PEKANBARU – Lembaga Inspektorat Provinsi Riau, yang semestinya menjadi garda terdepan dalam memastikan akuntabilitas dan integritas keuangan daerah, justru kini berada dalam sorotan tajam publik. Sejumlah dugaan serius muncul terhadap kinerja dan integritas pejabat di lingkungan Inspektorat, mulai dari praktik gratifikasi audit, peran dalam lambannya pencairan anggaran tunda bayar, hingga indikasi konflik kepentingan yang melibatkan Kepala Inspektorat, Sigit Juli Hendrawan, dalam bisnis pertambangan. (25/04)
Isu-isu ini, jika terbukti benar, bukan sekadar pelanggaran administratif atau etik, melainkan dapat masuk ke dalam ranah pidana yang mengancam kredibilitas sistem pengawasan keuangan daerah secara menyeluruh.
Dugaan pertama yang mencuat adalah keterlibatan lima auditor Inspektorat Riau dalam penerimaan gratifikasi saat melakukan audit terhadap salah satu BUMD pada tahun 2021. Kasus ini disebut telah dilaporkan ke Badan Kepegawaian Daerah (BKD), namun hingga kini tidak diketahui ada tindak lanjut yang konkret, baik dalam bentuk pemeriksaan etik mendalam maupun pelimpahan kepada aparat penegak hukum (APH).
Menurut Koordinator FITRA Riau, Triono Hadi, dugaan gratifikasi ini memenuhi unsur Pasal 12B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengatur hukuman hingga 20 tahun penjara bagi penerima gratifikasi yang berkaitan dengan jabatannya. Ia menegaskan pentingnya transparansi dalam proses hukum agar publik tidak kehilangan kepercayaan terhadap sistem pengawasan internal pemerintahan.
Persoalan lain yang menyita perhatian adalah keterlibatan Inspektorat dalam lambannya proses pencairan anggaran tunda bayar Pemerintah Provinsi Riau tahun 2024, yang mencapai nilai fantastis Rp915 miliar. Forum Pemantau Pemerintah Daerah (FP2D) menyebut ada indikasi bahwa Inspektorat tidak menjalankan fungsi audit secara transparan terhadap organisasi perangkat daerah (OPD) penerima anggaran.
Ada dugaan bahwa proses audit sengaja dilambatkan atau disesuaikan demi kepentingan tertentu, sehingga menciptakan ketidakpastian dan hambatan pencairan dana yang justru merugikan pihak-pihak yang seharusnya menerima pembayaran. Jika benar terjadi manipulasi proses audit untuk mengatur aliran anggaran, maka hal tersebut bisa dikategorikan sebagai bentuk sabotase birokrasi dan pelanggaran hukum.
Nama Sigit Juli Hendrawan, Kepala Inspektorat Riau, juga menjadi sorotan terkait dugaan keterlibatannya dalam bisnis tambang batu bara di wilayah Riau. Ia disebut-sebut menjabat sebagai direktur atau memiliki hubungan langsung dengan perusahaan tambang aktif.
Jika benar, maka ini merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip netralitas ASN dan integritas lembaga pengawasan. Keterlibatan pejabat pengawas dalam sektor yang diaudit jelas menimbulkan konflik kepentingan yang menciderai kepercayaan publik dan membuka celah terjadinya pembiaran atas pelanggaran hukum oleh korporasi.
Informasi lain yang beredar menyebutkan adanya rekaman CCTV yang menunjukkan dugaan penerimaan gratifikasi oleh pejabat Inspektorat di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum. Rekaman tersebut disebut telah berada di tangan Sekretaris Daerah Provinsi Riau, SF Harianto. Namun hingga kini belum diketahui apakah telah ada tindakan lanjut dari APH atau pemeriksaan internal.
Jika informasi ini akurat, maka publik berhak mempertanyakan komitmen Pemerintah Provinsi Riau dalam menegakkan etika dan hukum, khususnya ketika data visual sudah tersedia namun tidak segera ditindaklanjuti.
Skandal yang membayangi Inspektorat Riau menunjukkan potensi disfungsi sistem pengawasan internal di pemerintahan daerah. Ketika lembaga pengawas justru diduga menjadi bagian dari masalah, maka kredibilitas seluruh sistem pengelolaan keuangan daerah ikut dipertaruhkan.
Saat dikonfirmasi awak media melalui via WhatsApp, Kepala Inspektorat Riau, Sigit Juli Hendriawan, menepis semua tudingan dengan menjawab pesan “Tidak Benar, balasnya dengan singkat, ketika awak media ingin bertanya lebih jauh, Sigit seakan menolak untuk berlama dan menjawab, maaf saya mau ibadah, tutupnya.
Pemerintah pusat, termasuk Kementerian Dalam Negeri dan lembaga penegak hukum seperti KPK serta Kejaksaan, didesak turun tangan untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh. Tidak cukup hanya pembelaan administratif atau pembentukan tim internal. Dibutuhkan langkah hukum yang tegas dan transparan.
Riau, saat ini, tidak hanya membutuhkan pembangunan infrastruktur atau perbaikan layanan publik. Riau membutuhkan pembersihan sistem pengawasan. Tanpa itu, keuangan daerah akan terus menjadi ladang bancakan tanpa kontrol.
Tidak ada komentar