x
.

Abdi Negara dan Perang Kedaulatan di Era AI: Saat Rahasia Negara Mengalir ke Server Asing

waktu baca 4 menit
Minggu, 19 Okt 2025 04:32

JAKARTA — Paradoks baru muncul di tengah kemajuan teknologi kecerdasan buatan (AI). Alat yang seharusnya memperkuat sistem pertahanan negara kini justru menjadi celah strategis yang mengancam kedaulatan. Dalam tulisan berjudul “Abdi Negara vs Algoritma dan Perang Kedaulatan di Era AI”, penulis dan analis kebijakan digital Ruben Cornelius Siagian menyoroti bagaimana aparat negara tanpa sadar menjadi bagian dari aliran data global yang perlahan membocorkan rahasia bangsa sendiri. (19/10)

Ruben menjelaskan bahwa ancaman terhadap kedaulatan negara saat ini tidak lagi datang dari invasi militer atau spionase manusia, melainkan dari penetrasi algoritmik yakni sistem kecerdasan buatan yang beroperasi di balik arsitektur data global.

Ketergantungan lembaga negara terhadap platform berbasis AI publik seperti ChatGPT, Google Gemini, Palantir, atau Copilot dinilai bukan sekadar persoalan efisiensi, tetapi menyangkut siapa yang mengendalikan pengetahuan dan memori digital bangsa.

Ia menyebut fenomena ini sebagai bentuk baru imperialisme digital, di mana negara-negara berkembang tidak hanya menjadi pengguna, tetapi juga penyumbang data mentah yang memperkaya algoritma milik negara adidaya.

Rahasia dan strategi kebijakan dalam negeri, kata Ruben, perlahan terserap ke dalam sistem data global yang dikendalikan oleh korporasi asing berbasis di Amerika Serikat, Israel, dan Tiongkok.

Ruben menguraikan bagaimana perjalanan sebuah data, misalnya laporan rahasia kementerian, dapat menembus batas negara tanpa disadari. Saat seorang pegawai negeri menggunakan AI publik untuk membantu menulis laporan strategis, setiap kata yang diketik menjadi jejak digital yang tidak bisa dihapus.

Data tersebut kemudian masuk ke proses akuisisi, kurasi, pelatihan model, hingga retensi, di mana seluruh informasi tersimpan dalam jaringan server lintas benua yang tunduk pada hukum asing.

Ia menyinggung kasus nyata tahun 2023, ketika sejumlah insinyur pertahanan di Korea Selatan secara tidak sengaja membocorkan kode rahasia melalui ChatGPT. Pemerintah Korea Selatan kemudian melarang penggunaan AI publik untuk pekerjaan sensitif. Kasus ini, menurut Ruben, menjadi bukti bahwa setiap interaksi dengan AI adalah potensi kebocoran strategis.

Lebih jauh, ia mengutip teori Jean Baudrillard tentang “ilusi realitas” untuk menjelaskan bagaimana teknologi memberi rasa aman semu. Dalam konteks intelijen modern, lembaga pertahanan merasa efisien dengan bantuan AI, padahal tanpa disadari membuka ruang penyusupan algoritmik yang sulit dideteksi.

Penelitian Yadong Luo (2021) juga menunjukkan banyak lembaga pemerintahan di negara berkembang belum memiliki sistem keamanan data sekuat perusahaan global, sehingga aparat negara beroperasi di medan digital yang tidak mereka kuasai.

Ruben menilai bahwa persoalan ini bukan hanya teknis, melainkan juga etis dan ideologis. Ia mengutip gagasan Michel Foucault tentang panoptikon, sistem pengawasan permanen yang kini justru berbalik arah bukan negara yang mengawasi rakyat, melainkan korporasi global yang mengawasi negara. Aparat, akademisi, dan lembaga riset pertahanan kini bekerja di bawah pengawasan algoritmik yang tidak kasat mata.

Untuk menghadapi situasi tersebut, Ruben menyerukan reorientasi besar dalam kebijakan digital nasional. Negara, katanya, harus berani mengembalikan pengolahan data strategis ke sistem offline yang steril dari interkoneksi global. Semua informasi yang menyangkut keamanan nasional dan kebijakan pertahanan perlu diproses tanpa bergantung pada jaringan publik.

Ia juga mendorong pemerintah membangun ekosistem AI nasional berbasis infrastruktur domestik, agar kecerdasan buatan tidak menjadi alat kolonialisme digital, melainkan instrumen kemandirian teknologi. Pendidikan pertahanan dan intelijen juga perlu diperbarui agar abdi negara memahami cara kerja algoritma dan bahaya ketergantungan digital.

Ruben menegaskan pentingnya diplomasi digital di forum internasional untuk memperjuangkan data sovereignty atau kedaulatan data. Ia mengutip penelitian Marcucci dkk. (2023) yang menegaskan bahwa setiap negara berhak menentukan di mana datanya disimpan dan siapa yang boleh mengolahnya.

Menurutnya, kedaulatan digital harus ditempatkan sejajar dengan kedaulatan teritorial, sebab kehilangan kendali atas informasi sama artinya dengan kehilangan kendali atas masa depan.

“Intelijen di era AI bukan lagi soal siapa yang punya senjata paling kuat, tapi siapa yang menguasai data paling dalam,” tulis Ruben dalam penutup artikelnya.

Ia memperingatkan bahwa tanpa kesadaran kritis terhadap struktur algoritmik global, para abdi negara akan terjebak dalam sistem pengawasan yang mereka bantu bangun sendiri.

Jika negara tidak segera bertindak, intelijen akan menjadi nol besar di era AI bukan karena lemah dalam analisis, melainkan karena kehilangan kendali atas pengetahuan yang menjadi sumber kekuatannya.

(Ruben C. Siagian)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA
    x