MENU Selasa, 09 Des 2025
x
.

Polemik Ganti Rugi Lahan, Warga Pekanbaru Laporkan Plt Gubernur Riau dan Pejabat Pemprov ke KPK dan Instansi Terkait

waktu baca 5 menit
Selasa, 9 Des 2025 04:12

Pekanbaru – Polemik mengenai ganti rugi lahan dalam proyek pembangunan Stadion Utama Riau dan Flyover SKA di Pekanbaru kembali mencuat setelah sejumlah pemilik tanah melaporkan bahwa mereka belum menerima pembayaran, meskipun lahan mereka telah digunakan sejak 2011. Kasus ini tidak hanya terjadi di area stadion, tetapi juga di sepanjang koridor Jalan Soekarno-Hatta, dari Simpang Arifin Ahmad hingga ke arah Jalan Riau. (09/12)

Pada tanggal 28 November, beberapa warga Pekanbaru akhirnya melaporkan secara resmi sengketa lahan tersebut kepada sejumlah instansi terkait, termasuk KPK, Kejaksaan, Kementerian ATR/BPN, Kementerian Dalam Negeri, dan Mabes Polri.

Mereka menilai bahwa Pemerintah Provinsi Riau tidak menunjukkan langkah konkret dalam menyelesaikan kewajiban pembayaran atas lahan yang telah digunakan untuk kepentingan proyek negara.

Sejumlah warga mengaku telah berulang kali mengirimkan surat kepada instansi terkait untuk menuntut kejelasan, namun hingga kini belum ada kepastian mengenai penyelesaian masalah ganti rugi tersebut.

Menurut informasi dari warga, salah satu sengketa yang mencuat terkait lahan seluas sekitar 12 hektare di Kecamatan Tampan, dekat Universitas Riau dan Stadion Utama, yang sebagian besar milik warga dan sebagian kecil dimiliki oleh PT Hasrat Tata Jaya.

Dalam kasus sebelumnya terkait lahan seluas 2,5 hektare, pemilik lahan berhasil memenangkan sengketa di Mahkamah Agung, yang memutuskan bahwa Pemerintah Provinsi Riau harus membayar ganti rugi sekitar Rp34 miliar. Namun, untuk lahan seluas 12 hektare yang masih bersengketa, hingga kini belum ada penyelesaian.

Warga memperkirakan potensi kerugian yang harus dibayar mencapai sekitar Rp389 miliar, ditambah dengan lahan untuk pembangunan Flyover Mal SKA yang diperkirakan bernilai sekitar Rp105 miliar.

Warga tersebut juga menghitung bahwa nilai tanah kini berkisar puluhan juta rupiah per meter persegi, dengan estimasi ganti rugi per bidang sertifikat hak milik (SHM) mencapai puluhan juta rupiah.

Keanehan muncul setelah pengesahan penambahan anggaran yang semula direncanakan untuk proyek stadion dan infrastruktur pendukung. Setelah melalui proses lobi anggaran yang melibatkan S.F. Haryanto (saat itu menjabat Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang), anggaran yang disetujui malah membengkak secara signifikan. Semula anggaran direncanakan sekitar Rp800 miliar, namun akhirnya digunakan mencapai Rp1,2 triliun.

Meskipun anggaran besar tersebut disetujui dan digunakan untuk mempercepat pembangunan stadion dan fasilitas terkait, persoalan yang mengemuka adalah lahan stadion yang belum dibayar kepada warga hingga kini.

Hal ini menimbulkan tanda tanya besar, mengingat anggaran yang disetujui lebih dari cukup untuk menyelesaikan proyek pembangunan stadion, namun tidak ada langkah konkret untuk menyelesaikan kewajiban pembayaran ganti rugi kepada pemilik lahan yang tanahnya telah dipakai untuk kepentingan negara.

Salah seorang warga terdampak menambahkan,

“Kami ini bukan minta belas kasihan. Tanah kami dipakai negara, tapi hak kami tidak kunjung dibayar.”ungkap warga yang minta namanya dirahasiakan.

