Oleh: WA Wicaksono, Storyteller
Di negeri di mana moral seringkali dijadikan aksesoris semata, dana Corporate Social Responsibility (CSR) yang sejatinya adalah bentuk investasi sosial dari kepedulian sebuah lembaga kepada masyarakat, nyatanya seringkali justru menjelma sebagai “celengan pribadi” bagi segelintir tangan jahil yang biasanya disebut oknum. Dana CSR digelontorkan bukan untuk membangun jalan, jembatan atau fasilitas public lainnya, melainkan digunakan untuk menopang ego dan kepentingan segelintir orang (oknum) yang merasa dirinya kebal hukum.
Seenarnya cukup mengejutkan bahwa saat ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah berupaya membongkar kasus dugaan korupsi yang melibatkan dana CSR dari dua lembaga keuangan besar negara yaitu: Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Alih-alih menjadi bahan bakar kemajuan pembangunan social masyarakat, dana CSR ini diduga sebagian disalurkan ke yayasan-yayasan “siluman” yang dijadikan kendaraan para oknum berdasi untuk mempertebal kantong pribadi.
Meski belum detail, Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, setidaknya telah membeberkan sedikit bocoran modus operandi kasus ini. Dana CSR yang seharusnya digunakan untuk membangun fasilitas sosial seperti rumah ibadah, jembatan atau fasilitas public lainnya, ternyata hanya sebagian kecil yang benar-benar sampai ke tujuan.
Sisanya, seperti asap knalpot, menghilang begitu saja menguap ke rekening pribadi, dan meninggalkan polusi yang menyesakkan atmosfer negeri.
“Misalkan CSR-nya ada 100, yang digunakan hanya 50. Yang 50-nya digunakan untuk kepentingan pribadi. Nah, itu yang jadi masalah,” ujar Asep sambil menegaskan bahwa yayasan-yayasan ini hanya jadi “alat untuk menerima dana.”
Jika dana CSR ini adalah air, maka yayasan-yayasan tadi tak lebih dari selang bocor yang mengalirkan “berkah” ke arah yang salah. Bukannya menghidupi banyak orang, air itu justru dipakai menyiram taman mewah milik para penjahat berkerah putih.
hukum atau uang yang disalahgunakan. Ini tentang nilai kemanusiaan yang dipertaruhkan. Jangan sampai, kita sebagai bangsa, menjadi cermin dari kutipan Albert Einstein: “The world is in greater peril not because of those who do evil, but because of those who stand by and let it happen.” Dunia ini lebih terancam bukan karena pelaku kejahatan, tetapi karena mereka yang diam melihatnya.
Maka, mari berhenti diam. Tuntut keadilan, karena keadilan bukan sekadar harapan, melainkan hak kita sebagai manusia. Dan bagi mereka yang menikmati hasil dari kebusukan ini, ingatlah: sejarah tak pernah melupakan pelaku kejahatan. Seperti dosa yang diukir di batu, nama mereka akan dikenang bukan sebagai pemimpin, tetapi sebagai pengkhianat. Karena, di akhir hari, kebenaran selalu menang.Tabik dilansir dari CSR Indonesia.