Pekanbaru, – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Provinsi Riau memberikan opini Tidak Menyatakan Pendapat (TMP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kabupaten Kepulauan Meranti Tahun Anggaran 2023. Opini ini bukan sekadar catatan buruk administrasi, tetapi sinyal kuat adanya ketidakpatuhan serius terhadap peraturan perundang-undangan serta kelemahan dalam pengendalian keuangan daerah.(26/02/2025)
Namun yang lebih mengkhawatirkan, temuan audit BPK tidak ditindaklanjuti dalam batas waktu 60 hari sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Hingga tahun 2024, pola penyimpangan yang sama diduga masih terjadi, khususnya dalam proyek-proyek swakelola Dinas PUPR. Apakah ini bentuk pelecehan terhadap lembaga auditor negara dan sekaligus pembangkangan terhadap penegak hukum di Provinsi Riau?
Temuan BPK: Proyek Swakelola PUPR Meranti Diduga Menyimpang
Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK-RI Nomor 17A/LHP/XVIII.PEK/05/2024 mengungkap sejumlah temuan terkait proyek swakelola di Dinas PUPR Meranti. Beberapa pelanggaran yang disorot antara lain:
Seharusnya proyek swakelola dilaksanakan langsung oleh dinas terkait tanpa melibatkan pihak ketiga, namun dalam praktiknya proyek tersebut justru dikerjakan oleh kontraktor tanpa mekanisme yang jelas.
2.Ketidaksesuaian dalam Penggunaan Anggaran: Pembayaran Secara Tunai
BPK menemukan indikasi penggunaan anggaran yang tidak sesuai peruntukan, termasuk dugaan markup harga dan ketidaksesuaian spesifikasi pekerjaan dengan dokumen perencanaan.
3.Kekurangan Volume Pekerjaan
Audit menunjukkan banyak pekerjaan infrastruktur yang tidak sesuai dengan laporan progres di atas kertas, sehingga terdapat selisih signifikan antara realisasi fisik di lapangan dengan nilai pembayaran yang telah dicairkan.
4.Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan
Dugaan penyimpangan ini melanggar beberapa regulasi, di antaranya:
A.Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
B.Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
C.Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pembayaran Tunai: Modus Penyimpangan Keuangan?
BPK juga menyoroti risiko pembayaran tunai dalam pengelolaan keuangan negara, yang berpotensi menyebabkan penyimpangan seperti:
Mudah Direkayasa โ Bukti transaksi sulit diverifikasi dibandingkan dengan transaksi melalui perbankan.
Sulit Diaudit Transparanย โ Tidak ada jejak transaksi digital yang bisa dilacak.
Potensi Penggelembungan Anggaranย (Mark-up) โ Harga bisa dinaikkan tanpa kontrol yang ketat.
Rawan Uang Fiktifย โ Bisa terjadi pembayaran kepada pihak yang sebenarnya tidak terlibat atau proyek yang tidak benar-benar dikerjakan.
Rekomendasi BPK yang Tidak Dilaksanakan: Meranti Mengabaikan Audit Negara
BPK dalam laporan hasil pemeriksaannya 22 Mei 2024 telah mengeluarkan rekomendasi yang wajib ditindaklanjuti dalam waktu 60 hari. Beberapa rekomendasi utama yang diabaikan Pemkab Meranti antara lain:
1.Mengevaluasi dan memperbaiki tata kelola proyek swakelola di Dinas PUPR, termasuk mekanisme pengadaan material dan pembayaran tenaga kerja.
2.Menghentikan praktik pencairan dana secara tunai yang tidak sesuai standar akuntabilitas dan dilakukan tanpa laporan pertanggungjawaban yang jelas.
3.Mengembalikan kewenangan pelaksanaan proyek swakelola kepada perangkat daerah sesuai prinsip yang diatur dalam Perpres Nomor 16 Tahun 2018.
4.Meningkatkan transparansi dalam pengelolaan belanja modal agar tidak terjadi praktik fiktif atau penyalahgunaan anggaran.
