Pekanbaru – Hasil investigasi mendalam dan penelusuran sejumlah kasus sengketa tanah di Provinsi Riau mengungkap fakta mencengangkan: konflik agraria yang berkepanjangan di wilayah ini ternyata bermuara pada ulah oknum Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang diduga kuat terlibat dalam jaringan mafia tanah. (13/05)
Berdasarkan laporan masyarakat, data pertanahan, hingga hasil kajian hukum, ditemukan pola manipulatif yang merugikan warga. Oknum BPN diduga menerbitkan surat tanah baru di atas lahan yang sudah memiliki sertifikat sah, dalam skema yang mengarah pada gratifikasi. Sertifikat ganda ini diterbitkan sebagai “balas jasa” setelah oknum menerima imbalan dari pihak berkepentingan.
“Tanah kami sudah bersertifikat sejak awal tahun 2000-an, tapi tiba-tiba muncul sertifikat baru atas nama orang lain. Setelah dicek, ternyata diterbitkan BPN,” kata seorang warga korban di Kampar, yang meminta identitasnya dirahasiakan demi keselamatan.
Fenomena ini tidak berdiri sendiri. Di berbagai kabupaten/kota di Riau, konflik serupa terjadi berulang: pertikaian horizontal antarwarga, kriminalisasi, hingga gugatan hukum yang berlarut—semuanya berakar pada manipulasi dokumen pertanahan yang melibatkan oknum lembaga negara.
Menurut LSM antikorupsi dan pakar hukum tanah, praktik ini bukan ulah individu. “Sudah ada pola. Mafia tanah tidak akan bisa leluasa tanpa dukungan dari dalam institusi pertanahan itu sendiri, Mafia tanah mempunyai jaringan kuat baik di institusi Penegak Hukum hingga Kejaksaan dan pengadilan kata Rinaldi Hutasoit, peneliti hukum agraria dari Universitas Sumatera Utara
Kasus Inong Fitriani: Ketika Warisan Dikriminalisasi
Kasus terbaru menimpa Inong Fitriani (57), seorang ibu rumah tangga di Dumai. Ia ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Dumai atas dugaan pemalsuan surat tanah, meskipun tanah seluas 1.200 m² itu telah dikuasai keluarganya sejak tahun 1961. Sengketa bermula ketika seorang pengusaha, Toton Sumali, mengklaim lahan yang sama berdasarkan sertifikat terbitan tahun 2000.
Penyidikan dilakukan sejak 2021 dengan melibatkan BPN Dumai dan 23 saksi. Berkas dinyatakan lengkap (P-21) oleh Kejaksaan pada Maret 2025, dan Inong resmi ditahan pada 3 Mei 2025.
Penahanan ini memicu reaksi publik dan menjadi viral. Ketua DPRD Dumai, Agus Miswandi, bahkan menyatakan kesiapannya sebagai penjamin penangguhan penahanan, menyebut kasus ini sebagai ironi hukum. Pakar agraria Dr. Herman Siregar menyebut bahwa ini seharusnya diselesaikan secara perdata, bukan pidana. “Ini kriminalisasi, bukan penegakan hukum,” ujarnya.
Siti Fatimah: Guru SD yang Dipenjara Karena Membela Warisan Keluarga
Kisah tragis lain datang dari Siti Fatimah, seorang guru SD di Pekanbaru. Ia memperjuangkan tanah warisan orang tuanya seluas 20.240 m² yang telah sah secara hukum melalui putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung. Namun, lahan tersebut dikuasai oleh seorang pengusaha bernama Alek Sidik.
Meski pengadilan telah mengeksekusi lahan dan memulihkannya ke Siti Fatimah pada 2017, sang pengusaha tetap menggugat ke PTUN dan kalah. Anehnya, pada 2018 justru Siti Fatimah dan ibunya yang dilaporkan ke polisi dan divonis 6 bulan penjara atas tuduhan pemalsuan. Ia ditahan dan baru bebas pada Juli 2023.
Kasus-kasus ini mencerminkan satu benang merah: pembiaran sistemik terhadap penyimpangan di tubuh BPN dan dugaan keterlibatan mafia tanah yang dilindungi kekuatan ekonomi maupun politik.
Menteri ATR/BPN memang telah menyatakan komitmen memberantas mafia tanah, namun fakta-fakta terbaru membuktikan: praktik ini belum berhenti. Kejaksaan Agung diminta turun tangan langsung, melakukan audit forensik atas seluruh sertifikat bermasalah dan menindak oknum-oknum yang terlibat gratifikasi.
Aktivis muda Riau, Alfian, juga angkat bicara terkait maraknya sengketa tanah yang diduga melibatkan mafia dan oknum aparat. Ia meminta Kejaksaan Agung untuk tidak hanya menyasar tingkat pusat, tetapi juga menyelidiki oknum-oknum di BPN Provinsi hingga seluruh kantor BPN di tingkat kota dan kabupaten di Riau.
“Sudah terlalu lama masyarakat jadi korban. Kejaksaan Agung harus turun tangan, bersihkan total BPN dari provinsi sampai kabupaten/kota. Kalau tidak, kejahatan agraria ini akan terus menelan korban baru,” tegas Alfian dalam pernyataannya.
Jika tidak ada penindakan, maka korban korban baru dari masyarakat kecil akan berjatuhan seperti Inong dan Siti Fatimah hanya akan menjadi bagian dari statistik panjang ketidakadilan agraria di Indonesia., STOP PENINDASAN TERHADAP HAK RAKYAT. Ungkap Mafia Tanah, Bersihkan BPN., tutupnya