x

Membongkar Dugaan โ€œPermainanโ€ Oknum BPKAD dan Mafia Tanah di Meranti

waktu baca 8 menit
Rabu, 5 Mar 2025 04:52 15 Editor

Selat Panjang – Sengketa lahan di Kepulauan Meranti semakin mengarah pada dugaan permainan terselubung antara BPKAD dan kelompok tertentu. Tanah milik Suandi, yang telah dikuasainya secara sah sejak 2018 berdasarkan dokumen kepemilikan, tiba-tiba diklaim sebagai aset daerah oleh BPKAD. (5/03)

Rantai kepemilikan tanah ini sangat jelas:

1980: Ibu Nemi memperoleh tanah dari Ishak dengan SKGR jual beli.

1997: Pak Shinto membeli tanah dari Ibu Nemi dengan SKGR jual beli.

2018: Suandi membeli tanah dari Pak Shinto dengan SKGR jual beli.

Selain itu, sketsa dari BPN serta hasil pengukuran resmi yang dilakukan bersama pejabat terkait juga membuktikan keabsahan kepemilikan Suandi.

Namun, ada kejanggalan dalam klaim BPKAD. Mereka hanya mengklaim 1.000 mยฒ dari total 37.000 mยฒ yang disebut sebagai aset daerah. Jika benar tujuan mereka adalah menyelamatkan aset negara, mengapa sisa 36.000 mยฒ dibiarkan begitu saja?

Pertanyaan lain yang muncul: Apakah sisa lahan tersebut telah atau siap diperjualbelikan oleh oknum BPKAD kepada mafia tanah?

Lebih mencurigakan lagi, Kabid Aset BPKAD, Istiqomah, yang memimpin pemasangan plang klaim aset daerah, justru mengakui bahwa ada aset negara yang telah diperjualbelikan.

Lalu, mengapa hanya tanah Suandi yang dipermasalahkan, sementara tanah lain dibiarkan?

Dugaan Permufakatan Jahat antara Oknum BPKAD dan Mafia Tanah

Kelompok Apeng diduga berperan di balik sengketa ini. Istiqomah dan Maizathul juga diduga terlibat dalam manipulasi pengakuan warga sekitar. Beberapa nama yang menandatangani surat pernyataan bahwa tanah Suandi adalah milik negara diduga telah melakukan pemufakatan untuk menyingkirkan Suandi.

Sebelum BPKAD tiba-tiba mengklaim tanah Suandi sebagai aset daerah, Suandi terlebih dahulu bersengketa dengan kelompok Apeng.

Sengketa ini bermula ketika Apeng membangun ruko yang melewati batas lahan dan mengambil sebagian tanah Suandi.

Ketika Suandi menolak penguasaan lahan secara ilegal oleh Apeng, tak lama kemudian muncul klaim sepihak dari Pemkab bahwa tanah Suandi adalah aset daerah.

Anehnya, orang-orang yang ikut menandatangani surat pernyataan mendukung klaim Pemkab adalah:

  • Apeng, Bin Ichan, Darmanapan (Junjuta), Anua, Sin Tja, Hermanto, Kream Handrey, Dirma, dan Binju Jaya โ€“ semuanya beralamat di Jalan Ibrahim.

  • Sri Suryani Dewi, SE (Lurah) dan Zaidi, SE โ€“ beralamat di Jalan Nusa Indah.

Berdasarkan kesaksian warga dan dokumen yang ada, muncul indikasi bahwa mereka bagian dari jaringan Apeng,dan juga setelah ditemukan fakta bahwa bangunan baru di sekitar lahan Suandi masih terkait dengan keluarga Apeng dan telah diperjualbelikan.

Jika tanah ini benar-benar aset negara, mengapa bangunan lain di lokasi yang sama bisa berdiri dan diperjualbelikan secara bebas tanpa tindakan serius pemkab?

Sebagai Kabid Aset BPKAD, Istiqomah seharusnya netral dalam pengelolaan aset daerah. Namun, perannya dalam kasus ini justru memunculkan banyak kejanggalan:

โœ… Memimpin langsung pemasangan plang klaim aset Pemkab di lahan Suandi. โœ… Mengakui bahwa ada aset negara yang telah diperjualbelikan. โœ… Hanya mengklaim 1.000 mยฒ dari 37.000 mยฒ, sementara sisa 36.000 mยฒ dibiarkan begitu saja.

Ke mana sisa 36.000 mยฒ itu? Apakah telah diperjualbelikan? Dan siapa yang menikmatinya?

Jika BPKAD benar-benar ingin menyelamatkan aset daerah, seharusnya seluruh tanah yang diklaim sebagai aset negara ditertibkan, bukan hanya milik Suandi.

