PEKANBARU – Di tengah tekanan publik terkait utang tunda bayar sebesar Rp469 miliar kepada pihak ketiga, Pemerintah Kota Pekanbaru justru lebih memfokuskan perhatian pada pembahasan Dana Alokasi Khusus (DAK). Sikap ini menimbulkan pertanyaan publik mengenai komitmen pemerintah terhadap penyelesaian kewajiban hukum dan moral kepada para rekanan yang telah menyelesaikan pekerjaan. (12/05)
Dalam rapat evaluasi pemanfaatan DAK yang digelar Kamis (8/5/2025), tidak terlihat adanya pembahasan serius terkait roadmap penyelesaian utang tersebut. Padahal, berdasarkan data resmi dari Inspektorat dan pernyataan Penjabat Wali Kota sebelumnya, Roni Rakhmat, total utang Pemko terdiri dari Rp347 miliar untuk proyek tahun 2024, serta Rp122 miliar yang belum dibayar sejak periode 2017 hingga 2022.
Yang lebih mengkhawatirkan, hingga awal Mei 2025, realisasi belanja modal Pemko baru mencapai Rp3,74 miliar dari pagu Rp377,06 miliar kurang dari 1 persen. Sementara itu, belanja pegawai justru telah menyerap Rp320,85 miliar dari total pagu Rp1,22 triliun. Dari total APBD 2025 senilai Rp3,2 triliun, realisasi belanja baru menyentuh angka 17,58 persen.
“Kami sudah bekerja sesuai kontrak. Tapi sampai hari ini hak kami belum dibayar. Apakah kontraktor bukan bagian dari rakyat?” ujar seorang kontraktor lokal yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Ia juga menyebut bahwa rekanan yang masih menerima proyek saat ini diduga merupakan bagian dari jaringan elite politik atau tim sukses kepala daerah. “Kalau bukan orang dalam, mana mungkin berani kerja lagi sama Pemko, sementara utang lama belum lunas,” ujarnya tegas.
Aturan Diabaikan, Keadilan Dipertanyakan
Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 telah memberikan mekanisme pembayaran utang melalui perubahan Perkada atau Perda APBD, sepanjang pekerjaan telah selesai dan mendapat reviu dari APIP. Ketentuan tersebut juga berlaku untuk pekerjaan yang tertunda karena kondisi tertentu seperti force majeure atau perpanjangan waktu.
Namun hingga kini, tahapan tersebut belum juga dijalankan oleh Pemko. Kondisi ini membuat publik mempertanyakan komitmen moral dan politik Wali Kota Agung Nugroho yang akan sejahterakan masyarakat dalam menyelesaikan kewajiban yang telah lama menumpuk.
Padahal, berdasarkan data realisasi keuangan daerah tahun 2025, posisi kas daerah masih tergolong sehat. Artinya, secara anggaran, Pemerintah Kota Pekanbaru memiliki ruang fiskal yang cukup untuk mulai mencicil atau bahkan melunasi utang-utang tersebut. Jadi, tidak ada alasan yang cukup kuat secara regulasi maupun keuangan bagi Pemko untuk terus menunda pembayaran.
“Pak Wali, ini bukan sekadar angka di laporan keuangan. Ini hak orang-orang yang sudah bekerja. Bahkan Presiden pun mendorong pembayaran utang dan efisiensi. Tapi Pekanbaru justru lebih sibuk mengejar pencitraan lewat DAK,” ungkap seorang kontraktor warga Jalan Harapan Raya
DPRD Dinilai Tidak Bertaring
Kritik juga mengarah pada DPRD Pekanbaru yang dinilai pasif dalam mengawal isu penting ini. Tidak ada desakan, interpelasi, ataupun langkah konkret untuk memastikan utang daerah dibayar sesuai aturan.
“DPRD terlihat tak lagi menjalankan fungsi pengawasan secara utuh. Jika benar memperjuangkan kepentingan rakyat, mereka seharusnya bersuara lantang terhadap utang ratusan miliar ini, alih alih lakukan pembelaan, mereka diam tak berfungsi” ujar AL seorang Aktivis di Pekanbaru
Pertanyaan Besar: Siapa yang Diuntungkan?
Di tengah minimnya belanja modal, stagnasi pembangunan, dan utang yang membesar, publik bertanya-tanya: ke mana sebenarnya aliran anggaran triliunan rupiah itu? Proyek terhenti, kegiatan masyarakat tak berjalan, namun belanja pegawai dan program-program beraroma pencitraan justru meningkat.
Kini masyarakat menanti ketegasan: apakah Wali Kota Agung Nugroho dan DPRD Pekanbaru berani mengambil sikap moral dan konstitusional untuk menyelesaikan utang serta memulihkan kepercayaan publik atau justru terus menunda, atau justru membiarkan dan lari dari tanggung jawab? Dengan mengeluarkan pernyataan bahwa pekerjaan tersebut tidak ada kontaknya?
Catatan Redaksi: Berdasarkan regulasi yang berlaku, Pemkot Pekanbaru wajib segera melakukan revisi Perkada dan DPA, serta memastikan utang dibayar sesuai mekanisme yang telah diatur. Keterlambatan tanpa kejelasan justru membuka potensi gugatan hukum dari para penyedia, dan memperburuk citra pemerintahan serta kestabilan fiskal daerah.
Tidak ada komentar