PEKANBARU โ Kehadiran Satuan Tugas Pengamanan Kawasan Hutan (Satgas PKH) dari unsur gabungan dan Kejaksaan Agung di Riau sempat membangkitkan harapan publik. Banyak yang percaya, kerusakan massif di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) akhirnya akan dihadapkan pada hukum. Tapi harapan itu kini mulai retak. Hingga akhir Juni 2025, sederet pemeriksaan telah digelarโnamun belum satu pun pelaku ditetapkan sebagai tersangka.
Penegakan hukum yang seharusnya tegas kini terlihat ragu. Pemeriksaan demi pemeriksaan berlangsung di Aula Kejaksaan Tinggi Riau, namun hasilnya masih nihil. Wajar jika publik mulai bertanya: ada apa dengan Satgas PKH?
Pada Jumat, 27 Juni 2025, beberapa kepala desa dari sekitar kawasan TNTN dipanggil. Salah satunya adalah Tansi Sitorus, Kepala Desa Air Hitam, Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan. Sosok ini bukan nama baru. Ia dikenal sebagai penerbit Surat Keterangan Garapan (SKG) yang membuka jalan bagi alih fungsi hutan menjadi kebun sawit secara ilegal.
Tansi tiba di Kejati Riau sekitar tengah hari, menaiki Mitsubishi Triton hitam. Pemeriksaan berlangsung tertutup selama dua jam lebih. Saat keluar, ia tampak enggan bicara. โMakan dulu,โ katanya singkat kepada wartawan sebelum masuk mobil dan pergi.
Selain Tansi, seorang pria pengguna mobil berpelat BK asal Sumatera Utara juga turut diperiksa. Pria itu tampak gugup dan buru-buru meninggalkan lokasi, wajahnya tertutup masker. Ia diyakini salah satu aktor penting di balik aliran modal penguasaan lahan dalam kawasan konservasi.
SKG ilegal adalah pintu masuk kehancuran. Dengan selembar surat yang diterbitkan kepala desa, ribuan hektare hutan negara yang dilindungi tiba-tiba berubah jadi hamparan sawit. TNTN, yang seharusnya menjadi rumah bagi gajah dan harimau Sumatera, justru menjadi korban eksploitasi.
Sayangnya, sejauh ini langkah Satgas PKH terkesan setengah hati. Aktivitas mereka tampak sibuk di permukaanโtetapi tanpa hasil konkret. Tidak ada penetapan tersangka, tidak ada penyitaan aset, dan tidak ada proses hukum terbuka yang bisa menjadi pelajaran.
Seorang aktivis lingkungan yang ikut memantau proses pemeriksaan menyebut, โKalau hanya memanggil dan memeriksa, lalu dilepas begitu saja, itu hanya teatrikal hukum. Hutan kita tidak butuh sandiwaraโkita butuh keberanian menindak.โ
Satgas PKH dan Kejati Riau tidak bisa berhenti di operator lapangan. Sudah waktunya mengusut aktor utama: siapa yang memodali? Siapa yang mengkoordinir? Dan siapa yang menutup mata selama ini?
Perusahaan-perusahaan Aktif di Kawasan TNTN
Informasi yang berhasil dirangkum Redaksi dari berbagai sumber menunjukkan, terdapat sejumlah perusahaan besar maupun kecil yang beroperasi atau diduga memiliki keterkaitan dengan aktivitas ilegal di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo, baik secara langsung maupun melalui rantai pasok. Berikut di antaranya:
PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) โ memiliki konsesi HTI di sekitar TNTN dan membangun koridor jalan yang mempermudah akses ilegal ke dalam kawasan hutan.
PT Hutani Sola Lestari, PT Siak Raya Timber, dan PT Rimba Peranap Indah โ perusahaan konsesi kayu dan HTI yang beroperasi dekat atau bersinggungan dengan TNTN.
PT Inti Indosawit Subur (PT IIS) โ meskipun menyatakan tidak memiliki konsesi langsung di TNTN, sejumlah laporan menyebut adanya hubungan dengan koperasi sawit yang menggarap lahan di zona penyangga.
PT Peputra Supra Jaya dan PT Mitra Unggul Perkasa โ disebut dalam laporan lingkungan sebagai perusahaan sawit aktif di sekitar kawasan TNTN.
PT Citra Riau Sarana โ dalam investigasi โEyes on the Forestโ, perusahaan ini disebut menerima TBS (tandan buah segar) dari kebun ilegal yang berada dalam TNTN.
Grup Wilmar, Asian Agri, dan Musim Mas โ disebutkan memiliki pabrik pengolahan yang sempat menerima pasokan sawit dari wilayah yang tumpang tindih dengan TNTN.
Puluhan koperasi dan kebun rakyat yang terafiliasi dengan program KKPA, namun diduga menjadi dalih legalisasi kebun sawit dalam kawasan konservasi.
Mafia Perambah Berkedok Koperasi
Lebih jauh, investigasi yang dihimpun redaksi mengungkap keberadaan mafia perambah hutan yang menyaru sebagai koperasi tani atau petani plasma. Mereka mengorganisir pendatang dari luar daerah, menawarkan lahan dalam kawasan TNTN dengan dalih โprogram kemitraanโ atau โhibah tanah adatโ.
Modusnya rapi: kepala desa menerbitkan SKG, mafia koperasi menjual lahan, dan hasilnya dipasok ke pabrik-pabrik sawit besar. Bahkan beberapa koperasi yang semula berbasis petani lokal kini dikuasai oleh agen-agen pengusaha besar yang menggunakan nama rakyat sebagai tameng.
Beberapa koperasi yang pernah disebut dalam laporan investigasi WWF dan Eyes on the Forest antara lain:
Koperasi Tani Sejahtera,
Koperasi Bukit Kesuma Maju,
Koperasi Makmur Jaya,
dan beberapa koperasi plasma yang terafiliasi dengan perusahaan besar seperti PT IIS.
Meski berkedok rakyat, koperasi ini nyatanya memiliki jaringan modal dan distribusi yang kuat, dan beroperasi di lahan-lahan negara yang jelas-jelas dilindungi. Sayangnya, pendekatan hukum masih menganggap mereka sebagai pelanggaran administratif biasa, bukan kejahatan lingkungan yang sistemik.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi dari Kejati Riau maupun Satgas PKH terkait hasil pemeriksaan terhadap para kepala desa maupun langkah hukum terhadap perusahaan dan koperasi yang disebut-sebut terlibat. Desakan kepada aparat penegak hukum terus menguat agar jangan hanya menyentuh ranting, tapi juga memangkas akar dari perusakan hutan di jantung Sumatera ini.
Tidak ada komentar