Memunculkan dugaan bahwa aset daerah telah dimainkan oleh oknum BPKAD untuk kepentingan pribadi dan mafia tanah.

Menolak Lupa:.

Seperti diketahui, Istiqomah termasuk dalam daftar 28 pejabat yang terkena OTT bersama Bupati M. Adil.

Kasus ini bisa jadi hanya bagian kecil dari praktik korupsi dan penyalahgunaan aset daerah yang telah berlangsung lama di Kepulauan Meranti.

Tuntutan Publik: KPK dan Kejaksaan Agung Harus Turun Tangan

Skandal ini telah memicu kemarahan masyarakat Kepulauan Meranti. Sejumlah tokoh masyarakat mendesak KPK dan Kejaksaan Agung untuk segera turun tangan membongkar jaringan mafia tanah di daerah ini.

RH, salah satu warga Kepulauan Meranti, menyatakan:

“Sudah terlalu lama aset daerah dipermainkan oleh segelintir orang. Kasus ini bukan hanya soal tanah Suandi, tapi soal bagaimana aset negara dikuasai dan diperjualbelikan oleh oknum tertentu. Jika tidak segera diusut, bukan tidak mungkin skandal seperti ini akan terus terjadi.”

Senada dengan itu, TMZ, seorang tokoh masyarakat Meranti, menambahkan:

“Kami meminta agar KPK dan Kejaksaan Agung turun langsung ke Meranti. Mafia tanah sudah merajalela, ada indikasi permainan jual-beli aset daerah yang dilakukan oleh oknum di BPKAD. Kalau tidak ada tindakan tegas, masyarakat kecil yang akan terus jadi korban.”ungkapnya

Analisis Kasus Dugaan Penggelapan Aset Daerah di Meranti

Kasus ini mencerminkan pola yang sering terjadi dalam sengketa lahan di daerah, di mana pejabat pemerintah dan kelompok tertentu diduga bersekongkol untuk mengalihkan kepemilikan aset negara dengan cara yang tampak legal, tetapi sebenarnya sarat manipulasi. Ada beberapa poin utama yang perlu diperhatikan dalam analisis ini:

Pola Penggiringan Opini untuk Legitimasi

BPKAD, melalui Istiqomah, tampaknya berupaya membangun narasi “penemuan aset daerah” untuk menciptakan kesan bahwa mereka telah bekerja menyelamatkan aset negara. Namun, klaim ini bertentangan dengan fakta bahwa lahan tersebut sebenarnya telah lama diketahui statusnya. Bahkan, ada indikasi bahwa sebagian lahan sudah dikuasai dan diperjualbelikan oleh pihak tertentu yang terkait dengan kelompok Apeng.

Peran Media dalam Penggiringan Opini

Dalam beberapa pemberitaan yang beredar, klaim BPKAD bahwa lahan tersebut merupakan aset daerah seolah-olah diterima tanpa kritik. Sejumlah media yang diketahui memiliki hubungan erat dengan instansi pemerintah lebih banyak menyoroti “keberhasilan” Pemkab dalam menyelamatkan aset negara, tanpa menampilkan bantahan dari pihak Suandi maupun dokumen kepemilikan yang mereka miliki.

“Ini cara lama. Mereka menguasai narasi di media agar masyarakat percaya bahwa tanah itu milik negara, padahal ada banyak kejanggalan yang diduga sengaja diabaikan,” ujar Bob aktivis Riau

BPKAD, melalui Istiqomah, tampaknya berupaya membangun narasi “penemuan aset daerah” untuk menciptakan kesan bahwa mereka telah bekerja menyelamatkan aset negara. Namun, klaim ini bertentangan dengan fakta bahwa lahan tersebut sebenarnya telah lama diketahui statusnya. Bahkan, ada indikasi bahwa sebagian lahan sudah dikuasai dan diperjualbelikan oleh pihak tertentu yang terkait dengan kelompok Apeng.

Jika narasi ini diterima oleh publik tanpa kritis, maka langkah BPKAD dapat terlihat sah secara administratif. Ini sering kali menjadi strategi dalam kasus sengketa lahan: membentuk opini publik sebelum fakta sebenarnya terungkap di ranah hukum.

Dugaan Pemufakatan Terselubung dan Pengalihan Aset

Tanda-tanda adanya permainan dalam kasus ini cukup jelas. Surat pernyataan dari warga, yang juga ditandatangani oleh Istiqomah, bisa jadi merupakan alat untuk memperkuat klaim BPKAD atas lahan tersebut jika suatu saat terjadi sengketa hukum. Ini menjadi taktik umum dalam permainan mafia tanah, di mana sekelompok warga digunakan untuk memberikan legitimasi klaim pemerintah atau pihak tertentu atas aset yang diperebutkan.

