Bengkalis,- Alasan Kepala Dinas PMD Bengkalis Andris Wasono soal penundaan Pilkades jelas tidak masuk akal, ia dinilai lakukan pembenaran atas kebijakan Bupati Kasmarni yang diduga telah melanggar aturan. Mengatasnamakan stabilitas tanpa bukti, beralasan menunggu aturan tanpa dokumen resmi, dan mengklaim fleksibilitas masa jabatan Pj padahal Permendagri membatasi 2 tahun. Semua dalih itu runtuh di hadapan fakta: hanya Bengkalis yang menahan demokrasi desa hingga 92 desa kehilangan hak pilih. (30/10)
Sejak 1 September 2023 hingga 2025, Kabupaten Bengkalis masih mempertahankan 92 Penjabat Kepala Desa (Pj Kades) berstatus ASN tanpa pernah menggelar Pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Kondisi ini menjadikan Bengkalis satu-satunya daerah di Indonesia yang โmengunciโ desa-desa dalam kepemimpinan sementara yang justru melanggar aturan.
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Bengkalis Andris Wasono di portal resmi pemkab Bengkalis, menyatakan bahwa penundaan Pilkades dilakukan demi menjaga stabilitas daerah. Namun, alasan ini tidak pernah dibuktikan dengan data atau dokumen resmi.
Tidak ada satupun laporan gangguan keamanan yang cukup serius hingga menghalangi Pilkades. Di ratusan kabupaten lain, Pilkades tetap berjalan tanpa menimbulkan kekacauan. Pertanyaan mendasarnya: jika benar demi stabilitas, mengapa hanya Bengkalis yang menahan demokrasi desa selama 2 tahun penuh?
Dalih berikutnya yang digunakan adalah โmenunggu aturan pelaksana UU Desa terbaru (UU No. 3 Tahun 2024)โ. Namun logika ini pun terbantahkan. UU tersebut tidak menghapus kewajiban Pilkades, justru mempertegas periodisasi jabatan kepala desa.
Jika benar Pemkab Bengkalis menunggu aturan teknis, maka seharusnya ada surat resmi dari Kemendagri yang memerintahkan penundaan massal Pilkades. Faktanya, hingga kini dokumen itu tidak pernah ada. Lebih ironis lagi, daerah lain di Indonesia yang tunduk pada UU yang sama tetap melaksanakan Pilkades tanpa hambatan.
Tidak berhenti di situ, Kepala Dinas PMD juga menyebut masa jabatan Pj bisa diperpanjang sesuai kebutuhan. Padahal, Permendagri No. 82 Tahun 2015 jo. Permendagri No. 66 Tahun 2017 sangat jelas membatasi masa jabatan Pj hanya 1 tahun dan bisa diperpanjang sekali, sehingga maksimal 2 tahun. Menjaga 92 desa dalam status Pj sejak 2023 hingga 2025 artinya melanggar ketentuan eksplisit yang telah digariskan oleh pemerintah pusat sendiri.
Kondisi ini bukan lagi sekadar soal administrasi, melainkan perampasan hak politik rakyat. Lebih dari 400 ribu penduduk desa di Bengkalis kehilangan hak konstitusional untuk memilih pemimpinnya secara langsung. Praktik ini bertentangan dengan amanat UU Desa No. 6 Tahun 2014, Pasal 34 ayat (1), yang menegaskan kepala desa dipilih langsung oleh penduduk desa.
Motif politik pun kian menguat. Bengkalis dikenal sebagai basis suara strategis di Riau. Mengontrol 92 desa melalui ASN berarti mengendalikan distribusi bantuan sosial, arah pembangunan desa, dan jaringan politik akar rumput. Situasi ini memperkuat dugaan bahwa jabatan Pj Kades dijadikan mesin pengondisian suara menjelang Pemilu 2024 dan Pilkada 2024/2029.
Sekretaris Jenderal SATU GARIS, Afrizal Amd, menyebut kondisi ini sebagai bentuk pengkhianatan terhadap demokrasi desa.
โPenunjukan Pj Kades yang terus diperpanjang adalah bukti nyata pengkhianatan terhadap demokrasi desa. Rakyat bukan hanya kehilangan hak pilih, tetapi juga menjadi korban permainan politik kekuasaan,โ tegasnya.
Kasus ini jelas menuntut campur tangan pemerintah pusat. SATU GARIS mendesak Kemendagri segera turun tangan untuk memeriksa praktik perpanjangan Pj Kades di Bengkalis. Ombudsman RI harus menginvestigasi maladministrasi penundaan Pilkades tanpa dasar hukum. Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) wajib memeriksa netralitas ASN yang dijadikan Pj Kades.
Fenomena 92 desa tanpa demokrasi di Bengkalis bukan hanya kegagalan administratif, melainkan ancaman serius bagi fondasi demokrasi desa di Indonesia. Tidak ada dasar hukum, tidak ada preseden di daerah lain, dan tidak ada alasan logis menunda Pilkades.
Jika dibiarkan, kasus ini akan menjadi preseden berbahaya yang bisa menular ke daerah lain dan meruntuhkan hak politik rakyat di tingkat akar rumput.
Hingga berita ini diturunkan, Pemkab Bengkalis belum memberikan dokumen resmi penundaan Pilkades tersebut. Padahal media telah membuka ruang hak jawab, tetapi ironisnya justru dituding tendensius. Fakta ini semakin menunjukkan bahwa pemerintah daerah tidak punya dasar kuat untuk membenarkan kebijakan yang jelas-jelas merugikan demokrasi warga desa.
Tidak ada komentar