Rekomendasi BPK yang Belum Ditindaklanjuti
BPK mencatat bahwa tingkat penyelesaian tindak lanjut rekomendasi LHP Kepulauan Meranti hingga 31 Desember 2024 baru mencapai 78,01%, artinya masih ada 21,99% rekomendasi yang belum diselesaikan.
Dikutip dari halaman resmi website BAP DPD RI, Ketua Badan Akuntabilitas Publik (BAP) DPD RI, Abdul Hakim, menyoroti rendahnya tingkat penyelesaian rekomendasi audit BPK di Riau yang baru mencapai 75%, jauh di bawah rata-rata nasional yang sudah mencapai 90%.
“Kami ingin memastikan hasil audit BPK benar-benar ditindaklanjuti. Secara umum, Riau masih tertinggal dibanding provinsi lain seperti Bali dan Yogyakarta yang telah mencapai angka di atas 90%,” ujar Abdul Hakim dalam konferensi pers di Pekanbaru, Kamis (6/2/2025).
Ketika rekomendasi BPK tidak segera ditindaklanjuti, maka sistem pengawasan terhadap keuangan daerah menjadi semakin lemah.
Opini TMP: Sinyal Bahaya bagi Tata Kelola Keuangan Daerah
Abdul Hakim menegaskan bahwa opini TMP yang diberikan kepada Kepulauan Meranti mencerminkan kondisi keuangan daerah yang sangat mengkhawatirkan.
“Opini TMP adalah yang terendah, artinya auditor tidak dapat memberikan penilaian terhadap keuangan daerah. Ini menjadi catatan penting yang memerlukan perbaikan serius dari pemerintah daerah.”ujar nya
Ia menambahkan bahwa kegagalan dalam menindaklanjuti hasil audit menunjukkan indikasi adanya masalah sistemik dalam pengelolaan anggaran.
“Ketika auditor tidak dapat memberikan opini, itu menandakan kondisi yang sangat parah. Ini harus menjadi pelajaran bagi kabupaten/kota lain agar lebih transparan, akuntabel, dan memastikan pengelolaan keuangan benar-benar bermanfaat bagi masyarakat.”imbuhnya
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa tak satu pun rekomendasi ini dijalankan secara substansial. Bukannya memperbaiki tata kelola, justru Pemkab Meranti melalui Dinas PUPR mengulangi pola yang sama di tahun 2024, seolah-olah temuan BPK tidak memiliki konsekuensi hukum.
Proyek Swakelola PUPR 2024: Bukti Pembangkangan terhadap Auditor Negara
Meski BPK telah memperingatkan bahwa pelaksanaan proyek swakelola di tahun 2023 tidak sesuai ketentuan, pada tahun 2024 Dinas PUPR Kepulauan Meranti diduga tetap melanjutkan mekanisme yang sama.
Pembayaran tetap dilakukan secara tunai tanpa mekanisme kontrol yang ketat.
Dokumen pertanggungjawaban disusun oleh pihak dinas, bukan oleh penyedia jasa, sehingga rawan manipulasi.
Peran perangkat daerah sebagai pelaksana proyek tetap nihil, bertentangan dengan konsep swakelola yang seharusnya memberdayakan sumber daya internal pemerintah.
Alih-alih memperbaiki sistem, Pemkab Meranti justru mengabaikan rekomendasi auditor negara dan tetap melanjutkan proyek bermasalah. Hal ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi bentuk perlawanan terang-terangan terhadap sistem pengawasan keuangan negara.
Mengabaikan BPK = Meremehkan Penegak Hukum?
Ketidakpatuhan Pemkab Meranti terhadap rekomendasi BPK seharusnya memicu respons keras dari aparat penegak hukum di Provinsi Riau. Jika temuan audit yang jelas menunjukkan ketidakwajaran dalam pengelolaan keuangan daerah tidak ditindaklanjuti, apa gunanya lembaga pengawasan dan penegakan hukum?
