
.


Mataxpost | Pekanbaru, – Sidang perdana perkara Asri Auzar langsung mematahkan narasi kerugian Rp5,2 miliar yang selama ini beredar di sejumlah media. Dalam dakwaan resmi, Jaksa Penuntut Umum hanya mencantumkan potensi kerugian sekitar Rp300 juta sesuai pasal 372 dan 385 KUHP. (22/11)
Tidak ada satu pun bagian dalam dakwaan yang menyebut angka miliaran rupiah. Fakta ini menempatkan klaim kerugian Rp5,2 miliar sebagai informasi tanpa dasar hukum dan tidak pernah diuji dalam proses peradilan.
Persoalan semakin melebar ketika sebagian pemberitaan yang menggemakan narasi tersebut berasal dari konferensi pers penasihat hukum Vincent. Dari penelusuran, sejumlah media yang menyebarkan isi konferensi pers itu teridentifikasi tidak resmi.
Tidak memiliki legalitas perusahaan pers, tidak terdaftar di Kominfo/Komdigi, dan beberapa bahkan tidak mengantongi status sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE). Media tanpa legalitas ini tidak tunduk pada UU Pers, Pedoman Media Siber, maupun Kode Etik Jurnalistik.
Kuasa hukum Asri, Supriadi Bone, menyatakan bahwa pihaknya telah mengantongi nama-nama media yang diduga tidak resmi tersebut.
Ia menegaskan bahwa media yang tidak terdaftar di Kominfo/Komdigi serta tidak memiliki PSE tidak dilindungi oleh UU Pers, sehingga tidak berhak menjalankan aktivitas jurnalistik seolah-olah media profesional.
Menurut Supriadi, pihaknya akan segera melaporkan media-media tersebut ke Polda Riau karena dianggap menyebarkan informasi yang tidak akurat dan berpotensi menyesatkan publik.
Pihak Asri Auzar menilai pemberitaan dari media tidak resmi tersebut membentuk opini tanpa landasan hukum dan meminta aparat melakukan pengawasan ketat serta menindak situs atau kanal yang menyebarkan konten menyerupai berita resmi padahal tidak memiliki izin operasional.
Hingga kini, tidak ada koreksi dari media yang mempublikasikan angka Rp5,2 miliar yang faktanya tidak tercantum dalam dakwaan.
Di tengah polemik itu, pertanyaan baru muncul mengenai klaim pihak Vincent yang menyebut pernah membayarkan uang sekitar Rp3 miliar. Hingga saat ini tidak ada bukti transaksi yang ditampilkan kepada publik maupun terungkap dalam persidangan.
Tidak dijelaskan apakah pembayaran dilakukan melalui transfer bank, cek, kuitansi, atau tunai padahal setiap mekanisme itu semestinya meninggalkan jejak administrasi yang dapat diverifikasi.
Keluarga Asri, melalui ponakan Fajardah berinisial R, menegaskan bahwa mereka tidak pernah menerima uang tersebut dalam bentuk apa pun. Klaim pembayaran Rp3 miliar, menurut keluarga, tidak pernah dibarengi bukti seperti slip transfer, mutasi rekening, atau dokumen setoran bank.
Ketiadaan bukti ini menimbulkan pertanyaan besar karena nilai sebesar itu tidak mungkin berpindah tanpa rekam jejak jelas. Hingga kini, tidak ada satu pun dokumen yang dihadirkan pihak Vincent untuk mendukung pernyataan tersebut.
Keluarga Asri juga mempertanyakan proses perpindahan sertifikat yang kini beralih atas nama Vincent. Mereka meminta kepolisian memeriksa Notaris dan BPN Kota Pekanbaru.
Untuk memastikan bagaimana sertifikat dapat berganti nama apabila dasar transaksi yang diklaim belum pernah dibuktikan. Menurut keluarga, proses administrasi ini perlu ditelusuri agar kepastian hukum tetap terjaga.
Pengamat hukum menilai bahwa apabila benar terjadi transaksi atau peralihan hak sebagaimana diklaim, seluruh proses mulai dari pembayaran hingga perubahan sertifikat semestinya didukung dokumen yang dapat diverifikasi.
Ketiadaan bukti justru menuntut klarifikasi agar tidak menimbulkan spekulasi yang mengganggu integritas proses peradilan.
Hingga kini, persidangan belum menampilkan dokumen yang mengonfirmasi pembayaran Rp3 miliar maupun legalitas perpindahan sertifikat tersebut.


Tidak ada komentar