Pekanbaru – Dari Flyover Simpang SKA hingga Payung Elektrik Masjid Raya An-Nur dan proyek Tower Riau, deretan proyek bernilai miliaran rupiah ini menyisakan dugaan korupsi yang serius. Nama Thomas Larfo Dimiera berulang kali muncul, namun hingga kini aparat penegak hukum belum menuntaskan kasus-kasus ini, meninggalkan pertanyaan publik tentang akuntabilitas dan integritas birokrasi Riau. (24/09)
Kasus dugaan korupsi pembangunan Flyover Simpang SKA Pekanbaru telah menjadi sorotan tajam. Proyek bernilai Rp159,3 miliar ini terbukti menimbulkan kerugian negara sebesar Rp60,8 miliar. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan lima tersangka sejak Januari 2025: YN selaku Kabid Bina Marga sekaligus PPK, GR dari PT PI, TC Direktur Utama PT SHJ, ES Direktur PT SC, dan NR Kepala PT YK cabang Pekanbaru sampai saat ini tak pernah naik kemeja hijau.
Dalam konstruksi perkara, GR diketahui hanya meminjam bendera PT PI sebagai konsultan perencana dengan imbalan fee 7 persen. Sementara ES dan TC membentuk kerja sama operasional bernama Cipta Marga Semangat Hasrat KSO untuk menjadi kontraktor pelaksana. Proses lelang dan kontrak penuh rekayasa: sejak Review DED pada Oktober 2007, adendum kontrak Desember 2017, hingga penandatanganan kontrak Rp1,37 triliun pada Februari 2018. Harga penawaran dipangkas hingga 92 persen dari HPS, tetapi di baliknya terdapat praktik permainan fee, manipulasi dokumen, dan rekayasa syarat lelang.
Meski struktur perkara tampak jelas, publik menyoroti absennya tanggung jawab Bidang Cipta Karya Dinas PUPR Riau. Pada 2012, desain Flyover SKA awalnya berbentuk semi semanggi, kemudian berubah menjadi underpass, dan akhirnya disederhanakan menjadi flyover biasa. Perubahan signifikan ini seharusnya mendapat kajian teknis dan persetujuan dari Cipta Karya, termasuk review DED, tata ruang kota, hingga dokumen RTRW.
Nama Thomas Larfo Dimiera kemudian mencuat. Saat itu ia menjabat di Bidang Cipta Karya dan memiliki kewenangan teknis untuk menilai kelayakan desain. Rekomendasi yang dikeluarkan bidang ini menjadi dasar sahnya kontrak proyek.
Namun, KPK hanya memposisikan Thomas sebatas saksi. Peran Cipta Karya diperlakukan sebagai pendukung, sementara jerat hukum terfokus pada Bina Marga yang mengendalikan anggaran dan kontrak. Publik pun bertanya: jika akar masalah terletak pada perubahan desain, bagaimana mungkin Kepala dinas PUPR Riau dan Bidang Cipta Karya dilepaskan dari lingkaran pertanggungjawaban?
Kritik semakin keras ketika Thomas kembali menempati jabatan strategis di Pemprov Riau. Setelah menduduki kursi Kepala Biro Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) Setdaprov Riau, ia kemudian dirotasi ke Biro Pembangunan, lalu ironisnya kembali dilantik sebagai PLT Kepala Biro PBJ. Rangkap jabatan ini memunculkan tanda tanya besar, terlebih mengingat rekam jejaknya dalam dua proyek bermasalah.
Kemudian mencuat aroma bau korupsi, Proyek Detail Engineering Design (DED) Tower Riau senilai Rp8,4 miliar dari APBD 2024 kini disorot tajam. Proyek yang digadang menjadi perencanaan kawasan perkantoran terpadu Pemerintah Provinsi Riau itu diduga kuat fiktif, sebab hingga kini tidak ada realisasi fisik di lapangan.
Penyidik Ditreskrimsus Polda Riau sudah memeriksa sejumlah pihak, termasuk PT Wiswakharman sebagai pemenang tender dan Kepala Biro Pengadaan Barang dan Jasa (BPBJ) Pemprov Riau, Thomas Larfo Dimiera. Namun status perkara masih sebatas penyelidikan, belum ada penetapan tersangka.
