
.


Mataxpost | Peranap, Inhu – Desa Pauh Ranap semakin sesak oleh gunungan batubara milik PT Global Energi Lestari (GEL) yang berdiri tepat di tengah permukiman warga. Setiap hari, debu hitam beterbangan dan masuk ke rumah-rumah, menempel pada makanan, dan mengganggu aktivitas warga. (14/11)
Menurut pantauan dilapangan tim media Jagok.co menyatakan bahwa Operasional stokpile ini kini berubah menjadi ancaman serius bagi kesehatan dan ekonomi masyarakat, sementara pihak perusahaan dan pemerintah tampak saling melepaskan tanggung jawab.
Samsir, pedagang warung yang berada tak jauh dari lokasi, menjadi salah satu warga yang merasakan dampak paling nyata. Dagangannya kerap tertutup debu batubara sehingga pembeli takut untuk makan di tempatnya.
โWarung kami jadi sepi. Debu hitam masuk setiap hari. Perusahaan tak pernah peduli, tak ada kompensasi apa pun padahal batubara keluar dari sini berton-ton,โ tegasnya.
Hasil penelusuran lapangan menunjukkan adanya sejumlah kejanggalan operasional. Tumpukan batubara terlihat dibiarkan terbuka tanpa penutup, tanpa sistem penyiraman untuk menekan debu, dan tanpa penghalang yang memadai antara stokpile dan rumah warga.
Lalu lintas truk pengangkut batubara juga tampak keluar masuk tanpa penutup terpal, meninggalkan jejak debu di jalan desa. Kondisi ini mempertegas dugaan pelanggaran standar teknis serta prosedur pengendalian pencemaran.
Seorang petugas keamanan di lokasi mengakui bahwa area tersebut memang milik PT Global Energi Lestari, namun mengaku tidak mengetahui dokumen perizinan maupun standar pengelolaan lingkungan yang diterapkan.
Di sisi lain, ketika dikonfirmasi, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Inhu justru menyatakan tidak memiliki kewenangan karena izin stokpile batubara disebut berada dalam kendali pemerintah pusat.
Pernyataan Kabid Pencemaran Lingkungan, Bakri, ini memicu pertanyaan besar: bagaimana mungkin aktivitas industri dengan risiko pencemaran tinggi dibiarkan berjalan di tengah pemukiman tanpa pengawasan langsung pemerintah daerah?
Padahal menurut aturan, setiap stokpile wajib memiliki Persetujuan Lingkungan (Amdal/UKL-UPL), SOP pengendalian debu, dan harus beroperasi di zona yang sesuai dengan tata ruang daerah.
Tanpa dokumen tersebut, perusahaan dapat dikenai sanksi administratif hingga penghentian operasional dan pidana sesuai UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun hingga kini, keberadaan dokumen tersebut belum dapat dibuktikan.
Selain dampak kesehatan, warga juga menanggung kerugian sosial dan ekonomi. Debu memasuki rumah, warung, tempat ibadah, bahkan fasilitas umum. Beberapa warga mengaku harus mencuci lantai dan dinding berkali-kali dalam sehari.
Pedagang kecil, termasuk penjual makanan dan sembako, mengaku penghasilan mereka anjlok sejak stokpile beroperasi.
Sementara warga terus menunggu perbaikan, pihak perusahaan belum memberikan jawaban tegas.
Ristawardi alias Acong hanya merespons singkat bahwa ia akan menyampaikan pertanyaan redaksi kepada perusahaan. Sementara Humas PT Global lainnya belum memberikan klarifikasi meski pesan konfirmasi telah diterima.
Kondisi ini meninggalkan kesan bahwa warga dibiarkan menghadapi risiko pencemaran sendirian, tanpa perlindungan memadai dari perusahaan maupun pemerintah.
Transparansi dokumen izin, komitmen pengendalian pencemaran, serta kepastian pengawasan menjadi tuntutan mendesak masyarakat Desa Pauh Ranap.
Tim gabungan bersama media jagok.co akan terus mengawal persoalan ini, menelusuri dokumen perizinan, memeriksa kepatuhan perusahaan terhadap aturan lingkungan, dan meminta tanggung jawab dari pihak terkait hingga situasi mendapat penyelesaian yang jelas dan adil bagi warga.
(Tim)


Tidak ada komentar