x

6 Hutan Lindung di Riau Tinggal Nama: Alih Fungsi, Perambahan, dan Ketidakpedulian Negara

waktu baca 3 menit
Rabu, 2 Jul 2025 08:14 36 Editor

PEKANBARU – Enam kawasan hutan lindung dan konservasi yang tersebar di Provinsi Riau kini berada di ambang kehancuran. Kawasan-kawasan yang dulunya menjadi benteng terakhir keanekaragaman hayati dan sumber daya ekosistem kini banyak yang telah berubah fungsi, rusak, bahkan dibiarkan tanpa pengawasan berarti. (02/07)

Di atas kertas, kawasan seperti Taman Nasional Tesso Nilo, Suaka Margasatwa Kerumutan, Cagar Biosfer Giam Siak Kecil–Bukit Batu, Hutan Lindung Bukit Batabuh, Bukit Suligi, hingga Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Syarif Hasyim masih tercatat sebagai hutan lindung. Namun realitanya, sebagian besar lahan telah beralih menjadi kebun sawit, konsesi perusahaan HTI, pemukiman ilegal, hingga ladang pembalakan liar.

Taman Nasional Tesso Nilo, yang terletak di Pelalawan dan Indragiri Hulu, merupakan kawasan konservasi ikonik yang menjadi rumah bagi gajah Sumatera dan satwa langka lain. Namun kini, lebih dari separuh dari 83.000 hektare lahan ini telah beralih fungsi menjadi kebun sawit ilegal.

Perambahan terjadi secara terang-terangan, bahkan dilindungi oleh mafia lahan yang kerap disebut melibatkan oknum aparat dan aktor politik lokal serta pihak yang mengaku sebagai Pribumi.

Demikian pula dengan Suaka Margasatwa Kerumutan yang seharusnya menjadi benteng terakhir ekosistem gambut dan habitat harimau Sumatera, juga telah terkoyak oleh aktivitas perkebunan dan perambahan liar.

Cagar Biosfer Giam Siak Kecil–Bukit Batu yang diakui UNESCO pun tidak luput dari ancaman. Kawasan yang terletak di Bengkalis dan Siak ini dikenal memiliki hutan rawa gambut penting sebagai koridor satwa, namun sekarang terdesak oleh ekspansi perusahaan HTI dan alih fungsi yang mengikis peran konservatifnya.

Di wilayah Kuantan Singingi, Hutan Lindung Bukit Batabuh yang menjadi sumber air dan penyangga ekosistem Bukit Barisan mulai rusak akibat pembukaan lahan untuk pertanian dan aktivitas tambang ilegal.

Bukit Suligi di Rokan Hulu pun mengalami nasib serupa. Kawasan yang dulunya dikenal sebagai hutan lindung yang penting untuk daerah hulu sungai kini banyak dikapling untuk perkebunan dan aktivitas manusia tanpa pengawasan yang jelas.

Ironisnya, Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Syarif Hasyim di Kabupaten Siak yang seharusnya menjadi pusat pendidikan konservasi justru menjadi kawasan paling rentan terhadap pembalakan dan aktivitas komersial berkedok wisata.

Pemerintah daerah maupun pusat hingga kini belum menunjukkan langkah konkret untuk menyelamatkan kawasan-kawasan tersebut. Data terbaru menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan ini sudah kehilangan fungsi ekologisnya dan hanya tersisa status administratif belaka dan fakta hutan riau telah musnah.

Lalu di mana suara kelompok yang menamakan dirinya aktivis lingkungan? Dimana mereka yang dulu tak pernah turun ke jalan membawa poster “Save Tesso Nilo” dan meneriakkan ancaman krisis ekologis dalam kampanye akbar?

Realita hari ini bukan lagi sekadar alarm darurat ini adalah kenyataan pahit bahwa sebagian besar hutan di Riau telah habis dibabat dan digantikan dengan bentang luas kebun sawit milik korporasi besar. Ini bukan lagi soal aksi tandingan atau klaim aktivisme musiman, tapi soal konsistensi menyuarakan kehancuran yang terjadi tepat di depan mata.

Keheningan kelompok sipil yang vokal musiman patut dipertanyakan, serta diamnya oknum yang mendapat gelar aktivis lingkungan apakah mereka juga telah dilumpuhkan oleh pragmatisme atau mulai merasa tak berdaya di hadapan kuasa uang dan kekuasaan? Jika semua diam, maka jangan salahkan ketika anak cucu kita hanya mengenal gajah dan harimau dari cerita dongeng.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA
    x
    x