MENU Senin, 08 Des 2025
x
.

Kontroversi Tafsir Putusan MK dan Bayangan Rangkap Jabatan Polri

waktu baca 3 menit
Rabu, 19 Nov 2025 18:40

Mataxpost | Jakarta,- Mahkamah Konstitusi memutuskan menghapus dasar hukum penugasan anggota Polri aktif untuk menduduki jabatan sipil, sebuah langkah yang sejak lama didorong kelompok masyarakat sipil demi mempertegas batas fungsi antara aparat keamanan dan birokrasi pemerintahan. (19/11)

Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 menyatakan bahwa anggota Polri hanya dapat mengisi jabatan di luar institusi kepolisian apabila telah mengundurkan diri atau memasuki masa pensiun.

Putusan ini menutup celah penugasan Kapolri yang selama bertahun-tahun dijadikan landasan menempatkan perwira aktif pada posisi sipil strategis dari kementerian hingga lembaga non-kementerian.

Harapan akan lahirnya penataan ulang yang cepat dalam tubuh birokrasi justru terhenti oleh tafsir pemerintah. Tidak lama setelah putusan dibacakan, pemerintah menyatakan aturan tersebut tidak berlaku surut, sehingga anggota Polri yang sudah menduduki jabatan sipil tidak diwajibkan mundur.

Penjelasan itu memunculkan gelombang kritik karena dianggap mengurangi daya korektif putusan konstitusional yang semestinya mengakhiri praktik rangkap jabatan.

Perdebatan makin menguat ketika sejumlah ahli hukum tata negara menilai keputusan MK seharusnya menjadi pemutus praktik lama, bukan memberi ruang bagi kelanjutannya.

Mereka mempertanyakan konsistensi logika hukum pemerintah: jika dasar hukum yang melegitimasi rangkap jabatan telah dibatalkan sebagai inkonstitusional,

Maka jabatan yang lahir dari dasar hukum tersebut tidak dapat dipertahankan begitu saja. Dalam pandangan para pengkritik, pro futuro bukan alasan untuk mengabaikan implikasi logis dari runtuhnya landasan hukum.

Kondisi ini menyingkap persoalan lebih luas tentang relasi antara negara koersif yang diwakili aparat bersenjata dan negara administratif yang semestinya dijalankan oleh birokrasi sipil. Selama celah penugasan tetap dipertahankan, batas antara kedua ranah itu menjadi kabur.

Kehadiran pejabat bersenjata aktif dalam jabatan sipil bukan sekadar isu prosedural, melainkan mengubah lanskap tata kelola pemerintahan: pola komando berpotensi menggeser logika pelayanan publik, sementara ruang akuntabilitas sipil terancam mengecil.

Sejumlah organisasi masyarakat sipil mengingatkan bahwa praktik rangkap jabatan aparat keamanan pernah menjadi akar persoalan di masa lalu.

Mereka menilai putusan MK ini merupakan kesempatan penting untuk memulihkan prinsip meritokrasi dalam birokrasi sekaligus memperkuat demokrasi yang bertumpu pada pemisahan peran.

Kekhawatiran muncul bila pemerintah terus menafsirkan putusan secara minimalis, sehingga pembaruan institusional yang diharapkan publik hanya berhenti sebagai perubahan normatif tanpa dampak nyata pada struktur kekuasaan.

Perdebatan mengenai penerapan putusan MK kini memasuki fase penentuan. Kepatuhan penuh terhadap putusan dapat menjadi langkah penting memperjelas batas kewenangan dan memperkuat kepercayaan publik pada supremasi hukum.

Namun, apabila pemerintah tetap bertahan pada tafsir longgar yang memperbolehkan kelanjutan jabatan tanpa koreksi, maka putusan tersebut berisiko kehilangan fungsi transformatifnya.

Di tengah sorotan publik yang semakin tajam, respons pemerintah akan menjadi indikator sejauh mana negara menempatkan hukum sebagai penuntun, bukan sekadar formalitas.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA
    x
    x