x
.

Swandi Menang: Hakim PT Pekanbaru Nilai Ada Dugaan Penyalahgunaan Wewenang Pemkab Meranti dan Batalkan Putusan PN Bengkalis

waktu baca 4 menit
Minggu, 19 Okt 2025 18:07

PEKANBARU โ€” Sengketa lahan antara Swandi, warga Selatpanjang, dengan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti kembali memasuki babak baru setelah Pengadilan Tinggi (PT) Pekanbaru mengeluarkan putusan banding Nomor 143/PDT/2025/PT PBR tertanggal 2 Oktober 2025. (19/10)

Dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan bahwa baik gugatan Swandi maupun gugatan balik (rekonvensi) yang diajukan Pemkab Meranti dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard) karena alasan formil administratif.

Putusan ini sekaligus membatalkan putusan Pengadilan Negeri Bengkalis yang sebelumnya memutus perkara di tingkat pertama.

Kepala Bagian Hukum Setdakab Kepulauan Meranti, Maizathul Baizura, SH, MH, yang sebelumnya menjabat Kabid Aset di BPKAD dan diketahui sebagai pihak yang memerintahkan pemasangan plang di lokasi sengketa, menjelaskan bahwa putusan tersebut tidak berarti pihak mana pun menang atau kalah.

โ€œMajelis tidak memutus siapa yang benar atau salah. Putusan menyatakan gugatan kedua pihak tidak dapat diterima karena alasan administratif, bukan karena menang atau kalah,โ€ jelas Baizura, Minggu (19/10).

Dengan demikian, hasil banding ini membuat keadaan hukum kembali seperti sebelum sengketa dimulai (status quo ante).

Berdasarkan pertimbangan majelis, alasan utama penolakan adalah adanya cacat formil dalam proses gugatan, baik dari sisi objek maupun kelengkapan administrasi.

Dalam amar pertimbangannya, hakim menegaskan bahwa dokumen Berita Acara Serah Terima (BAST) yang digunakan Pemkab Meranti sebagai dasar klaim aset tidak dapat dijadikan bukti sah kepemilikan tanah.

BAST hanya merupakan dokumen internal pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD), bukan alat bukti hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 jo. Permendagri Nomor 7 Tahun 2024.

Hakim juga menegaskan bahwa aset daerah hanya dapat diakui apabila didukung sertipikat tanah atas nama pemerintah daerah yang diterbitkan oleh BPN.

Majelis turut menyoroti tindakan Pemkab Meranti yang memasang plang bertuliskan โ€œTanah Milik Pemdaโ€ di atas objek sengketa sebelum kepemilikan tanah ditetapkan secara hukum.

Langkah tersebut dinilai sebagai perbuatan pemerintahan konkret (feitelijke handeling) yang menimbulkan akibat hukum bagi masyarakat, namun dilakukan tanpa dasar hak yang jelas.

Dalam pertimbangan hukumnya, hakim menilai tindakan tersebut berpotensi melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), seperti asas kepastian hukum, kecermatan, dan transparansi, sehingga dapat dikategorikan sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang (onrechtmatige overheidsdaad).

Dengan tidak adanya amar yang memerintahkan pengosongan atau mencabut hak penguasaan, tanah yang disengketakan kini kembali pada keadaan semula.

Swandi tetap menjadi pihak yang secara faktual dan administratif menguasai lahan tersebut sebagaimana sebelum sengketa dimulai.

Sejak 2018, Swandi diketahui telah mengantongi Surat Keterangan Ganti Rugi (SKGR) serta Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang sah dan telah menempati lahan itu tanpa keberatan hukum dari pihak mana pun.

โ€œPutusan PT ini bersifat administratif, artinya keadaan kembali seperti semula. Swandi tetap berhak menguasai tanahnya sebagaimana sebelum sengketa,โ€ ujar Afrizal Amd CPLA

Sementara itu, Pemkab Kepulauan Meranti dalam keterangan resminya, tetap menyatakan akan menggunakan hak hukumnya untuk menempuh kasasi ke Mahkamah Agung.

Menurut Baizura, langkah hukum ini diambil demi mendapatkan kepastian hukum dan kejelasan status aset daerah, bukan bentuk permusuhan terhadap masyarakat.

โ€œPemkab Meranti menghormati seluruh warga dan menjunjung tinggi prinsip keadilan sosial. Sengketa ini bukan konflik dengan rakyat, melainkan tanggung jawab pemerintah menjaga aset publik,โ€ ujarnya.

Sekjend SATU GARIS Afrizal Amd CPLA menyebutkan, sebagai pejabat publik yang memegang jabatan strategis di bidang hukum dan aset, Maizathul seharusnya menjaga jarak dari tindakan yang bisa diartikan sebagai kepentingan pribadi atau emosional terhadap perkara.

Namun bila ia justru aktif memimpin tindakan lapangan misalnya memerintahkan pemasangan plang, menanggapi media dengan nada menyerang warga, atau mendesak langkah hukum tertentu maka hal itu bisa dianggap bentuk konflik kepentingan administratif.

Dalam asas pemerintahan yang baik (UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan), pejabat wajib menahan diri dari tindakan yang memiliki potensi benturan kepentingan antara jabatan dan kepentingan pribadi atau kelompok, tegas Afrizal

Bagi publik, kondisi ini menimbulkan kesan bahwa pemerintah daerah tidak netral, arogan dan pejabatnya menggunakan kekuasaan hukum sebagai alat tekanan.

Padahal, jika Pemkab benar-benar menjunjung โ€œkeadilan sosialโ€, mereka justru seharusnya menjadi penengah dan penjaga keseimbangan, bukan pihak yang memperuncing ketegangan.

Dengan posisi warga seperti Swandi yang kini berhadapan langsung dengan pejabat daerah di pengadilan, kasus ini bukan sekadar sengketa tanah tetapi juga ujian etika kekuasaan dan tata kelola pemerintaha, “imbuh Afrizal

Seorang pejabat hukum seharusnya mencontohkan sikap tenang, menghormati proses peradilan, dan membuka ruang dialog, bukan tampil sebagai aktor dominan yang memperlihatkan kekuasaan di tengah warga.

Dengan putusan tersebut, putusan Pengadilan Negeri Bengkalis dinyatakan batal dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum. Putusan Pengadilan Tinggi Pekanbaru kini menjadi dasar hukum yang berlaku hingga adanya putusan kasasi dari Mahkamah Agung.

Secara hukum, tidak ada pihak yang menang atau kalah, namun secara faktual, penguasaan tanah tetap berada di tangan Swandi.

Hakim juga menegaskan bahwa tindakan pemerintah daerah tanpa dasar sertipikat resmi tidak dapat dibenarkan karena berpotensi melanggar asas kepastian hukum.

Kasus ini menjadi preseden penting bagi tata kelola aset daerah di Indonesia. Putusan PT Pekanbaru menegaskan bahwa pemerintah tidak dapat secara sepihak mengklaim tanah masyarakat sebagai aset daerah tanpa bukti kepemilikan sah.

Selama tidak ada putusan hukum tetap (inkracht) dari Mahkamah Agung, tanah tersebut tetap berstatus status quo di bawah penguasaan Swandi sebagaimana keadaan sebelum sengketa.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA
    x