x
.

“Riau Daerah Istimewaโ€: Antara Retorika Adat Budaya dan Kepentingan Elit Politik

waktu baca 7 menit
Minggu, 2 Nov 2025 06:47

Opini Redaksi

Mataxpost | Pekanbaru,-Wacana โ€œRiau Istimewaโ€ kembali mencuat, menimbulkan tanya dan multy tafsir di tengah publik. Redaksi memandang perlu membuka ruang pandangan yang lebih kritis dan berbasis sejarah.

Tulisan opini berikut disusun untuk mengajak pembaca melihat Riau bukan hanya dari simbol, tetapi dari akar pembentukannya antara idealisme rakyat dan dinamika politik yang melingkupinya.

“Sebelum bicara tentang โ€œRiau Daerah Istimewaโ€, barangkali kita perlu memastikan dulu satu hal yang lebih mendasar, yaituย โ€œRiau Berintegritas.โ€

Redaksi memberikan ruang bagi gagasan-gagasan kritis tentang arah kebijakan daerah, termasuk wacana โ€œDaerah Istimewa Riauโ€. Karena demokrasi tumbuh bukan dari keseragaman pendapat, melainkan dari keberanian berpikir berbeda.

Beberapa waktu terakhir, jagat politik Riau kembali ramai. dibawah kepemimpinan Gubernur Riau ke-19, Abdul Wahid, elit mulai melempar wacana: Riau perlu diberi status โ€œdaerah istimewaโ€, yang berangkat dari SDA yang melimpah dan perlunya dikelola sendiri.

Sebagian kalangan elit dan tokoh menilai, kontribusi Riau yang besar terhadap negara menjadi dasar gerakan tersebut. Mereka menyebut sejarah sumbangan โ€œ13 gulden emasโ€ serta kekayaan alam yang melimpah.

Sekilas terdengar gagah seolah ingin mengembalikan marwah Melayu dan memperkuat kemandirian daerah. Namun ironisnya, entitas Melayu Riau yang sering digembar-gemborkan di ruang publik dinilai sebagian kalangan hanya menjadi alat untuk mendiskreditkan suku lain yang juga hidup di provinsi ini.

Dalam forum nasional, para pengusung wacana ini lebih sering menekankan sumbangan material masa lalu dan kekayaan sumber daya alam saat ini, ketimbang berbicara tentang perjuangan kebudayaan dan nilai-nilai adat Melayu itu sendiri.

Bahkan di balik retorika yang dibungkus romantisme budaya itu, dari pengamatan yang mendalam serta berbagai sudut pandang terselip motif lain yang jauh lebih rumit dan mungkin, lebih pragmatis daripada idealis.

Sebelum bicara soal โ€œistimewaโ€, mari menengok sejenak ke sejarah. Akar budaya Melayu sejatinya tumbuh di Kepulauan Riau, bukan di daratan Riau yang kini menjadi pusat pemerintahan.

 

Dari Kesultanan Johor-Riau hingga Riau-Lingga, denyut kebudayaan Melayu berpusat di Pulau Penyengat dan Daik, Lingga. Di pesisir daratan Riauย  terdapat Kerajaan Siak Sri Indrapura, yang kini menjadi Kabupaten Siak.

Justru dari Kesultanan Siak inilah sumbangan dan kontribusi budaya yang kemudian dijadikan dasar klaim elit Riau dalam wacana โ€œDaerah Istimewa Riauโ€.

Ironisnya, di antara kelompok elit, tokoh masyarakat, maupun pemuda yang gencar menyebut entitas Melayu, nyaris tak terlihat satupun yang berasal dari garis keturunan Kesultanan Siak maupun keturunan Kesultanan Riau – Lingga.

Dalam wacana “Daerah Istimewa Riau’ sepatutnya keturunan Kesultanan Siak lah yang secara historis berhak lantang memperjuangkan dan mendapatkan perlakuan istimewa dari pemerintah Riau atau Negara ini.

