x
.

Fitnah dan Kekuasaan: Membaca Bahasa Moral Bupati Siak Afni

waktu baca 3 menit
Minggu, 5 Okt 2025 09:45 Editor

Mataxpost | Siak, – Pelantikan Mahadar sebagai Sekretaris Daerah seharusnya menjadi momen seremonial yang penuh harapan dan semangat birokrasi. Namun satu kalimat dari Bupati Afni justru menjadi bahan perbincangan publik. Di hadapan para pejabat dan tamu undangan, Afni mengucapkan dengan nada tegas: โ€œJabatan adalah sumber fitnah.โ€ (05/10)ย 

Sekilas kalimat itu terdengar bijak. Seperti nasihat moral yang mengingatkan bahwa kekuasaan bukanlah kehormatan, melainkan ujian. Bahwa setiap jabatan membawa risiko disalahpahami, dicurigai, bahkan difitnah.

Dalam tafsir keagamaan, kata fitnah sering dimaknai sebagai ujian terhadap keimanan dan keteguhan hati. Tapi dalam politik, kata yang sama bisa berubah menjadi pagar retoris membatasi kritik sambil menegaskan kewenangan.

Jika diperhatikan secara utuh, ucapan itu muncul di tengah pidato yang sarat dengan pesan pengendalian. Afni berbicara tentang kesempitan fiskal, target kerja yang tak boleh bergeser, loyalitas terhadap visi misi bupati, dan penegasan bahwa tidak ada visi misi lain selain miliknya.

Di sela perintah dan peringatan itu, muncul kalimat โ€œjabatan adalah sumber fitnahโ€ bukan sebagai refleksi spiritual, tetapi sebagai peringatan. Ia berbunyi seperti pesan hierarkis: โ€œBerhati-hatilah, jangan sampai jabatanmu membawa fitnah bagi pemimpinnya.โ€

Bahasa semacam ini adalah contoh bagaimana moralitas bisa menjadi instrumen politik. Kalimat religius berfungsi meneguhkan struktur kekuasaan. Ucapan tentang fitnah bukan sekadar peringatan etis, melainkan alat untuk menegaskan siapa yang mengendalikan tafsir moral dalam birokrasi.

Dalam konteks itu, Afni berbicara bukan hanya sebagai pemimpin spiritual, tetapi sebagai penguasa yang ingin memastikan arah tetap tunggal dan kritik tidak berkembang liar.

Secara pragmatik, kalimat itu bersifat ambigu mengandung dua lapis makna yang saling menutupi. Di satu sisi, ia bisa dibaca sebagai nasihat luhur agar pejabat berhati-hati. Di sisi lain, ia bisa berfungsi sebagai tameng terhadap sorotan publik tepatnya setiap kritikan akan dianggap sebuah fitnah.

Ambiguitas seperti ini sering muncul dalam retorika pejabat publik: memberi kesan bijak tanpa benar-benar membuka ruang kritik. Jika dipuji, terlihat religius; jika dikritik, bisa berkata bahwa itu hanya peringatan moral sekaligus sebagai alat membela diri sebelum di serang.

Ucapan Afni juga mencerminkan pola pikir paternalistik yang kerap menguasai birokrasi lokal. Pemimpin digambarkan sebagai sosok yang memegang kebenaran tunggal, sementara bawahan harus patuh dan kokoh.

Dalam konstruksi seperti ini, moralitas bukan alat refleksi, melainkan alat kontrol. Ia menenangkan sekaligus mengikat.

Namun publik kini lebih peka membaca bahasa kekuasaan. Kalimat seperti โ€œjabatan adalah sumber fitnahโ€ tak lagi berdiri di ruang kosong. Ia diukur dari konteks politik dan sejarah ucapan itu sendiri.

Di tengah meningkatnya kritik terhadap transparansi dan kebijakan daerah, ucapan seperti ini mudah dianggap defensif, seolah-olah kritik publik hanyalah bentuk fitnah, bukan bagian dari kontrol demokrasi yang sehat.

Akhirnya, makna ucapan itu tidak lagi sepenuhnya milik sang bupati. Ia telah menjadi milik publik, yang menafsirkan dengan caranya sendiri. sesekali

Apakah kalimat itu lahir dari kesadaran moral seorang pemimpin yang jujur terhadap beratnya jabatan, atau dari kelelahan menghadapi kritik yang tak henti datang?

Sebab dalam politik, bahasa yang terdengar bijak sering kali bekerja lebih keras daripada tindakan. Ia menenangkan, mengaburkan, dan sesekali melindungi kekuasaan dari pandangan yang terlalu dekat. Dan di situlah fitnah yang sesungguhnya mungkin bermula.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA
    x
    x