Keanehan ini memperburuk persepsi publik tentang transparansi dan keadilan dalam pengelolaan anggaran proyek pemerintah.

Masalah ini semakin rumit karena diduga ada keterlibatan pejabat yang memegang posisi strategis di Pemerintah Provinsi Riau. Nama S.F. Haryanto tercatat sebagai salah satu pejabat kunci dalam pengadaan lahan untuk pembangunan Flyover Mal SKA, pada waktu itu, S.F. Haryanto menjabat sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Riau, yang memiliki tanggung jawab dalam koordinasi kebijakan administratif dan pelaksanaan anggaran pemerintah daerah.

Kasus ini berkaitan langsung dengan proyek besar persiapan PON XVIII Riau 2012, di mana pembangunan stadion dan infrastruktur pendukungnya dijalankan meskipun anggaran yang tersedia tidak mencukupi.

Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Riau saat itu, Lukman Abbas, mengungkapkan bahwa anggaran dalam Perda Nomor 5 Tahun 2008 tidak cukup untuk menutupi nilai kontrak pembangunan stadion yang mencapai sekitar Rp290 miliar.

Selanjutnya, Lukman Abbas dan S.F. Haryanto diperintahkan Rusli Zainal melakukan lobi anggaran ke DPR RI untuk meminta tambahan dana.

Dalam proses tersebut, diduga ada permintaan dana tidak resmi dari oknum anggota legislatif pusat yang kemudian dipenuhi melalui pengumpulan dana dari kontraktor pelaksana proyek.

Beberapa perusahaan BUMN seperti PT Adhi Karya, PT Wijaya Karya, dan PT Pembangunan Perumahan terlibat dalam pelaksanaan proyek.

Dana dalam bentuk valuta asing dilaporkan disalurkan dalam beberapa tahap kepada pihak-pihak tertentu untuk mempercepat persetujuan anggaran.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Gubernur Riau saat itu, Rusli Zainal, sebagai tersangka dan sudah di vonis penjara dalam kasus korupsi terkait perubahan Perda Provinsi Riau Nomor 6 Tahun 2010 tentang pendanaan pembangunan venue PON.

Penyidikan juga melibatkan sedikitnya 13 tersangka lainnya, sebagian besar anggota DPRD Riau, yang beberapa di antaranya telah divonis pidana.

Namun, terkait sengketa tanah untuk proyek Flyover SKA, meskipun Direktorat Jenderal Pengadaan Tanah Kementerian ATR/BPN telah menginstruksikan agar pembayaran ganti rugi dilakukan dengan skema “ganti untung,” realisasi pembayaran ini masih belum berjalan dengan lancar di lapangan.

Setelah bertahun-tahun menunggu tanpa kepastian, warga Pekanbaru akhirnya melaporkan masalah ini secara resmi ke sejumlah instansi, termasuk KPK, Kejaksaan, Kementerian ATR/BPN, Kementerian Dalam Negeri, dan Mabes Polri.

Mereka menilai bahwa Pemerintah Provinsi Riau tidak menunjukkan langkah konkret dalam menyelesaikan kewajiban pembayaran atas lahan yang telah digunakan untuk kepentingan proyek negara. Salah satu perwakilan warga menyatakan,

“Ini bukan cuma soal uang, tapi soal keadilan. Kalau rakyat kecil terus dibiarkan, ke mana lagi kami harus berharap?”

Hingga berita ini diterbitkan, belum ada keterangan resmi dari Pemerintah Provinsi Riau maupun Pemerintah Kota Pekanbaru mengenai alasan pasti tertundanya pembayaran ganti rugi lahan, meskipun sudah ada keputusan pengadilan yang mewajibkan pembayaran tersebut.

Warga berharap agar kasus yang telah berlangsung lebih dari sepuluh tahun ini segera diselesaikan secara adil, transparan, dan bertanggung jawab.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA
    x
    x