Riau daratan baru tampil di panggung politik pada 1959, ketika ibu kota provinsi dipindahkan dari Tanjung Pinang ke Pekanbaru. Alasan utamanya bukan adat, melainkan keamanan dan logistik setelah pergolakan PRRI mengguncang Sumatera Tengah.

Provinsi Riau sendiri lahir bukan dari romantisme perjuangan adat budaya, melainkan dari krisis politik nasional, ini fakta sejarah yang tak bisa dibohongi,

Berbagai fakta bisa ditemui dan tercatat dalam catatan pemerintah, Pada 1956, ratusan utusan dari Indragiri, Kampar, Bengkalis, hingga Kepulauan Riau berkumpul di Pekanbaru dalam Kongres Rakyat Riau (KRR) I.

Tak ada hotel kala itu; rumah-rumah penduduk dibuka untuk menampung peserta yang datang dengan semangat besar: Riau harus berdiri sebagai provinsi otonom. Tokoh-tokoh seperti Tengku H. Mansyur, Tengku Kasim, dan Drs. Muchtar Lutfi , Wan Abdurrahman, Arifin Ahmad, beserta tokoh tokoh lain yang tak kalah penting.

Mereka membentuk Panitia Persiapan Pembentukan Provinsi Riau (PPPR), menulis naskah aspirasi, dan berangkat ke Jakarta memperjuangkannya.

Dalam perjalanan perjuangan, mereka tidak didorong romantisme adat, melainkan kesadaran politik: Riau merasa terpinggirkan di bawah administrasi Sumatera Tengah.

Pada saat pemberontakan PRRI meletus pada 1957 di Sumatera tengah, pemerintah pusat menilai usulan pembentukan provinsi baru di wilayah kaya minyak ini sebagai langkah strategis untuk mengendalikan keamanan nasional.

Presiden Soekarno dalam pertimbangan stabilitas nasional kemudian menandatangani Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957,

dan Sumatera tengah dibagi menjadi tiga provinsi, Sumatera Barat, Jambi dan Riau dengan Tanjung Pinang sebagai ibu kota.

Dua tahun kemudian tepatnya tahun 1959, pusat pemerintahan dipindahkan ke Pekanbaru, demi alasan keamanan, logistik persenjataan dan akses ekonomi.

Fakta-fakta itu menyingkap satu hal penting: Riau dibentuk dalam konteks stabilisasi nasional, bukan kebangkitan kultural.

Sejak awal, denyut ekonomi Riau tak berdiri di atas kemandirian daerah, melainkan aliran investasi asing dan dan suntikan dana pusat. Pembangunan kilang minyak serta perkembangan kawasan hutan menjadi kebun sawit semua kebijakan dari pusat.

Perusahaan Chevron yang dulunya Caltex menambang minyak di Minas dan Duri atas izin pemerintah pusat. Infrastruktur vital, mulai dari Jalan, Pelabuhan hingga Sekolah, dibangun lewat APBN.

Kota Pekanbaru yang kini megah adalah hasil proyek nasional, bukan semata kerja gotong royong lokal. Maka, ketika hari ini ada yang berteriak โ€œRiau harus istimewa karena kaya SDAโ€, pertanyaan sederhana muncul: kaya untuk siapa?

Sejarah berbicara lebih jujur daripada slogan. Tokoh-tokoh seperti Tengku H. Mansyur dan Drs. Muchtar Lutfi, Arifin Ahmad serta tokoh lainnya berjuang agar Riau punya ruang mengatur dirinya, bukan sekadar menjadi wilayah kaya yang diatur dari luar.

Namun dua dekade terakhir, cita-cita itu terdistorsi oleh kepentingan sempit. Tiga gubernur Riau, Saleh Djasit, Rusli Zainal dan Annas Maamun jatuh karena korupsi. Berikut nya, Riau juga punya tiga Gubernur yang diperiksa oleh Polri terkait dugaan korupsi BUMD SPR Blok Langgak, Rusli Zainal, Arsyadjuliandi Rahman, Syamsuar.