Kasus lainnya yang tak kalah viral menyeret nama Thomas adalah proyek payung elektrik di Masjid Raya An-Nur, Pekanbaru. Proyek yang menelan anggaran Rp42,9 miliar dari APBD Riau TA 2022 ini gagal total. Enam unit payung raksasa yang direncanakan tidak pernah berfungsi sebagaimana mestinya. Audit BPK Riau menemukan kelebihan pembayaran Rp5,52 miliar.
Sementara penyelidikan Kejaksaan Tinggi Riau mengungkap adanya kerugian negara sekitar Rp7,5 miliar akibat kekurangan volume pekerjaan, spesifikasi yang tidak sesuai, serta sensor-sensor yang tidak terpasang. Hingga kini, perkara tersebut masih mandek di meja Kejati Riau tanpa kejelasan.
Di tengah lambannya penanganan, rumor kian berhembus bahwa kasus ini tidak bisa dilepaskan dari bayang-bayang pengaruh Sf Haryanto, ASN senior yang pernah menjabat Sekdaprov Riau, Penjabat Gubernur Riau, dan kini duduk sebagai Wakil Gubernur Riau 2025-2030. Sejumlah kalangan menduga Thomas adalah โgolden boyโ di lingkaran Sf Haryanto danย turut berperan dalam proses pengadaan yang sarat mark up.
Publik mendesak aparat penegak hukum menuntaskan perkara ini secara transparan. Jika benar proyek Tower Riau hanyalah โmenara fiktifโ bernilai miliaran rupiah, maka kasus ini akan menambah daftar panjang kasus korupsi yang tak pernah selesai.
Situasi ini memperkuat sinisme masyarakat. Tiga institusi penegak hukum KPK dengan Flyover SKA, Kejati Riau dengan Payung Elektrik, dan Polda Riau dengan proyek tower Riau, yang sama-sama dianggap gagal memberi kepastian hukum. Mereka yang diduga terlibat tetap melenggang bebas, bahkan menduduki jabatan strategis dalam birokrasi.
Kondisi tersebut memunculkan stigma baru: Riau disebut sebagai โnegeri mafiaโ, tempat hukum tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Pejabat yang rekam jejaknya bermasalah justru dipertahankan, sementara kasus-kasus besar dibiarkan menggantung tanpa penyelesaian.
Selain sorotan pada kasus-kasus besar, praktik intimidasi terhadap media investigasi di Riau juga menjadi perhatian serius. Wartawan yang berusaha mengungkap dugaan korupsi, termasuk proyek Flyover Simpang SKA, Payung Elektrik Masjid Raya An-Nur, dan Tower Riau, kerap menghadapi tekanan dari berbagai pihak. Bentuk intimidasi yang terjadi antara lain ancaman lisan, kriminalisasi melalui laporan hukum, somasi, hingga tekanan birokrasi yang membatasi akses informasi.
Fenomena ini sering menimbulkan efek menakutkan, membuat beberapa jurnalis di Riau menahan diri dalam melaporkan dugaan penyimpangan, sehingga kasus-kasus penting yang mestinya menjadi perhatian publik Riau, bisa terseret ke arah stagnasi. Praktik intimidasi ini turut memperkuat sinisme masyarakat: selain hukum dianggap tumpul ke atas, kebebasan pers yang seharusnya menjadi pilar kontrol sosial juga terpangkas, menambah kompleksitas upaya membersihkan birokrasi Riau dari praktik korupsi.
Hingga kini, pertanyaan besar masih menggema di tengah publik: beranikah pemerintah pusat membersihkan aparat penegak hukum yang bertugas di Riau, supaya aparat penegak hukum bisa menembus tembok kekuasaan untuk menuntaskan kasus-kasus besar ini? Ataukah Riau akan terus terjebak dalam lingkaran gelap korupsi yang tak kunjung bersih?
Disclaimer:
Informasi dalam berita ini berdasarkan data, dokumen, dan sumber publik. Semua dugaan yang dikemukakan belum menjadi putusan pengadilan. Segala informasi masih dalam tahap penyelidikan, Media tidak bermaksud menuduh pihak manapun, dan berita ini disampaikan untuk kepentingan informasi publik.
Redaksi juga berupaya menghubungi pihak-pihak terkait untuk memperoleh tanggapan, untuk menjamin pemberitaan yang berimbang.
Tidak ada komentar