SELATPANJANG – Sebuah video rekaman sidang lapangan yang melibatkan Pengadilan Negeri (PN) Bengkalis, pihak penggugat Swandi, serta para tergugat 1 hingga 4, mengungkap dinamika mencurigakan dalam sengketa kepemilikan tanah di Selatpanjang Selatan, Kepulauan Meranti. (19/07)
Dalam video berdurasi beberapa menit itu, terlihat rombongan PN Bengkalis meninjau langsung lokasi objek sengketa. Salah satu suara dalam percakapan terdengar menyarankan opsi perdamaian sebelum putusan akhir dibacakan.
Namun, fakta mencuat dari pengakuan mengejutkan tergugat 2, Liong Cai. Dalam rekaman terpisah yang beredar luas di kalangan warga, Liong mengaku telah membangun kamar mesin di atas tanah yang secara sah dimiliki Swandi tanpa bukti legalitas kepemilikan. Ia menyebutkan bahwa dirinya “sudah permisi” dan diberi izin oleh Lurah Selatpanjang Selatan yang kini menjabat, Liong cai dikenal oleh warga setempat adalah seorang oknum mafia tanah.
“Pihak tergugat jelas mengakui memakai tanah milik orang lain, dan justru dibenarkan oleh pejabat kelurahan. Ini menunjukkan adanya hubungan istimewa antara para tergugat dan aparat pemerintah setempat,” ujar seorang saksi yang tak mau di sebut namanya yang hadir saat sidang lapangan.
Tidak berhenti di situ. Swandi sebagai pemilik tanah yang dilengkapi Surat Keterangan Ganti Rugi (SKGR) sejak 2018 berasal dari pembelian yang sah antara Pak Shinto dan Ibu Nemi (1997), dan sebelumnya dari Amrin Wahid pada 1980 kini justru terancam kehilangan hak atas tanahnya. Pemkab Meranti disebut-sebut berencana menganulir kepemilikan Swandi dan malah meminjamkannya kepada Liong Cai serta dua tergugat lainnya, Apeng dan Bingkian, untuk dibangun fasilitas usaha.
“Pemda Meranti seperti menjadi ‘makelar tanah rakyat’. Tanah milik sah bisa dipinjamkan ke mafia tanpa dokumen legal, hanya karena relasi dengan oknum pejabat,” ujar warga lainnya saat di hubungi media
Lebih jauh, Lurah Selatpanjang Selatan disebut telah menerbitkan surat sporadik baru pada tahun 2025 untuk mendukung klaim tergugat, padahal status lahan itu sudah beralas hak jauh sebelumnya. Situasi ini dinilai janggal dan penuh penyalahgunaan wewenang.
Swandi yang bahkan telah mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) justru disegel dan dilarang membangun. Sementara pihak tergugat yang tidak memiliki IMB, malah dibiarkan mendirikan bangunan di atas tanah bukan miliknya.
“Ini benar-benar bentuk kekuasaan yang menyakiti rakyat kecil,” ujar Swandi, dengan mata berkaca-kaca.
Beberapa potensi pelanggaran hukum yang dapat dikenakan kepada pihak-pihak yang terlibat antara lain:
Pasal 385 KUHP tentang penyerobotan tanah, yang menyebutkan:
Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menguasai tanah yang diketahui milik orang lain, diancam pidana penjara paling lama 4 tahun.
Pasal 55 KUHP tentang penyertaan, jika tindakan tersebut dilakukan atas perintah atau kerja sama dengan pejabat kelurahan atau pemda.
Pasal 421 KUHP tentang penyalahgunaan wewenang oleh pejabat, berbunyi:
Seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan, memaksa seseorang melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu, diancam pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan.
Pasal 3 dan 9 UU Tipikor (UU No. 31 Tahun 1999), jika terbukti pejabat daerah dengan sengaja menguntungkan pihak tertentu dan merugikan hak warga negara.
Kasus ini menjadi preseden berbahaya jika dibiarkan. Apabila benar ada intervensi dan keberpihakan aparat kepada kelompok tertentu, maka independensi hukum dan perlindungan atas hak kepemilikan masyarakat bisa runtuh sepenuhnya.
Belum ada klarifikasi resmi dari pihak pemkab maupun lurah saat di hubungi oleh awak media
Eksplorasi konten lain dari 𝐌𝐚𝐭𝐚 𝐗-𝐩𝐨𝐬𝐭
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.