Sejumlah bupati dan wali kota ikut terseret. Dana bagi hasil, izin hutan, dan alih fungsi lahan menjelma ladang korupsi, berikut nama kepala daerah bupati/walikota yang tumbang dalam kasus korupsi: Bupati Indragiri Hulu, Raja Thamsir Rachman, Bupati Kuansing, Andi Putra, Bupati Kuansing, Mursini, Bupati Kuansing, Sukarmis, Bupati Rokan Hulu, Ramlan Zas, Bupati Rokan Hulu, Suparman, Bupati Kampar, Burhanuddin Husein, Bupati Indragiri Hilir, Indra Mukhlis Adnan, Bupati Pelalawan, Tengku Azmun Djafar, Bupati Siak, Arwin AS, Bupati Bengkalis, Herliyan Saleh, Bupati Bengkalis, Amril Mukminin, Wali Kota Dumai, Zulkifli AS, upati Kepulauan Meranti, Muhammad Adil, Pj Walikota Pekanbaru Risnandar Mahiwa.

Ironisnya, di tengah sejarah yang retak ini, muncul lagi wacana โ€œRiau Daerah Istimewaโ€. Dalihnya, otonomi khusus akan memberi keleluasaan mengatur diri sendiri.

Pertanyaannya, siapa yang akan mengatur, dan untuk siapa otonomi itu bekerja? Status istimewa tanpa reformasi birokrasi hanya memperbesar ruang bagi elit untuk bermain “lebih bebas”.

Konstitusi pun tidak mendukung. Pasal 18B UUD 1945 memberi keistimewaan hanya bagi daerah dengan sejarah politik khusus seperti Yogyakarta, konflik senjata Aceh, dan Papua. Riau tidak termasuk.

Kekayaan alam tidak pernah menjadi dasar keistimewaan; jika itu kriterianya, Kalimantan Timur dan Papua dengan “Gunung Emasnya”, Bangka Belitung dengan Timah, sudah lebih dulu layak.

Realitasnya, wacana โ€œRiau Istimewaโ€ hari ini lebih tampak sebagai strategi politik ketimbang cita-cita rakyat. Ia menjadi bahasa halus untuk menuntut porsi fiskal lebih besar, atau bahkan buruknya ruang kuasa untuk leluasa bagi elit lokal untuk mengkorupsi hasil alam sebanyak-banyaknya.

Adat dan budaya dijadikan jubah legitimasi, sementara kesejahteraan rakyat tetap di luar lingkar pembicaraan. Bahkan perebutan dan perang saudara bisa terjadi tanpa disadari.

Riau tidak perlu menjadi โ€œistimewaโ€ untuk maju. Riau lebih maju saat pemimpin dan elit berintegritas, saat ini Riau hanya perlu pemimpin yang jujur, baik terhadap sejarahnya dan adil terhadap rakyatnya.

Yang dibutuhkan bukan status, tapi sistem yang bersih; bukan otonomi khusus, tapi integritas publik, keterbukaan, keadilan dan kejujuran.

Selama dana bagi hasil sumber daya alam serta pendapatan daerah masih dikelola dengan mental rente dan birokrasi yang korup, keistimewaan hanya akan menjadi kata hiasan di spanduk kampanye, yang tujuan nya memperkaya para elit dan kelompoknya, bukan untuk mensejahterakan rakyat.

Riau lahir dari aspirasi rakyat, dibesarkan oleh pusat, dan digerakkan oleh kekayaan alam. Kini, provinsi ini berdiri di persimpangan moral: apakah akan mengulang pola lama dengan wajah baru, atau membangun masa depan dengan kejujuran dan kesadaran sejarah?

Sebelum bicara tentang โ€œRiau Daerah Istimewaโ€, barangkali kita perlu memastikan dulu satu hal yang lebih mendasar, yaituย โ€œRiau Berintegritas.โ€

Sebab tanpa integritas, sama saja seperti memberikan kunci gudang emas kepada orang yang belum belajar jujur.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA
    x