Pengamat kebijakan publik Ronny R di Pekanbaru menilai bahwa sikap Pemkab Meranti yang mengabaikan rekomendasi BPK sama saja dengan merendahkan kewibawaan auditor negara dan mempermalukan aparat penegak hukum.
โKetika sebuah pemerintah daerah terang-terangan tidak menjalankan rekomendasi BPK, ini bukan hanya soal administrasi, tetapi sudah masuk ranah pembangkangan terhadap sistem hukum. Di mana posisi penegak hukum? Apakah mereka akan diam saja sementara praktik yang berulang ini terus merugikan negaraโ ungkap nya
Jika kejadian ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin praktik yang sama akan ditiru oleh daerah lain di Riau, menciptakan efek domino dalam ketidakpatuhan pengelolaan keuangan daerah.
1.Opini TMP terhadap LKPD Kepulauan Meranti menunjukkan adanya kelemahan serius dalam pengelolaan keuangan daerah.
2.BPK tidak secara terbuka menyampaikan potensi kerugian negara, memunculkan pertanyaan tentang transparansi audit.
3.Proyek swakelola di Dinas PUPR diduga menyimpang dari ketentuan dan tetap melibatkan pihak ketiga.
4.Tingkat penyelesaian rekomendasi BPK masih rendah, menandakan lemahnya komitmen perbaikan.
5.DPRD dan publik perlu meningkatkan pengawasan agar pengelolaan anggaran daerah lebih transparan dan akuntabel.
Pemkab Meranti Harus Bertanggung Jawab!
Mengingat pola penyimpangan yang terus berulang dan pengabaian rekomendasi BPK, sudah saatnya tindakan tegas diambil. Beberapa langkah yang perlu segera dilakukan:
1.DPRD Riau dan DPRD Kepulauan Meranti harus segera memanggil Bupati dan Kepala Dinas PUPR untuk menjelaskan alasan ketidakpatuhan terhadap rekomendasi BPK.
2.BPK RI dan BPK Perwakilan Riau harus mengeluarkan peringatan keras kepada Pemkab Meranti, termasuk kemungkinan membawa kasus ini ke ranah hukum jika tidak ada perbaikan.
3.Aparat penegak hukum, termasuk Kejaksaan dan Kepolisian, harus segera menyelidiki potensi penyalahgunaan anggaran di proyek swakelola Dinas PUPR.
4.Masyarakat dan media harus terus mengawal kasus ini agar tidak hilang dalam birokrasi dan permainan politik lokal.
Jika dalam waktu dekat tidak ada langkah konkret, maka ini akan menjadi preseden buruk bagi pengelolaan keuangan daerah di Riau dan memperlihatkan bahwa pengawasan keuangan negara tidak lebih dari sekadar formalitas belaka.
Dengan adanya skandal di pemerintahan kabupaten Meranti khususnya dinas pupr Meranti, sudah menjadi buah bibir dan berbagai asumsi liar ditengah masyarakat saat ini, berikut respon dan tanggapan publik,
Potensi korupsi dan impunitas
Seorang mahasiswa hukum berinisial DT dari UIR mengatakan,
“Apakah sikap Pemkab Meranti ini menandakan bahwa mereka merasa kebal hukum? Jika audit yang mengungkap ketidakpatuhan secara jelas saja tidak ditindaklanjuti, lalu sejauh mana penegakan hukum bisa berjalan dalam kasus yang lebih kompleks, atau ada kesepakatan terselubung antara mereka ? ungkap DT
Narasumber lain juga menyampaikan,
“Publik patut bertanya, apakah Kejaksaan dan Kepolisian di Riau hanya menjadi penonton dalam kasus ini? Bagaimana mungkin temuan berulang dari auditor negara tidak memicu tindakan penyelidikan yang lebih serius”,ungkap Rian salah satu pengamat kebijakan publik tamatan dari fisipol UNRI
Salah satu aktivis dan mahasiswa Lancang kuning di Pekanbaru menambahkan,
“Jika praktik ini dibiarkan, maka daerah lain akan belajar bahwa rekomendasi BPK bisa diabaikan tanpa konsekuensi. Ini bukan hanya masalah Kepulauan Meranti, tetapi juga ancaman terhadap kredibilitas sistem pengawasan keuangan negara secara keseluruhan.”ujar Tyo
Skandal Keuangan yang Tidak Bisa Dibiarkan
Kasus opini TMP atas LKPD Kepulauan Meranti bukan sekadar soal angka atau dokumen audit, tetapi cerminan lemahnya kepatuhan pemerintah daerah terhadap sistem hukum dan pengawasan negara. Ketika rekomendasi auditor negara diabaikan dan praktik penyimpangan tetap berlangsung, maka ini bukan lagi kelalaian, tetapi indikasi kesengajaan.
Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti kini dihadapkan pada dua pilihan: memperbaiki tata kelola keuangan secara transparan atau menghadapi konsekuensi hukum atas ketidakpatuhan mereka. Jika penegak hukum tetap diam, maka pesan yang dikirimkan ke publik sangat jelas: sistem pengawasan keuangan negara telah gagal menjalankan fungsinya.
“Penegak hukum dan seluruh pemangku kepentingan di Riau harus bersikap tegas: jangan biarkan kasus ini berlalu tanpa pertanggungjawaban, tutup Tyo
Dalam catatan BPK, praktik maladministrasi dan dugaan korupsi di Dinas PUPR bukan hal baru, berbagai proyek juga mengalami overprice, dugaan pembayaran fiktif, hingga pengadaan barang dan jasa yang tidak transparan. Namun, hingga kini, tidak ada satu pun pejabat yang dijerat hukum.
Seorang aktivis antikorupsi dari Riau, Rian Manurung mengungkapkan kekecewaannya.
“BPK sudah berkali-kali memberikan catatan. Tapi, apa yang terjadi? Tidak ada tindakan nyata. Seolah-olah laporan BPK hanya jadi dokumen formalitas,” ujarnya.
Menurutnya, ada indikasi kuat bahwa aparat penegak hukum, baik kejaksaan maupun kepolisian, sengaja mengulur-ulur penyelidikan atau bahkan melindungi pihak-pihak tertentu.
“Kalau rakyat kecil salah sedikit, langsung dipenjara. Tapi kalau pejabat daerah yang menyalahgunakan miliaran rupiah, malah aman-aman saja,” tegasnya.
Keanehan di Balik Sikap Kejaksaan dan Kepolisian
Sejak terbitnya LHP BPK publik menunggu langkah tegas dari aparat penegak hukum. Namun, hingga kini tidak ada satu pun penyelidikan yang diumumkan.
– Kejaksaan Negeri Kepulauan Meranti belum memberikan pernyataan terkait tindak lanjut dari temuan BPK.
– Polda Riau dan Kejaksaan Tinggi Riau juga tampak pasif meski kasus ini sudah menjadi sorotan publik.
Tuntutan publik:
1.Aparat Penegak Hukum di Riau harus segera memanggil pejabat terkait di Dinas PUPR Meranti.
2.BPKP sebagai pengawasan perlu turun melakukan audit forensik untuk menghitung kerugian negara secara lebih rinci.
3.LSM dan masyarakat harus terus mengawal kasus ini agar tidak didiamkan.
4.DPRD Riau bisa menggunakan hak angket untuk mendesak transparansi.
5.KPK harus tegas menyikapi kasus tersebut.
Jika tidak ada langkah nyata dari aparat penegak hukum, maka kecurigaan publik bahwa ada permainan antara oknum pejabat dengan penegak hukum akan semakin kuat.
Apakah KPK, Kejaksaan RI dan POLRI benar-benar bekerja untuk keadilan, atau justru menjadi tameng bagi koruptor? Dan apakah kasus ini hilang begitu saja? Publik menunggu jawabannya.
Hingga berita ditayangkan belum ada keterangan resmi dari BPK maupun dari pihak yang berwenang. Berita akan diperbarui seiring informasi yang didapatkan. Bersambung…
Tidak ada komentar