Pekanbaru – Gagasan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) oleh DPRD Provinsi Riau untuk menindaklanjuti temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI) kini mulai kehilangan arah. Di tengah sorotan publik terhadap dugaan skandal pengelolaan keuangan daerah, DPRD justru menunjukkan sikap pasif. Tidak ada jadwal pasti pembahasan di Badan Musyawarah (Banmus), tidak ada sikap resmi dari pimpinan dewan, dan tidak ada tekanan berarti dari mayoritas fraksi. Kondisi ini menguatkan dugaan bahwa rencana pembentukan pansus hanya menjadi alat pengaman politik sementara, yang kelak akan dibiarkan hilang secara perlahan tanpa jejak. (21/06)
Salah satu temuan paling mencolok dalam LHP BPK adalah munculnya tunda bayar sebesar Rp2,2 triliun dalam struktur keuangan daerah. Ini bukan angka kecil, bahkan tergolong mencurigakan karena melampaui kemampuan fiskal Provinsi Riau yang sebelumnya diklaim βsehatβ. Banyak pihak menilai, tumpukan tagihan ini bukan semata hasil defisit alami, melainkan akibat pengesahan APBD yang disusun tanpa dasar realistis bahkan diduga diselimuti tekanan politik dari elite legislatif dan eksekutif Tunda bayar ini menyebabkan proyek-proyek penting tak terselesaikan, membebani APBD tahun berjalan, dan membuka ruang gelap praktik ijon proyek, mark-up, serta kebocoran masif.
Yang membuat situasi ini semakin dramatis adalah daftar nama besar yang disebut-sebut terlibat. Mereka bukan tokoh biasa, tetapi aktor utama dalam proses pengesahan APBD 2024 yang kini justru menduduki jabatan publik strategis lintas daerah dan lembaga.
-SF Hariyanto, kala itu Sekda dan Ketua TAPD, kini menjabat sebagai Wakil Gubernur Riau
Agung Nugroho Wakil Ketua DPRD saat APBD disahkan, kini menjabat Wali Kota Pekanbaru.
Yulisman, SSi mantan Ketua DPRD, kini melenggang di DPR RI
Syafrudin Poti eks Wakil Ketua DPRD, kini Wakil Bupati Rokan Hulu
Herdianto politisi Gerindra, masih aktif sebagai Anggota DPRD Riau
Kelima tokoh ini disebut-sebut ikut membidani pengesahan APBD yang kini terbukti menimbulkan beban berat keuangan daerah. Jika pansus dibentuk secara sungguh-sungguh dan independen, maka publik tentu menuntut mereka dipanggil untuk mempertanggungjawabkan peran, kebijakan, dan keputusan politiknya.
Sementara itu, wajah baru Banggar DPRD Riau periode 2024β2029 kini dipimpin oleh nama-nama lama yang kembali naik ke tampuk kekuasaan: **Kaderismanto** (PDIP) sebagai Ketua DPRD, serta **Parisman Ihwan** (Golkar), **Ahmad Tarmizi** (PKS), dan **Budiman Lubis** (Gerindra) sebagai Wakil Ketua DPRD. Mereka semua kini dihadapkan pada pilihan historis: melindungi rekan politik yang terlibat dalam skandal APBD, atau membela suara rakyat dengan membentuk pansus dan membuka penyelidikan menyeluruh.
Namun hingga kini, tidak satu pun dari mereka menyatakan dukungan tegas untuk pembentukan pansus. Tidak ada gerakan formal dari fraksi, tak ada manuver dari Banmus. Yang terlihat justru adalah sikap diam, yang perlahan membentuk opini bahwa pansus ini tidak akan pernah terwujud.
Tak hanya soal tunda bayar. Skandal lama kembali menghantui. Dugaan perjalanan dinas fiktif (SPPD) yang masih diselidiki Polda Riau sejak tahun lalu pun mandek. Kasus ini menyangkut laporan perjalanan fiktif pada 2020β2021 yang anggarannya tetap dicairkan dan dipertanggungjawabkan secara administratif. Namun setelah sembilan bulan penyelidikan, belum ada satu pun tersangka yang diumumkan. Sebagian pihak bahkan menduga praktik ini masih berlangsung secara terselubung hingga kini.
Jika pansus benar-benar terbentuk, kasus SPPD fiktif semestinya menjadi salah satu agenda utama. Tapi jika tidak, wajar bila publik meyakini bahwa tunda bayar dan SPPD adalah dua sisi dari sistem anggaran yang telah dikuasai kepentingan kelompok.
Desakan agar DPRD membentuk pansus datang dari berbagai arah. Akademisi, aktivis anggaran, LSM antikorupsi, hingga elemen masyarakat sipil bersuara lantang. Lembaga seperti Forum Anggaran Riau, Koalisi Masyarakat Peduli Riau (KMPR), dan Transparansi Watch menuntut agar sidang pansus dibuka untuk umum, didokumentasikan, disiarkan langsung, dan melibatkan lembaga pengawas eksternal seperti BPK dan KPK.
Namun sejauh ini, media arus utama di Riau sebagian besar masih bermain aman. Hanya sedikit media yang menggali substansi dan menyebut nama secara terang. Selebihnya tersandera oleh kutipan formal dan wacana normatif. Jika kondisi ini dibiarkan, maka satu-satunya penyelamat keuangan daerah dan demokrasi lokal adalah kesadaran dan desakan publik sendiri.
Jika DPRD Riau benar-benar membiarkan pembentukan pansus menguap tanpa hasil, maka publik punya alasan kuat menyimpulkan bahwa hukum telah dikalahkan oleh kompromi politik dan keadilan untuk rakyat hanya tinggal jargon kosong. Skandal keuangan sebesar Rp2,2 triliun, laporan fiktif perjalanan dinas, serta deretan nama tokoh yang kini duduk tenang di kursi kekuasaan semuanya berpotensi hilang tanpa pertanggungjawaban.
Pansus adalah harapan terakhir dari mekanisme pengawasan internal legislatif. Jika ini pun gagal diwujudkan, maka rakyat Riau patut merasa dikhianati oleh institusi yang seharusnya menjadi wakilnya. Kita sedang menyaksikan bukan sekadar pembusukan anggaran, tetapi pembusukan sistem. Dan dalam sistem yang busuk, keadilan tak lagi punya tempat. Mereka yang terpilih duduk di kursi empuk Dewan Terhormat, jika terus membisu, bukan lagi wakil rakyat melainkan barisan para pengkhianat.
**Dilarang mengutip berita tanpa izin tertulis dari Redaksi mataxpostΒ©2025**