x
.

Purbaya Yudhi Sadewa dan Dialektika Baru Politik Ekonomi Indonesia

waktu baca 5 menit
Senin, 13 Okt 2025 18:51

Oleh : R C Siagian

Mataxpost | Jakarta,- Nama Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mendadak mencuri perhatian publik di awal masa pemerintahan baru menuju 2029. Baru beberapa bulan menjabat, sosoknya menarik sorotan karena kebijakan yang mengguncang pasar dan gaya komunikasinya yang blak-blakan. Purbaya tampil sebagai teknokrat yang tak biasaโ€”keras terhadap angka namun santai di depan kamera. (13/10)

Kiprah Purbaya kini dianggap menjadi ujian bagi arah politik ekonomi nasional: apakah Indonesia benar-benar memasuki era keseimbangan baru antara populisme politik dan rasionalitas teknokratis.

Presiden Prabowo Subianto dikenal dengan orientasi populis-sosialis melalui program besar seperti makan bergizi gratis, subsidi pangan, dan penguatan ekonomi rakyat. Kombinasi ini menimbulkan pertanyaan strategis, apakah duet Prabowoโ€“Purbaya menjadi bentuk keseimbangan antara ideologi kiri dan kanan dalam tata ekonomi Indonesia modern.

Purbaya muncul sebagai teknokrat yang berani menantang status quo. Ia menegur bank yang dianggap malas menyalurkan kredit, menggeser triliunan dana negara dari rekening pasif, dan menuntut efisiensi lembaga pemerintah.

Dalam istilah ekonomi politik, Purbaya memainkan peran sebagai โ€œdisciplinarian technocratโ€ atau penjaga disiplin fiskal yang menganggap stabilitas makro sebagai moralitas publik.

Kebijakan efisiensi yang digagasnya kerap menimbulkan kontroversi. Ia menyadari bahwa fiskal adalah panggung politik sebenarnya. Setiap pemangkasan dan penundaan transfer anggaran selalu berpotensi menimbulkan gesekan antara pusat dan daerah, antara teknokrat dan politisi.

Ketegangan ini tampak ketika belasan gubernur yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) mendatangi kantornya di Jakarta. Aksi โ€œ18 Gubernur Geruduk Menkeuโ€ menjadi simbol perebutan kontrol atas uang negara antara pusat dan daerah.

Para gubernur memprotes rencana pemotongan Dana Transfer ke Daerah (TKD) dalam APBN 2026 yang dinilai akan menjerat fiskal daerah dan menghambat pembangunan. Namun Purbaya bergeming. Ia menegaskan daerah harus memperbaiki kualitas belanja publik sebelum menuntut tambahan anggaran.

Dengan gaya khasnya, ia berseloroh takut โ€œdipukul gubernurโ€ karena kebijakan efisiensi, pernyataan ringan namun sarat makna bahwa negara kini memasuki era disiplin fiskal yang berdiri di atas politik daerah.

Dalam politik ekonomi Indonesia, ideologi kiri dan kanan tidak pernah hadir secara murni. Kiri berarti keberpihakan pada rakyat kecil dan intervensi negara, sementara kanan menekankan disiplin fiskal dan efisiensi anggaran.

Selama satu dekade terakhir, Indonesia bergerak di antara dua poros tersebut, mencari keseimbangan antara model developmental state ala Asia Timur dan populisme sosial khas demokrasi elektoral.

Prabowo membawa semangat kerakyatan, sementara Purbaya menjadi penyeimbang dengan rasionalitas fiskalnya. Hubungan keduanya menggambarkan dialektika antara moralitas redistributif dan disiplin teknokratis.

Jika berjalan selaras, kombinasi ini bisa menjadi kekuatan; jika berlawanan, akan memunculkan tarik-ulur kebijakan yang melelahkan.

Purbaya juga membawa jejak panjang dari masa pemerintahan Joko Widodo. Saat krisis ekonomi akibat COVID-19, ia menjabat sebagai Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan berperan menyelamatkan sistem keuangan nasional. Ia dikenal dekat dengan Luhut Binsar Pandjaitan, tokoh kunci ekonomi era Jokowi.

Banyak pengamat menilai kehadiran Purbaya di kabinet Prabowo merupakan jembatan kesinambungan antara teknokrasi Jokowi dan populisme Prabowo, sebagai strategi menjaga stabilitas ekonomi di tengah perubahan politik besar.

Krisis kecil dari โ€œaksi 18 gubernurโ€ sesungguhnya membuka perdebatan besar tentang siapa yang berdaulat atas uang negara. Selama dua dekade terakhir, transfer ke daerah menjadi simbol otonomi fiskal, tetapi efektivitasnya dipertanyakan.

Purbaya menilai negara tidak bisa terus menyalurkan dana tanpa perbaikan tata kelola. Sikap tegasnya menunjukkan kesediaan menanggung risiko politik demi kebijakan rasional, langkah yang berani di tengah pemerintahan populis.

Kombinasi Prabowoโ€“Purbaya menjadi eksperimen politik ekonomi menarik. Prabowo membawa legitimasi moral dan semangat rakyat, sementara Purbaya menekankan efisiensi dan kehati-hatian fiskal. Namun sejarah menunjukkan kombinasi antara pemimpin karismatik dan teknokrat rasional sering berakhir dengan ketegangan.

Keduanya kini diuji: apakah Purbaya dapat menjaga kredibilitas fiskal tanpa kehilangan sensitivitas sosial, dan sejauh mana Prabowo mampu menahan dorongan populis demi stabilitas jangka panjang.

Fenomena Purbaya juga memperlihatkan gaya kepemimpinan โ€œkoboiโ€berani, blak-blakan, dan menantang norma birokrasi. Dalam literatur manajemen, gaya seperti ini disebut maverick leadership, yakni keberanian mengambil keputusan cepat dan menantang status quo. Pendekatan ini dapat membawa inovasi dan efisiensi, tetapi juga berisiko menimbulkan friksi politik.

Keputusan Purbaya menegur bank, memindahkan dana besar, dan menolak transfer daerah tanpa reformasi belanja menunjukkan ciri pemimpin high-risk, high-reward. Gaya ini bisa memperkuat disiplin fiskal dan menarik investasi, namun juga memicu konflik politik di negara demokratis yang desentralistik seperti Indonesia.

Keberhasilan gaya kepemimpinan koboi bergantung pada tiga faktor: kredibilitas teknokratik, dukungan politik elite, dan kontrol internal yang kuat. Purbaya memiliki dua faktor pertama, sementara yang ketiga akan menentukan apakah gaya ini membawa harmoni atau friksi.

Jika mampu menyeimbangkan keberanian dengan koordinasi institusional, ia bisa menjadi motor reformasi fiskal. Namun bila ketegangan meningkat, kebijakan bisa terhambat oleh tarik-ulur politik dan ketidakpastian pasar.

Indonesia kini berada di persimpangan antara kesinambungan dan perubahan. Purbaya adalah simbol teknokrasi era Jokowiโ€“Luhut yang kini bekerja di bawah visi politik Prabowo. Hubungan mereka sejauh ini masih produktif, namun menyimpan potensi friksi besar.

Publik menyaksikan seorang presiden dengan visi besar untuk rakyat, seorang menteri yang tajam dalam angka, serta dua bayangan lama yang masih mengamati dari jauh. Tiga generasi kekuasaan kini berbagi panggung ekonomi nasional.

Dari tarik-ulur itu, mungkin akan lahir keseimbangan baru dalam politik ekonomi Indonesia pasca-2029.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA
    x