Pekanbaru – Sidang praperadilan terkait penyitaan aset Muflihun dalam perkara dugaan korupsi Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif di Sekretariat DPRD Riau tahun anggaran 2020โ2021 kembali berlanjut. Persidangan menghadirkan saksi dari pihak Polda Riau, termasuk penyidik dan ahli pidana, setelah sebelumnya mendengarkan keterangan saksi dari pihak termohon. (12/09)
Saksi dari penyidik Subdit III Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Riau, Dedi Gusrianto, memaparkan secara rinci kronologi penyitaan dua aset yang kini digugat oleh Muflihun. Aset tersebut berupa satu rumah yang berlokasi di Jalan Sakuntala atau Jalan Banda Aceh, Pekanbaru, serta satu unit apartemen di Batam.
Penyitaan rumah dilakukan pada Jumat, 22 November 2024, sedangkan penyitaan apartemen berlangsung pada Selasa, 26 November 2024. Menurut Dedi, kedua aset tersebut teridentifikasi kuat dibeli dengan dana hasil pencairan SPPD fiktif yang mengalir dari Setwan Riau.
Di hadapan hakim praperadilan, Dedy, penyidik menegaskan bahwa setiap langkah yang diambil telah sesuai prosedur hukum. Ia menyampaikan bahwa dirinya bersama tim berangkat membawa surat tugas resmi dari pimpinan serta surat izin penyitaan yang dikeluarkan pengadilan. Saat menyita rumah di Jalan Banda Aceh, tim terlebih dahulu berkoordinasi dengan ketua RW setempat dan petugas keamanan lingkungan.
Ketika tiba di lokasi, rumah dalam keadaan kosong hingga kemudian seorang perempuan keluar dan mengaku sebagai ibu kandung Muflihun. Kepada yang bersangkutan, penyidik menyerahkan surat penyitaan serta menjelaskan maksud kedatangan, bahwa rumah tersebut masuk dalam daftar aset yang diduga dibeli dari dana hasil tindak pidana korupsi.
Situasi berbeda ditemui ketika penyitaan dilakukan di Batam.
Unit apartemen yang ditelusuri ternyata masih berada dalam pengelolaan pengembang. Tim penyidik mendatangi kantor developer untuk menyampaikan maksud dan dasar hukum penyitaan, sebelum akhirnya diarahkan ke unit yang bersangkutan.
Proses tersebut juga melibatkan ketua lingkungan setempat, dan dituangkan dalam berita acara penyerahan yang ditandatangani oleh Nuraida, kakak kandung Muflihun, bersama ketua RW. Dedi menegaskan bahwa penyitaan dilakukan sebagai bagian dari proses penyidikan aktif, meskipun saat itu belum ada penetapan tersangka.
Kasus dugaan korupsi SPPD fiktif di Setwan Riau tahun 2020โ2021 menjadi salah satu perkara besar yang menyeret angka kerugian fantastis. Berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Riau, negara ditaksir mengalami kerugian mencapai Rp195,9 miliar. Angka tersebut muncul setelah dilakukan penghitungan atas pencairan SPPD yang tidak pernah dilaksanakan, namun anggarannya tetap dibayarkan dan kemudian dialirkan ke sejumlah pihak.
Untuk menelusuri aliran dana tersebut, penyidik Subdit III Ditreskrimsus Polda Riau telah memeriksa lebih dari 400 saksi. Dari jumlah itu, banyak di antaranya pejabat Sekretariat DPRD Riau yang harus menjalani pemeriksaan berulang kali. Hasil pemeriksaan diperkuat dengan gelar perkara bersama Koordinator Staf Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) Bareskrim Polri pada Selasa, 17 Juni 2025. Dari gelar perkara tersebut, disimpulkan bahwa inisial โMโ selaku Pengguna Anggaran dapat dimintai pertanggungjawaban hukum dan berpotensi ditetapkan sebagai tersangka utama.
Seiring berjalannya penyidikan, tim penyidik juga berhasil menyita uang tunai hampir Rp20 miliar dari tiga klaster penerima dana SPPD fiktif, yakni aparatur sipil negara, tenaga ahli, dan honorer di lingkungan Setwan Riau. Tidak berhenti di situ, penyidik turut mengamankan sejumlah aset dan barang mewah bernilai miliaran rupiah yang tersebar di berbagai daerah.
Di antaranya satu unit sepeda motor Harley Davidson tipe XG500 tahun 2015 dengan nilai lebih dari Rp200 juta, tas, sepatu, dan sandal bermerek internasional, empat unit apartemen di kompleks Nagoya City Walk, Batam, senilai sekitar Rp2,1 miliar, sebidang tanah seluas 1.206 meter persegi beserta satu unit homestay di Jorong Padang Tarok, Nagari Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, dengan nilai sekitar Rp2 miliar, serta sebuah rumah di Jalan Banda Aceh, Pekanbaru, yang kini menjadi salah satu objek gugatan dalam sidang praperadilan.
Sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Pekanbaru ini masih berlanjut untuk menilai sah tidaknya tindakan penyitaan yang dilakukan penyidik. Publik kini menunggu putusan hakim yang akan menentukan langkah selanjutnya dalam penanganan perkara korupsi besar ini. Sementara itu, penyidikan terus berjalan dan sorotan diarahkan pada inisial M, yang dinilai berperan sentral dalam penggunaan anggaran SPPD fiktif dan diduga menjadi aktor kunci di balik perputaran dana ratusan miliar rupiah yang kemudian diduga mengalir menjadi aset pribadi oleh oknum DPRD RIau.
Tidak ada komentar