
.


Mataxpost | SIAK โ Ketua Umum Organisasi Gabungan Jurnalis dan Aktivis, SATU GARIS, Ade Monchai, menegaskan sikap keras terhadap kebobrokan sistem pengawasan di Rutan Kelas IIB Siak pasca kaburnya tiga narapidana terpidana mati kasus narkoba. Ia mendesak agar Kepala Rutan Edward P. Situmorang, Amd.P., SH., MH., Kepala Pengamanan Rutan (Ka. KPR) Muhamad Reza Pathi Buwana, serta seluruh petugas jaga segera diperiksa dan dijatuhi sanksi tegas, baik administratif maupun pidana.
Ade Monchai menilai pelarian tersebut tidak mungkin terjadi tanpa adanya kelalaian berat, bahkan dugaan keterlibatan dari petugas rutan.
โMari pakai logika sehat. Di dalam rutan, benda seperti mata gerinda itu hanya ada di unit Pembinaan Kerja (Binker). Bagaimana bisa benda berbahaya itu sampai ke dalam kamar napi hukuman mati? Ini bukan kebetulan, peristiwa ini sudah terencana rapiโ tegasnya.
Ia menjelaskan, seorang napi hukuman mati yang sadar hidupnya akan segera berakhir tentu akan melakukan segala cara untuk lolos, termasuk memanfaatkan celah pengawasan dan kemungkinan melibatkan pihak luar maupun dalam.
โJangan tutup mata, orang yang menunggu eksekusi bisa saja rela mengeluarkan puluhan bahkan ratusan miliar untuk membeli kebebasan. Kita harus melihat kemungkinan itu, Maka pertanyaannya, siapa yang bermain di dalam?โ ucap Ade dengan nada tajam.
SATU GARIS juga mengecam keras sikap petugas rutan yang justru tampil seolah menjadi pahlawan dalam proses pencarian dan penangkapan dua napi yang berhasil ditangkap kembali.
โApa logikanya petugas yang gagal menjaga, kini bergaya heroik di depan kamera? Yang menangkap itu Polri dan TNI, bukan kalian. Rutan justru gagal menjalankan tanggung jawab dasarnya menjaga agar napi tidak kabur,โ katanya lantang.
Ade menegaskan, klaim keberhasilan rutan hanyalah upaya menutupi fakta kegagalan sistemik.
โJangan alihkan perhatian publik dengan cerita pencitraan. Pelarian napi hukuman mati bukan hal sepele ini bentuk keretakan sistem keamanan negara,โ ujarnya.
Lebih jauh, SATU GARIS mempertanyakan fungsi pengawasan DPRD Siak yang justru bungkam di tengah kasus besar ini.
โKami juga ingin tahu, di mana suara DPRD Siak? Mengapa kalian diam seribu bahasa? Apakah kalian menganggap ini hal biasa? Atau jiwa kritis kalian sudah mati tertimbun kenyamanan kursi dewan?โ kata Ade dengan nada geram.
Ia menegaskan bahwa DPRD sebagai wakil rakyat memiliki kewajiban moral dan politik untuk mengawasi jalannya pemerintahan daerah, termasuk lembaga pemasyarakatan di wilayahnya.
โFungsi pengawasan dewan sedang dipertanyakan. Jangan hanya pandai berdebat saat paripurna membahas anggaran, lalu diam saat rakyat resah dan marwah hukum diinjak-injak. Jika cuma bisa bising saat bagi-bagi proyek, lebih baik mundur dari kursi terhormat itu,โ tegasnya.
SATU GARIS menilai masyarakat Siak kini hidup dalam kecemasan akibat kelalaian sistemik tersebut. Warga merasa waswas karena napi hukuman mati yang masih buron bisa bertindak nekat kapan saja.
โIni bukan main-main. Ini bukan petak umpet. Ini tentang rasa aman rakyat dan harga diri hukum di negeri ini,โ ujar Ade.
