
.


Mataxpost | Pekanbaru – Dunia pendidikan Riau pada tahun 2025 terguncang oleh serangkaian peristiwa yang membuka wajah buram birokrasi dan dugaan penyalahgunaan wewenang. Tiga kepala sekolah negeri SMAN 1 Ujung Batu, SMA Pintar Kuansing, dan SMKN 3 Pekanbaru dinonaktifkan secara tiba-tiba tanpa prosedur yang jelas dan transparan(09/11)
Langkah ini menimbulkan dugaan kuat adanya tekanan administratif serta praktik otoritarianisme di lingkungan Dinas Pendidikan Riau.
Arah tudingan publik mengarah pada Kepala Dinas Pendidikan Riau, Erisman Yahya, yang sebelumnya menjabat di dua instansi berbeda dan berlatar belakang jurnalis, bukan pendidik.
Ia disebut memiliki peran dalam sejumlah keputusan kontroversial yang menimbulkan kegaduhan di dunia pendidikan.
Penonaktifan kepala SMAN 1 Ujung Batu dilakukan pada saat status penyelidikan dana BOS dan BOSDA meningkat menjadi penyidikan. Publik menduga ada koordinasi antara Gubernur nonaktif Abdul Wahid dan Plt. Kadisdik saat itu yang menciptakan tekanan terhadap aparat hukum.
Langkah cepat yang diambil justru mempercepat proses hukum tanpa transparansi dan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap sistem pendidikan di Riau.
Kasus di SMA Pintar Kuansing tak kalah janggal. Pemutusan listrik akibat tunggakan dijadikan alasan audit dan teguran, yang berujung pada penonaktifan kepala sekolah. Padahal, sekolah tersebut baru saja mencatat prestasi luar biasa: 90 persen lulusannya diterima di universitas negeri.
Kebijakan yang tidak proporsional ini memicu kekhawatiran guru dan orang tua, memperlihatkan bagaimana penghargaan terhadap prestasi bisa dikalahkan oleh kepentingan politik dan birokrasi.
Sementara itu, di SMKN 3 Pekanbaru, kepala sekolah dinonaktifkan setelah laporan Komite Sekolah dan LSM terkait pengadaan seragam. Namun laporan itu diduga sarat kepentingan karena kedua pihak ingin menguasai proses pengadaan. Kepala sekolah yang menolak intervensi malah dijatuhi sanksi administratif.
Sejumlah guru menyebut langkah kepala sekolah itu semata untuk menjaga transparansi, namun justru dijadikan alasan Komite Sekolah untuk menekan dan ksempatan Disdik Riau mengganti jabatan.
Rangkaian kasus ini menunjukkan pola yang sama: intervensi politik yang kuat, keputusan tergesa, dan hilangnya ruang klarifikasi bagi tenaga pendidik.
Tindakan yang seharusnya menjunjung hukum dan integritas justru berubah menjadi instrumen kekuasaan untuk menekan dan mengatur sekolah.
Krisis ini semakin dalam dengan munculnya dugaan jual beli kursi penerimaan siswa (SPMB 2025) di berbagai sekolah negeri, termasuk SMA Plus dan Sekolah Olahraga (SPO).
Beberapa laporan masyarakat menyebut banyak penerima berasal dari kalangan pejabat. Bahkan tuduhan pelecehan di salah satu sekolah elite baru-baru ini menambah kelamnya citra pendidikan Riau.
Gelombang protes dari guru, siswa, dan masyarakat tak terhindarkan. Mereka menilai gaya kepemimpinan otoriter telah mengikis demokrasi birokrasi di sektor pendidikan. Tekanan administratif dan arogansi pejabat dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap masa depan anak bangsa.
Krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah provinsi kian memburuk setelah munculnya laporan keterlambatan gaji bagi lebih dari 18.000 ASN dan guru di Riau. Kondisi ini memperparah penderitaan tenaga pendidik yang sudah lama bekerja di bawah tekanan birokrasi.
Guru-guru yang seharusnya menjadi garda depan pembentukan karakter bangsa justru diperlakukan sebagai korban sistem yang lamban, tidak transparan, dan gagal menghargai pengabdian mereka.
Rentetan peristiwa ini menjadi babak kelam dalam sejarah pendidikan Riau. Setelah skandal pemerasan dalam OTT KPK yang menjerat Abdul Wahid, kini publik kembali menyaksikan rusaknya tatanan moral dan profesionalitas pejabat pendidikan.
Erisman Yahya dan Abdul Wahid dinilai sebagai “Dosa Besar” yang telah meninggalkan luka mendalam bagi tenaga pendidik dan menciptakan krisis kepercayaan terhadap sistem pendidikan daerah.
Sudah saatnya Plt. Gubernur Riau melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja Dinas Pendidikan. Reformasi struktural dan penegakan akuntabilitas adalah langkah mendesak untuk memulihkan kepercayaan publik.
Dunia pendidikan tak boleh dibiarkan menjadi alat kepentingan politik atau arena kekuasaan yang mengorbankan integritas guru dan masa depan siswa.
Riau membutuhkan keberanian politik untuk memutus rantai intervensi birokrasi dan mengembalikan marwah sekolah sebagai lembaga pembentuk karakter, bukan korban permainan kekuasaan.


Tidak ada komentar