Dalam kasus ini, dugaan keterlibatan kelompok Apeng menguatkan indikasi bahwa lahan tersebut telah masuk dalam skema penguasaan sistematis. Apalagi, fakta bahwa properti di sekitar lahan telah diperjualbelikan dan dikuasai pihak tertentu menunjukkan adanya kesepakatan di balik layar yang tidak transparan.

Kontradiksi Klaim BPKAD

Pernyataan Istiqomah tentang “menemukan aset daerah” bertentangan dengan kenyataan bahwa lahan tersebut sudah masuk dalam nota hibah dari Pemkab Bengkalis sejak 2013. Jika lahan itu memang aset daerah sejak lama, mengapa baru sekarang diakui sebagai “ditemukan”? Apakah selama ini ” hilang “?

Dugaan Jual-Beli Aset Daerah dan Permainan Mafia Tanah

Lebih aneh lagi, klaim ini muncul bersamaan dengan fakta bahwa sebagian lahan yang berdekatan telah dibangun beberapa unit rumah mewah dan diperjualbelikan. Artinya, ada kemungkinan bahwa pejabat terkait sudah lama mengetahui keberadaan lahan tersebut tetapi membiarkan transaksi berjalan. Ini memperkuat dugaan bahwa skenario “penemuan aset” hanya merupakan upaya untuk menutupi transaksi ilegal yang telah berlangsung sebelumnya.

Dalam banyak kasus sengketa aset, skema umum yang digunakan adalah:

1.Pengabaian terhadap aset daerah โ€“ Lahan dibiarkan “tidak terurus” atau dianggap tidak tercatat, meskipun sebenarnya telah masuk dalam dokumen resmi.

2.Oknum pejabat bersekongkol dengan kelompok tertentu untuk menjual lahan kepada pihak swasta.

3.Legitimasi di atas kertas โ€“ Surat pernyataan warga, klaim “penemuan aset,” atau penerbitan dokumen baru digunakan untuk melegalkan penguasaan lahan setelah transaksi terjadi.

4.Menghadapi tuntutan hukumย  ย  ย  ย  ย  ย  ย  ย  ย  jika ada pihak yang menggugat, seperti Suwandi dalam kasus ini, strategi yang digunakan adalah membangun opini publik dan mencari celah hukum untuk memperkuat posisi pemerintah atau kelompok yang diuntungkan salah satunya membuat surat pernyataan warga sekitar lahan.

Dugaan keterlibatan kelompok Apeng dalam transaksi ini semakin memperjelas bahwa kasus ini bukan sekadar kesalahan administratif, tetapi lebih kepada upaya sistematis untuk menguasai aset daerah melalui jalur yang tampak legal.

Potensi Pelanggaran Hukum dan Urgensi Investigasi

  • Kasus ini memiliki beberapa elemen yang berpotensi melanggar hukum, antara lain:

  • Penyalahgunaan wewenang oleh pejabat yang seharusnya mengamankan aset daerah tetapi justru diduga bersekongkol dengan kelompok tertentu.

  • Manipulasi dokumen dan opini publik untuk memperkuat klaim aset dengan cara yang tidak transparan.

  • Kemungkinan jual-beli aset negara secara ilegal, yang dapat merugikan keuangan daerah dan masyarakat.

Jika tidak segera diusut, skema seperti ini dapat terus berlanjut dan menjadi modus operandi dalam penguasaan lahan di daerah lain. Oleh karena itu, diperlukan langkah serius dari aparat penegak hukum untuk menginvestigasi dugaan pemufakatan ini, termasuk memeriksa aliran transaksi terkait lahan tersebut serta keterlibatan pihak-pihak yang memperoleh keuntungan.

Kasus ini bukan hanya soal kepemilikan lahan, tetapi juga cerminan dari bagaimana aset negara dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok tertentu dengan cara yang seolah-olah legal. Jika dibiarkan, ini akan menjadi preseden buruk dalam pengelolaan aset daerah di Indonesia.

Berita ini diterbitkan belum mengkonfirmasi kepada pihak terkait, berita akan diperbarui sesuai informasi yang didapatkan dengan klarifikasi resmi dari Kabid Aset Istiqomah.

Catatan Redaksi:
Laporan investigasi ini mengandung dugaan dengan mengedepankan “Azaz Praduga Tak Bersalah” berdasarkan hasil investigasi, data dokumen, dan kesaksian warga. Jika pihak terkait ingin memberikan klarifikasi, pihak terkait berhak atas hak jawab sesuai prinsip jurnalistik yang berlaku. Berita disusun kelanjutan berita yang sudah pernah terbit.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA
    x
    x