Scroll untuk baca artikel
Example 468x60
Example 600x338
Opini Publik

Kritik Politik Lewat Seni Rupa Indonesia Yang Perlu dan Patut Disikapi Lebih Bijak, Tak Harus Dibredel

2
×

Kritik Politik Lewat Seni Rupa Indonesia Yang Perlu dan Patut Disikapi Lebih Bijak, Tak Harus Dibredel

Sebarkan artikel ini

"Jacob ereste"

Example 350x60

Banten – Tema pameran lukisan tentang “Kebangkitan Tanah Untuk Kedaulatan Pangan” sungguh satir dan absurd. Termasuk pembatalan yang juga banyak disebut sebagai pembredelan dari unjuk rupa itu sendiri yang gegap gempita asosiasinya sebagai wujud dari rezim despotik yang masih menghantui kebebasan rakyat, hanya untuk sekedar mengekspresikan kebebasannya ikhwal ketimpangan di negeri ini yang masih perlu terlalu banyak untuk dibenahi.

 

MataXpost.com
Example 600x338
Tiada Kebenaran Yang Mendua

Suara politik yang mandul itulah yang diambil alih oleh seniman untuk dikatakan lewat bahasa seni, karena narasi budaya pun sudah tidak berdaya setidaknya untuk dikatakan dengan tutur sastra yang lebih santun. Jadi jelas, pembatalan atau pembredelan pameran lukisan pun yang dilakukan oleh Galeri Nasional sebagai agen perpanjangan tangan pemerintah untuk menjaga dan merawat serta mengembangkan kesenian anak bangsa di negeri ini pun sudah lumpuh, bertekuk lutut di bawah kaki penguasa yang diwariskan oleh rezim sebelumnya.

 

Maka kegiatan seni dan budaya pun tidak lagi memiliki tempat untuk hidup setelah suara parlemen — yang masih mengaku tetap mewakili suara rakyat sudah nyaman dengan mainan dirinya sendiri. Maka semakin menjadi sangat terkesan bagi semua aparatur negara dibiarkan asyik memanfaatkan kesempatan sambil membersihkan jalan untuk mengurus dan memanjakan diri dan mempermulus hasratnya sendiri-sendiri.

 

Karena itu, rakyat masih menunggu kebijakan yang seharusnya dilakukan Kementerian Kebudayaan untuk menyikapi penutupan acara pameran lukisan secara sepihak oleh Galeri Nasional yang sudah menggelar pameran lukisan itu pada 19 Desember 2024 hingga dipamerkan untuk beberapa hari ke depan, sekedar untuk menandai bahwa budaya berkesenian di negeri ini belum sepenuhnya mati.

 

Sehingga ada harapan dari budaya berkesenian di Indonesia sedang mati suri, lantaran masih sangan berharap seni buaya di Indonesia akan hidup segar dan sehat kembali.

 

Pemikiran positif dari pembredelan atau penutupan acara pameran lukisan karya Yon Suprapto ini, bisa diharap menjadi titik hentak kembalinya suasana booming seni lukis di Indonesia seperi tahun 1980-an hingga suasana kegiatan dari pertunjukan, pameran sampai acara seminar dan diskusi di Indonesia kembali marak menjadi bagian dari gairah kehidupan yang ikut membantu mengatasi masalah kemiskinan serta tingkat kecerdasan rakyat seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945 yang sudah dipiuhkan oleh amandemen yang bertaburan duit itu.

 

Permintaan kurator untu mendrop out lima buah lukisan, agar tidak ikut dipamerkan, jelas mengekspresikan penghambaan pada sisa kekuasaan para penguasa yang alergi terhadap kritik, meski cukup terbatas hanya di ruang pameran yang tidak mungkin dapat diapresiasi oleh seluruh rakyat Indonesia secara lebih meluas.

 

Tapi absurdnya ketakutan itu pun menghinggap pada kurator yang terkesan akan lebih menanggung resiko ketimbang sang pelukis sebagai pemilik karya dan pemilik hak cipta dengan segenap konsekuensi hukum hingga moralitas dari muatan karya seni tersebut. Akibatnya, interpretasi sepihak kurator justru lebih keji karena telah memangkas hak publik untuk memberi nilai sendiri terhadap karya seni tersebut.

 

Dari pemenggalan hak publik inilah polemik dalam masyarakat dominan disuarakan yang menilai tindak pembredelan atau penutupan paksa acara pameran karya lakis tersebut adanya pembungkaman terhadap kritik yang tergambar dalam kelima lukisan yang diharamkan itu adanya sosok seorang raja dengan kakinya yang menginjak beberapa orang dengan latar belakang pasukan yang bersenjata berkostum (seragam) coklat dan hijau.

 

Sikap kurator yang menarik diri untuk mundur dari keterlibatannya dalam pameran seni lukis yang gaduh ini, jelas menunjukkan ketakutan yang berlebih — untuk cari selamat sendiri kok baru setelah semua karya berada di ruang pameran perundingan tentang pelaksanaan pameran seni lukis itu diributkan.

 

Artinya, proses kerjasama antara pelukis dengan kurator sungguh tidak profesional. Karena itu, kurator harus memberikan penjelasan mulai dari proses perencanaan hingga pelaksanaan pameran, agar tidak menimbulkan fitnah dan spekulasi tafsir oleh masyarakat, cuma sekedar untuk mencari popularitas belaka.

 

Namun yang jelas dan pasti, kegaduhan dari balik bilik Galeri Nasional ini patut dan wajib menjadi perhatian Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia. Bahwa kebudayaan itu tidak hanya sebatas barang mati tidak bergerak tetapi juga meliputi segenap aktivitas dan kegiatan hingga acara seni dan budaya ideal untuk dijaga dan dipelihara agar dapat lebih maju dan lebih baik dalam upaya membangun karakter bangsa termasuk penyelenggara negara dan pemerintahan yang baik dan benar untuk memasuki era Indonesia Emas (2045) yang sudah terlalu lama menjadi mimpi seluruh rakyat Indonesia.

 

Untuk kritik politik yang diguratkan melalui seni rupa pun di Indonesia sudah saatnya diperlukan dan patut disikapi dengan cara yang lebih bijak, tak harus sampai dibredel, karena pada akhirnya toh ingin ikut menjaga agar akal dan pikiran kita tetap sehat untuk terus diasuh dalam dimensi dan suasana spiritual agar ketegaran etika, moral dan akhlak mulia manusia sebagai khalifatullah di muka bumi.

 

Apalagi pameran seni lukis ini mengusung tema aktual yang tengah ingin diwujudkan oleh bangsa Indonesia terkait dengan kedaulatan lahan, ketahanan pangan untuk menjadi pertahanan budaya dalam arti luas, tak hanya sebatas keamanan negara dari penjajahan ekonomi, penjajahan politik dan penjajahan dalam bentuk lain yang bisa membuat rakyat lebih sengsara.

About The Author

Example 468x60 Example 468x60
Example 120x600
banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights