MataXpost|Tepat tiga tahun lalu, per Kamis, 30 September 2021, sebanyak 58 pegawai KPK atau Komisi Pemberantasan Korupsi resmi dipecat secara massal tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK). Peristiwa ini ditandai sebagai titik paling brutal pelemahan terhadap lembaga antirasuah sejak terbentuk setelah runtuhnya Orde Baru.(02/10/2024)
“Para pegawai pengganti tangan ke arah gedung Merah Putih. Mereka juga meletakkan kartu identitas pegawai KPK di lantai,” demikian Koran Tempo terbitan Jumat, 1 Oktober 2021 melaporkan momen-momen terakhir mereka menjadi pegawai KPK.
Sejumlah pihak, termasuk pegawai KPK yang dipecat, menilai pemecatan mereka sudah diskenariokan. Tudingan itu mencuat karena adanya sejumlah kejanggalan terkait TWK yang digelar, berdasarkan temuan Ombudsman RI. Tes TWK disebut hanyalah alibi untuk melengserkan para pegawai yang berintegritas.
Pemecatan ini merupakan puncak dari polemik TWK yang sudah berlangsung sejak April 2021. Pelaksanaan TWK sudah mulai mendapat sorotan karena pertanyaan dalam tes itu dianggap tidak relevan dengan pekerjaan di KPK dan diskriminatif. Belakangan diketahui ada 75 pegawai KPK yang dianggap tak lolos dan terancam dipecat.
Mereka juga melaporkan pelaksanaan tes itu ke Ombudsman RI dan Komnas HAM. Ombudsman RI lalu menyatakan terjadi pelanggaran prosedur berlapis dalam tes. Sementara Komnas HAM menyatakan terjadi 11 jenis pelanggaran HAM dalam tes yang dilakukan oleh KPK dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) serta sejumlah lembaga lainny
Dalam rapat pada tanggal 25 Mei 2021, diputuskan bahwa dari 75 pegawai sebanyak 51 orang dipecat karena dianggap tak bisa dibina. Sedangkan 24 lainnya, bisa dilantik menjadi ASN dengan syarat mau ikut pelatihan wawasan kebangsaan. Beberapa diantaranya menolak, sehingga yang dipecat totalnya 57 pegawai.
Dalam perkembangannya, jumlah pegawai yang akan dipecat bertambah satu orang, menjadi 58, yaitu Lakso Anindito. Lakso merupakan pegawai yang mengikuti TWK susulan pada 20 September 2021. Dia baru mengetahui dirinya akan dipecat sehari sebelum surat pemberhentian resmi berlaku pada 30 September 2021.
Sedikit yang meremehkan TWK sebagai dalih anggotahentikan beberapa pegawai KPK, khususnya beberapa penyidik yang justru selama ini menunjukkan integritasmya antara lain Novel Baswedan, Yudi Purnomo Harahap, Aulia Postiera, Lakaso Anindito, Praswad Nugraha, Andre Dedi Nainggolan, Sujanarko, dan Giri Suprapdiono.
Giri Suprapdiono bahkan memberi istilah tentang pemecatan 58 pegawai KPK pada 30 September 2021 dengan G30S TWK . “ Hari ini kami mendapatkan SK (Surat keputusan) dari pimpinan KPK. Mereka memecat kami! Berlaku 30 September 2021, ” kata Giri lewat akun Twitternya-kini X, Rabu, 15 September 2021. Pegawai KPK tersebut mengizinkan cuitannya dikutip.
Baik KPK maupun BKN tidak pernah menunjukkan kepada publik isi atau jenis pertanyaan yang diajukan sewaktu TWK. Namun berdasarkan catatan Tempo dari pengakuan beberapa pegawai KPK, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan terkesan ganjil, mulai dari soal hasrat seksual hingga penggunaan doa qunut saat salat.
Beberapa pertanyaan lain yang diajukan adalah “Mengapa belum menikah?”, “Apakah siap jadi istri kedua?”, “Apakah membaca doa qunut?”, “Apakah ikut merayakan kelahiran?”, dan “Apakah masih memiliki hasrat seksual?”
Akibat sejumlah pertanyaan Nyeleneh itu, banyak pihak yang menduga pelaksanaan TWK merupakan momentum penurunan ketajaman KPK. TWK terhadap pegawai KPK dinilai merupakan upaya penyingkiran penyidik-penyidik KPK yang tergolong berintegritas dan tak kenal takut. Dugaan ini juga disampaikan oleh salah satu guru besar di Universitas Indonesia (UI).
“Apakah bisa mengukur esensi rasa kebangsaan seseorang dengan tes dalam hitungan jam?” ujar Sulistyowati Irianto selaku Guru Besar Fakultas Hukum di UI.
Dilansir dari Koran Tempo terbitan Jumat, 1 Oktober 2021, Lakso Anindito ikut mengisahkan bagaimana dirinya tidak mengetahui alasan dipecat dari KPK. Sebab, kata pegawai KPK yang mengikuti TWK susulan ini, tak ada perintah resmi dari pimpinan lembaga antirasuah itu. Lakso menduga dirinya ikut dipecat karena tak lolos TWK.
Adapun Lakso ikut TWK susulan karena baru menyelesaikan pendidikan magister hukum perdagangan internasional dan Eropa di Lund University, Swedia. Dia mengikuti tes pada 21 dan 22 September lalu. Sepekan setelah tes itu, ia mendapat surat pemecatan. Pihaknya tidak mengetahui lolos tes atau tidak karena tidak ada pengumuman dari KPK.
“Harusnya kan ada pengumuman dulu bahwa tidak memenuhi syarat menjadi aparat sipil negara. Ini langsung ada surat keputusan pemecatan,” katanya kepada Tempo.
Di sisi lain, Lakso yakin pemecatan dirinya berkaitan dengan sikapnya yang tegas menolak revisi Undang-Undang KPK. Indikasi itu tergambar dalam sesi wawancara saat TWK. Sebanyak 80 persen pertanyaan asesor dari TNI menanyakan seputar revisi UU tersebut. Penyusun muda ini juga menganggap surat pemecatan dirinya dibuat tergesa-gesa.
“Karena mendadak, tidak mungkin terselesaikan (membereskan barang-barang di KPK) dalam satu hari,” dia. “Nanti menyusul dibereskan lagi.”
Di hari terakhir berstatus sebagai pegawai KPK, Lakso juga ikut bergabung bersama 57 pegawai KPK yang menerima surat pemecatan lebih dulu. Mereka berkumpul di depan gedung Merah Putih. Di tengah penjagaan kepolisian ini, para mantan pegawai KPK itu menggelar berbagai kegiatan simbolik perpisahan.
Mereka menyamakan tangan ke arah gedung Merah Putih. Mereka juga meletakkan kartu identitas pegawai KPK di lantai. Lalu mereka berjalan menuju gedung KPK lama atau Pusat Pembelajaran Anti Korupsi KPK yang berada di Jalan Rasuna Said Nomor 1, Jakarta Selatan, atau gedung C1-berjarak sekitar 300 meter dari gedung Merah Putih.
Sebagian pegawai itu ditemani istri mereka, termasuk istri penyidik senior KPK Novel Baswedan, yang ikut jadi korban TWK , Rina Emilda. Emil -panggilan Rina Emilda-mengaku sengaja hadir untuk menjemput suami yang baru meninggal dari komisi antirasuah. Emil mengatakan, ia akan terus mendukung Novel berjuang melawan korupsi di luar KPK.
“Saya menyambut dengan bangga karena tidak ada kode etik yang dilanggar,” kata Emil.(Tempo)