x

SPMB Riau 2025 Kacau: Sistem Tak Terintegrasi, Wali Murid Menjerit, Warga Lokal Tersingkir

waktu baca 4 menit
Senin, 30 Jun 2025 04:59 5 Editor

Mataxpost | PEKANBARU โ€“ Kekacauan dalam pelaksanaan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) tahun 2025 di Provinsi Riau menjadi cermin buram dari janji-janji manis Gubernur Riau, H. Abdul Wahid. Sistem yang seharusnya menjamin akses pendidikan bagi seluruh anak Riau justru memunculkan masalah serius: mulai dari pendaftaran yang tidak terintegrasi, kesulitan mengubah jalur, hingga siswa yang terancam gagal masuk sekolah negeri. (30/06)

Ana, seorang wali murid dari Kampar, mengaku kecewa berat karena anaknya terdaftar melalui jalur mutasi secara tidak sengaja, dan hingga akhir masa pendaftaran, tidak bisa mengubah jalur tersebut.

โ€œKami datangi sekolah, jawabannya tunggu. Sampai hari terakhir tetap tak bisa diubah. Baru diarahkan ke Posko Pengaduan di Dinas Pendidikan, tapi tak ada solusi,โ€ kata Ana di hadapan awak media.

Kejadian serupa dialami Ayu, warga Pekanbaru. Ia mendaftarkan anaknya di SMA Negeri 1 Pekanbaru melalui jalur mutasi. Namun sistem hanya menerima mutasi bagi anak ASN.

โ€œSaya kerja di lembaga negara independen, tapi tak diakui. Negara bentuk lembaga ini, tapi negara juga menutup pintu untuk anak kami,โ€ ujarnya sedih

Kasus serupa juga muncul di Kabupaten Kampar. Dari informasi yang diterima redaksi, pada Senin pagi (30/6), sejumlah orang tua calon siswa SMA Negeri 3 Siak Hulu menyampaikan aspirasi langsung karena anak-anak mereka ditolak oleh sistem, meskipun syarat pendaftaran telah dipenuhi.

Merespons hal ini, Ismail Sarlata aktivis dan tokoh kontrol sosial dan Juga Ketum AMI (Aliansi Media Indonesia) menyampaikan bahwa tanggung jawab penuh ada di tangan Dinas Pendidikan Provinsi Riau.

โ€œSistem mereka yang membuat, juknis pemerintah Riau yang membuatnya bersama Disdik Riau, melalui Pergub tentang Juknis SPMB. Maka diharapkan untuk dapat segera mengumpulkan data penolakan yang terjadi di SMA 3 Siak Hulu,โ€ ujar Ismail dalam komunikasi grup yang diperoleh redaksi.

Ismail juga menyerukan agar elemen masyarakat bergerak.

โ€œOrmas dan wartawan wajib melakukan kontrol sosial dan sosial kontrol untuk terpenuhinya hak anak bangsa,โ€ tegasnya.

Dari pantauan di Posko Pengaduan Dinas Pendidikan, puluhan wali murid datang membawa berkas dan bukti pendaftaran. Namun sebagian besar hanya mendapat jawaban: “tunggu” atau “sistem tidak bisa diubah.” Minimnya koordinasi antara sekolah dan operator pusat memperparah situasi.

Sistem yang seharusnya digital dan modern justru menjadi jebakan birokrasi yang menyulitkan, bukan membantu. Masyarakat awam yang tidak akrab dengan sistem daring justru menjadi korban.

Sementara itu, janji Gubernur Abdul Wahid yang sempat digaungkan dalam 100 hari pemerintahannya, satu per satu mulai dipertanyakan realisasinya. Berikut beberapa komitmen yang kini dinilai gagal:

Janji pendidikan untuk semua anak Riau

โ†’ Fakta: sistem menolak anak-anak dari keluarga non-ASN.

BOSDA dan afirmasi untuk siswa tak tertampung di negeri

โ†’ Tidak ada mekanisme jelas untuk menjangkau mereka yang gagal di SPMB.

Program seragam gratis

โ†’ Tidak berarti jika akses masuk sekolah negeri saja tidak tersedia.

> โ€œLalu, di mana negara yang katanya menjamin pendidikan untuk seluruh anak bangsa? Apakah sistem ini lahir dari kajian yang matang, atau hanya eksperimen yang menjadikan rakyat sebagai kelinci coba?โ€ ujar salah satu orang tua di lokasi pengaduan.

โ€œMengapa Disdik Riau seolah tak belajar dari tahun-tahun sebelumnya, saat PPDB juga sering jadi sorotan? Lalu, di mana keberpihakan pemerintah terhadap rakyat kecil? Dan terakhir, bagaimana dengan janji Gubernur Riau Abdul Wahid yang berkali-kali menegaskan komitmennya bahwa anak-anak Riau tak boleh putus sekolah?โ€ ujar wali murid lainnya.

Ketika publik mempertanyakan janji Gubernur Riau bahwa โ€œtak ada anak Riau yang boleh putus sekolah,โ€ realita di lapangan justru menunjukkan sebaliknya. SPMB yang seharusnya jadi gerbang inklusi malah menjadi pagar penghalang bagi keluarga kurang mampu.

Janji politik bukan sekadar slogan. Ia harus diukur dari seberapa nyata rakyat merasakan manfaatnya. Hari ini, ribuan anak Riau menghadapi ketidakpastian akibat sistem yang buruk dan kebijakan yang diskriminatif.

Jika Dinas Pendidikan Provinsi Riau tidak segera membenahi sistem dan membuktikan keberpihakan pada warga biasa, maka sangat layak jika publik menyebut: “Janji Pendidikan Gubernur Abdul Wahid Telah Gagal Total”.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA
    x
    x