hanya berlebihan, tetapi juga mencerminkan ketidakadilan. Sementara rakyat kecil bergantung pada subsidi beras, BBM, dan listrik, wakil mereka menikmati makan minum mewah, perjalanan dinas berulang kali, hingga membuka peluang penyalahgunaan anggaran.
Kritik ini sekaligus menjadi jawaban balik atas pernyataan Ketua DPRD Riau, Kaderismanto, yang sebelumnya mendesak Pemprov Riau mengevaluasi anggaran Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) ASN. Publik menilai, sebelum menyasar ASN, DPRD Riau seharusnya lebih dulu berani membuka dan mengevaluasi pola belanja internal mereka sendiri yang penuh fasilitas mewah dan rawan penyalahgunaan.
Publik pun mendesak adanya transparansi dan keberanian pemerintah daerah maupun pusat untuk mengevaluasi pola belanja aparatur negara, termasuk DPRD. Tanpa perubahan, jarak antara rakyat dan wakilnya akan makin lebar, dan kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif bisa semakin tergerus.
Tidak ada komentar