x

Riau Milik Semua Anak Bangsa, Hentikan Politik Identitas

waktu baca 3 menit
Senin, 30 Jun 2025 00:49 3 Editor

Oleh Redaksi

Gubernur Riau Abdul Wahid kembali menegaskan dari slogannya: Riau adalah rumah besar rumpun Melayu. Poster yang beredar di ruang publik dinilai sebagai provokasi dan memecah belah, Sekilas terdengar romantik, bernuansa historis, bahkan membanggakan identitas lokal. Namun jika kita telaah lebih jauh, slogan ini bukan saja cacat secara historis, tapi juga mengandung bibit disintegrasi sosial yang berbahaya. Di tangan seorang pemimpin, ucapan seperti ini bisa berubah dari simbol kebudayaan menjadi alat politik pemecah bangsa.(30/06)

Riau: Bukan Monokultur, Tapi Negeri Multi-etnis Sejak Abad ke-7

Fakta sejarah tak bisa dimanipulasi. Riau, sejak zaman Sriwijaya dan Kesultanan Siak, adalah wilayah lalu lintas perdagangan dan budaya. Ia dibentuk oleh banyak etnis, bukan hanya Melayu. Bugis, Minang, Banjar, Jawa, Tionghoa, Batak, bahkan India dan Arab, semua menjejakkan kaki dan meletakkan batu dalam fondasi peradaban Riau.

Orang-orang ini bukan pendatang musiman, melainkan bagian dari rumah besar yang kini disebut Riau. Mereka membangun ekonomi, agama, pendidikan, hingga budaya setempat. Dan saat Republik Indonesia berdiri, mereka semua tak peduli sukunya menyatakan diri sebagai satu: Bangsa Indonesia.

Slogan yang Menyesatkan dan Berpotensi Memecah Belah

Ketika seorang kepala daerah, yang semestinya jadi pemersatu, malah menyuarakan identitas eksklusif seperti “rumah rumpun Melayu”, maka yang ia lakukan adalah meminggirkan puluhan etnis lain yang sah menjadi bagian dari Riau.

Apa artinya Riau “rumah Melayu”? Apakah suku Jawa, Minang, Batak, Bugis, Sunda, dan lainnya cuma tamu? Pendatang? Penumpang?

Jika benar, maka ini bukan lagi retorika budaya, melainkan proklamasi diskriminasi yang terstruktur.

Dan ketika ucapan ini datang dari mulut seorang Gubernur, maka dampaknya jauh lebih serius:

Mendorong segregasi sosial dan politik identitas, Melegitimasi rasisme kultural di sekolah dan ruang kerja, Menyulut narasi balas dendam antar-etnis, Menabur benih disintegrasi di akar rumput.

Abdul Wahid harus diingatkan bahwa ia bukan Gubernur Melayu, tapi Gubernur seluruh rakyat Riau, tak peduli apa agamanya, sukunya, atau dari mana leluhurnya datang. Ketika ia mengusung slogan yang mempersempit kepemimpinan berdasarkan identitas etnis, maka ia sedang mengkhianati amanat kebhinekaan yang terkandung dalam UUD 1945.

Seorang pemimpin seharusnya menyatukan perbedaan, bukan mengkapitalisasi identitas mayoritas untuk menopang kekuasaan.

Politik Identitas: Jalan Paling Cepat Menuju Konflik

Dari Bosnia hingga Myanmar, dari Ambon hingga Poso, kita belajar bahwa ketika pemerintah daerah mulai mengagungkan satu etnis dan menyingkirkan yang lain, maka yang menyusul adalah:

Diskriminasi administratif, Polarisasi sosial, Kekerasan horizontal, Runtuhnya kepercayaan antar warga.

Apakah kita mau Riau masuk ke jurang itu? Apakah slogan “rumah Melayu” ingin menyeret provinsi ini ke masa kelam isu SARA?

Alih-alih klaim rumah rumpun Melayu, Riau adalah rumah seluruh warga Indonesia yang mencintainya. Mulai dari guru SD dari Batanghari, nelayan dari Kampar, petani dari Kuansing, buruh dari Jawa, perawat dari Nias, hingga mahasiswa dari Papua semua adalah anak negeri, bukan “pendatang”.

Riau yang besar adalah Riau yang merangkul. Riau yang maju adalah Riau yang adil. Dan Riau yang damai adalah Riau yang tidak diklaim sepihak oleh satu etnis

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA
    x
    x