Ia mendesak Ditjenpas Riau dan Polda Riau dan juga kepada Kejaksaan untuk dapat membuka tabir, buruknya sistem penjara di rutan siak, memeriksa dan segera menahan sementara seluruh pejabat rutan yang bertanggung jawab, melakukan audit forensik sistem keamanan, dan membuka hasil penyelidikan secara transparan kepada publik.
โKalau memang negara ini masih punya rasa malu dan tanggung jawab, bongkar semua. Jangan ada yang dilindungi. Ini bukan soal siapa jadi pahlawan di media, tapi soal integritas hukum dan keselamatan warga,โ tutup Ade Monchai.
ironi mencolok di balik pernyataan pihak Rutan Siak. Dikutip dari Kilatperistiwanews.com, peristiwa pelarian itu terjadi sekitar pukul 02.00 WIB dini hari. Berdasarkan keterangan awal, para napi menjebol pintu kamar hunian menggunakan mata gerinda untuk memotong slot grendel, lalu menutupinya dengan abu rokok agar tak terlihat petugas jaga.
โSaat itu kondisi hujan deras, dan mereka memanfaatkan situasi tersebut untuk menyamarkan suara,โ ujar Ka. KPR Muhamad Reza Pathi Buwana.
Ia menambahkan, setelah mendengar suara mencurigakan dari arah atap seng, petugas segera bertindak dan berhasil menangkap dua napi yang melompat dari atap, sementara satu lainnya masih buron.
Namun di sinilah ironi yang disorot SATU GARIS: bagaimana mungkin napi bisa memotong besi, menutupi jejak dengan abu rokok, dan memanjat atap tanpa diketahui sebelumnya di tempat yang disebut โpenjara berkeamanan tinggiโ? Pernyataan yang seolah membanggakan โreaksi cepatโ petugas, justru menelanjangi kelengahan fatal dalam pengawasan.
Lebih jauh, pernyataan tersebut bertolak belakang dengan pemberitaan RRI.co.id, yang menyebut dua napi itu justru ditangkap oleh sesama narapidana, bukan petugas rutan. Fakta ini memperkuat dugaan bahwa narasi heroik pihak rutan hanyalah upaya menutupi kegagalan internal.
SATU GARIS juga menyoroti kejanggalan serius dalam tata kelola keamanan Rutan Siak. Narapidana berisiko tinggi termasuk terpidana mati seharusnya dipisahkan dari napi lain sesuai tingkat risiko, kasus, dan status hukum. Penempatan mereka dalam satu kamar hanya dapat dilakukan atas izin dan pertimbangan keamanan dari Kepala Rutan, dengan koordinasi Kepala Divisi Pemasyarakatan (Kadivpas) Kanwil Kemenkumham Riau.
Artinya, tanggung jawab langsung ada pada Kepala Rutan Edward P. Situmorang. Namun secara struktural, Kanwil Ditjenpas Riau juga tak bisa lepas tangan karena berkewajiban melakukan monitoring dan evaluasi berkala terhadap penempatan napi berisiko tinggi.
Jika tiga terpidana mati bisa ditempatkan dalam satu sel tanpa justifikasi keamanan yang kuat, hanya ada dua kemungkinan: kelalaian fatal di tingkat rutan, atau pembiaran sistemik oleh Kanwil Ditjenpas Riau.
Dengan kata lain, ini bukan sekadar kesalahan teknis, tetapi rantai kelalaian administratif yang menjalar ke atas. Jika penempatan itu dilakukan tanpa izin, maka Kepala Rutan bertindak nekat; namun bila ada izin resmi, berarti sistem pengawasan Ditjenpas benar-benar jebol.
Ini bukan soal satu napi yang kabur, ini soal sistem keamanan negara yang dirusak dari dalam. Kalau hukum hanya tegas ke rakyat kecil tapi tumpul ke yang berseragam, jangan salahkan publik kalau akhirnya kehilangan rasa percaya. Hukum tanpa integritas hanyalah jeruji yang berkarat.
Editor: Putra
Penulis: Bunga Cantika

Tidak ada komentar