Pekanbaru โ Kasus dugaan korupsi Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif di Sekretariat DPRD Riau periode 2020โ2021 terus menjadi perhatian publik. Dugaan korupsi yang diperkirakan merugikan negara hingga Rp160 miliar ini menyeret sejumlah nama, termasuk mantan Penjabat (Pj) Wali Kota Pekanbaru, Muflihun, serta artis Hana Hanifah. Namun, di tengah proses hukum yang berjalan, muncul pertanyaan mengenai status hukum Muflihun yang masih belum jelas, serta vonis terhadap mantan Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris DPRD Riau, Tengku Fauzan Tambusai, yang dianggap sebagian pihak sebagai bentuk kriminalisasi.(19/02)
Polda Riau telah memeriksa Hana Hanifah terkait dugaan penerimaan dana sekitar Rp900 juta hingga Rp1 miliar yang diduga berasal dari skandal SPPD fiktif. Namun, hingga kini, penyidik belum mengungkap secara terang sumber dan mekanisme aliran dana tersebut.
Kurangnya transparansi dalam penyelidikan ini menimbulkan spekulasi di masyarakat. Jika benar dana tersebut berasal dari pejabat DPRD Riau, seharusnya pihak yang mengirim uang dapat segera diungkap. Sejumlah pengamat hukum menilai lambannya pengusutan ini justru memperkeruh opini publik, salah satu masyarakat pekanbaru berinisial Rb menanyakan :
โJika dana sebesar itu benar mengalir ke Hana Hanifah, seharusnya penyidik bisa segera mengidentifikasi siapa pengirimnya. Publik butuh transparansi,โ ujar Rb
Publik juga mempertanyakan apakah Hana Hanifah hanya sebagai penerima tanpa mengetahui asal uang tersebut ataukah memiliki keterlibatan lebih jauh. Hingga saat ini, belum ada keterangan apakah Hana Hanifah hanya sebagai saksi atau berpotensi menjadi tersangka.
Muflihun: Masih Aman Meski Namanya Disebut-sebut
Muflihun, yang menjabat sebagai Sekretaris DPRD Riau pada 2020โ2021, disebut memiliki peran penting dalam pengelolaan anggaran perjalanan dinas. Modus yang digunakan dalam dugaan korupsi ini adalah pemalsuan laporan perjalanan dinas anggota DPRD untuk mencairkan dana yang kemudian dialihkan ke berbagai pihak.
Sejumlah aset yang diduga terkait dengan Muflihun telah disita penyidik, termasuk empat unit apartemen di Kompleks Nagoya City Walk, Kota Batam. Namun, hingga saat ini, belum ada keterangan resmi mengenai status hukumnya.
Kondisi ini menimbulkan tanda tanya besar di masyarakat. Mengapa Muflihun yang menjabat saat dugaan korupsi ini berlangsung belum juga ditetapkan sebagai tersangka? Apakah ada perlindungan politik yang membuatnya sulit disentuh hukum?
โJika asetnya sudah disita dan perannya dalam administrasi keuangan DPRD jelas, maka sudah seharusnya ada kepastian hukum terhadap statusnya,โ kata DK salah satu warga Pekanbaru
Tengku Fauzan: Dikriminalisasi atau Memang Bersalah?
Berbeda dengan Muflihun, Tengku Fauzan Tambusai telah divonis bersalah dan dijatuhi hukuman 6 tahun penjara serta diwajibkan membayar uang pengganti Rp2,35 miliar. Putusan ini menimbulkan tanda tanya besar di masyarakat, mengingat ia hanya menjabat sebagai Plt Sekretaris DPRD Riau selama beberapa bulan pada 2021, saat skandal ini sudah berjalan sejak 2020.
Dipublik beredar rumor yang menilai bahwa Fauzan bisa jadi hanya dijadikan “kambing hitam” dalam kasus ini? sementara aktor utama yang lebih berperan belum tersentuh hukum.
Ada beberapa faktor yang memunculkan dugaan kriminalisasi dalam kasusnya:
- Masa jabatan singkat โ Fauzan hanya menjabat dalam periode yang relatif singkat, sehingga diragukan perannya sebagai pelaku utama dalam skandal yang sudah berjalan sebelumnya.
-
Minimnya transparansi penyidik โ Kurangnya informasi mengenai aktor lain yang lebih lama menjabat menimbulkan pertanyaan publik.
-
Dugaan kepentingan politik โ Kasus ini mencuat menjelang tahun politik, memunculkan spekulasi adanya motif politis dalam penetapan tersangka.
-
Ketidakjelasan penerima aliran dana โ Tidak adanya rincian mengenai siapa saja yang menerima aliran dana, termasuk pejabat DPRD lainnya, semakin memperkuat dugaan adanya pihak yang dilindungi.
Tuntutan Publik: Transparansi dan Keadilan
Dilansir dari (Goriau) Elpiansyah, pengamat hukum dari Universitas Islam Riau (UIR), menilai terdapat kejanggalan dalam penanganan kasus ini. Ia menekankan bahwa berdasarkan Pasal 55 dan 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindak pidana korupsi seperti ini hampir tidak mungkin dilakukan oleh satu orang saja. Oleh karena itu, ia mendesak Kejaksaan Tinggi Riau untuk lebih profesional dalam mengembangkan kasus ini dan segera menetapkan tersangka baru guna menghindari opini liar di masyarakat.
โKorupsi ini tidak mungkin dilakukan oleh satu orang saja. Jika memang ada pejabat yang lebih berperan, mereka juga harus diusut dan ditindak,โ tegas Elpiansyah.
Kasus ini dijerat dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berikut rincian pasal-pasal yang dilanggar:
- Pasal 2 ayat (1): Korupsi yang merugikan keuangan negara.
Hukuman: Penjara 4โ20 tahun, denda Rp200 juta hingga Rp1 miliar.
- Pasal 3: Penyalahgunaan jabatan untuk keuntungan pribadi.
Hukuman: Penjara 1โ20 tahun, denda Rp50 juta hingga Rp1 miliar.
- Pasal 5 ayat (1): Pemberian suap kepada penyelenggara negara.
Hukuman: Penjara 1โ5 tahun, denda Rp50โ250 juta.
- Pasal 12 B: Penerimaan gratifikasi yang tidak dilaporkan.
Hukuman: Penjara 4โ20 tahun, denda Rp200 juta hingga Rp1 miliar.
- Pasal 18: Pengembalian kerugian negara.
Konsekuensi: Jika tidak mampu membayar, dikenakan hukuman penjara tambahan.
Hingga saat ini, publik masih menunggu langkah tegas dari aparat penegak hukum. Apakah kasus ini akan terus menyeret nama-nama baru, ataukah justru hanya berakhir pada beberapa orang saja?
Catatan:
Berita ini telah disusun dengan mengedepankan asas praduga tak bersalah dan berbasis pada fakta yang telah berkembang di publik. Jika ada pembaruan atau klarifikasi dari pihak terkait, informasi dalam berita ini dapat diperbarui.