MENU Senin, 08 Des 2025
x
.

Setelah Gubernur Riau Ditangkap, LAMR Disorot: Jejak Dana Hibah dan Politik Gelar Adat

waktu baca 3 menit
Selasa, 4 Nov 2025 23:33

Mataxpost | Pekanbaru โ€“ Desakan publik kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar segera mengaudit penggunaan dana hibah sebesar Rp 5 miliar dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau kepada Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) semakin menguat.

Gelombang tuntutan ini muncul di tengah sorotan tajam atas operasi tangkap tangan (OTT) yang menjerat Gubernur Riau Abdul Wahid, delapan bulan setelah dilantik.

Organisasi gabungan jurnalis dan aktivis SATU GARIS menilai momentum penangkapan tersebut harus menjadi pintu masuk untuk menelusuri penggunaan dana publik, termasuk dana hibah ke lembaga-lembaga yang berafiliasi dengan kekuasaan.

โ€œLAMR seharusnya menjadi penjaga marwah Melayu dan koordinator masyarakat adat, bukan alat politik. Fungsinya adalah menjembatani kepentingan adat dengan pemerintah daerah agar nilai-nilai budaya tetap hidup dalam kebijakan publik.Tapi yang terjadi justru sebaliknya, lembaga ini tampak larut dalam seremoni dan simbol kekuasaan,โ€ ujar Afrizal Amd CPLA, juru bicara SATU GARIS, dalam pernyataan resminya di Pekanbaru.

Abdul Wahid diketahui memainkan isu politik identitas dan memiliki hubungan dekat dengan LAMR. Pada 5 Juli 2025, lembaga adat itu menabalkan gelar kehormatan โ€œDatuk Seri Setia Amanahโ€ kepadanya di Balai Adat Melayu Riau, hanya empat bulan sebelum dirinya ditangkap KPK dalam dugaan kasus suap dan penyalahgunaan wewenang.

Selain itu, LAMR tercatat melaksanakan berbagai kegiatan besar yang sarat simbol politik sepanjang 2025, antara lain:

Penyambutan kepala daerah usai pelantikan di Balai Serindit, dihadiri Gubernur Wahid dan semua kepala daerah kabupaten/kota se Riau serta pejabat daerah lainnya.

Penganugerahan โ€œAdat Ingatan Budiโ€ kepada Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo di Pekanbaru;

Perayaan Milad ke-55 LAMR dengan prosesi adat dan jamuan kenegaraan.

Event Budaya Melayu Serumpun

Deklarasi gagasan โ€œDaerah Istimewa Riauโ€ yang juga dihadiri pejabat pemerintah.

SATU GARIS menilai kegiatan-kegiatan tersebut berpotensi tidak sesuai dengan peruntukan dana hibah yang bersumber dari APBD Riau, apalagi sebagian besar menggunakan fasilitas pemerintah dan melibatkan unsur birokrasi.

โ€œTransparansi penggunaan dana hibah LAMR hampir nol. Masyarakat tidak pernah tahu berapa yang digunakan untuk kegiatan kebudayaan dan berapa yang habis untuk agenda politik simbolik,โ€ kata Wawan, Wakil Ketua SATU GARIS.

Organisasi itu juga menyoroti adanya pergeseran fungsi LAMR dari lembaga pelestari adat menjadi instrumen legitimasi kekuasaan.

โ€œLAMR tampak lebih sering menabalkan pejabat dan menggelar seremoni elitis ketimbang memperjuangkan hak-hak masyarakat adat. Ini bukan sekadar masalah etika, tapi potensi penyalahgunaan uang rakyat,โ€ lanjutnya.

Oleh karena itu, SATU GARIS mendesak KPK dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit menyeluruh terhadap hibah Pemprov Riau ke LAMR selama tahun 2025, termasuk pembiayaan acara penabalan, penyambutan pejabat, dan kegiatan internal lainnya yang menggunakan dana publik.

โ€œJika ingin memahami ekosistem korupsi di Riau, jangan berhenti di Wahid. Ada ekosistem yang lebih dalam hubungan timbal balik antara politik, dana publik, dan lembaga adat,โ€ tegas Ade Monchai, Ketua Umum SATU GARIS.

Hingga berita ini diturunkan, LAMR Riau dan Pemprov Riau belum memberikan tanggapan resmi atas desakan audit tersebut.

Namun kalangan akademisi menilai langkah SATU GARIS penting untuk menjaga agar lembaga adat tetap berada pada fungsinya sebagai penjaga nilai, bukan pelengkap kekuasaan.

โ€œAdat itu marwah. Bila lembaga adat yang seharusnya menjadi penjaga nilai justru terlibat dalam politik uang dan gelar, maka yang tercederai bukan hanya institusinya, tapi juga kepercayaan masyarakat terhadap adat itu sendiri,โ€ tutup pernyataan SATU GARIS.

Kasus Abdul Wahid dan sorotan terhadap LAMR menjadi cermin betapa rapuhnya batas antara budaya dan kekuasaan ketika transparansi diabaikan.

Audit terhadap dana hibah LAMR bukan hanya soal angka, melainkan ujian bagi integritas adat Melayu di era modern apakah ia masih menjadi penuntun nilai, atau sekadar ornamen yang melayani kekuasaan.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA
    x
    x