x

Antara Tanjak, Tepung Tawar, dan SPPD Fiktif DPRD Riau, Skandal yang Terlupakan

waktu baca 4 menit
Sabtu, 12 Jul 2025 21:59 5 Editor

PEKANBARU – Di tengah riuh penghormatan budaya dalam kunjungan kerja Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, ke Pekanbaru pada Sabtu (12/7), satu isu krusial justru luput dari sorotan: mandeknya penanganan kasus dugaan korupsi Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif di DPRD Riau dan sejumlah daerah di Provinsi Riau.

 

Kasus yang sempat menghebohkan publik ini sebelumnya dikabarkan telah ditarik ke Mabes Polri karena menyangkut pejabat aktif yang kini menjabat kepala daerah, dan sejak diambil alih tak ada perkembangan yang diungkap secara terbuka. Tak ada informasi, tak ada klarifikasi. Semuanya senyap.

 

Investigasi tim media ini menemukan bahwa dugaan korupsi SPPD fiktif melibatkan praktik pemalsuan dokumen perjalanan dinas, manipulasi laporan pertanggungjawaban, hingga pencairan anggaran yang tidak pernah digunakan untuk keperluan resmi. Nilai kerugian negara dari praktik ini diperkirakan mencapai Rp195,9 miliar.

 

Seorang sumber internal kepolisian yang enggan disebutkan namanya menyatakan bahwa berkas kasus ini sempat mencapai tahap penyidikan dengan bukti-bukti awal yang kuat, termasuk dokumen perjalanan dan keterangan saksi. Namun, setelah dilimpahkan dari Polda Riau ke Bareskrim Mabes Polri, penanganan kasus seperti menguap.

 

โ€œBerkasnya memang ditarik ke Jakarta. Ada pejabat aktif yang masuk dalam daftar pemeriksaan. Tapi sampai sekarang, kami di daerah tidak tahu apakah masih diproses atau sudah “diam”,โ€ ungkap sumber tersebut.

 

Beberapa dokumen yang diperoleh media ini menunjukkan indikasi bahwa sejumlah perjalanan dinas yang dilaporkan tidak pernah terjadi. Bahkan ditemukan satu kasus di mana seorang pejabat tercatat melakukan perjalanan ke dua kota berbeda pada waktu yang sama.

 

Ironisnya, dalam momen kunjungan Kapolri ke Pekanbaru yang seharusnya menjadi peluang publik untuk menuntut transparansi nyaris tak ada satu pun media yang menyinggung atau mengonfirmasi kasus tersebut. Hampir seluruh pemberitaan hanya menyoroti prosesi adat yang berlangsung khidmat di Balai LAM Riau: pemasangan tanjak, penyerahan keris, hingga tepung tawar yang sarat simbol.

 

Seorang jurnalis senior di Pekanbaru, yang juga meminta identitasnya disembunyikan, mengungkapkan bahwa akses untuk meliput kegiatan Kapolri sangat dibatasi.

 

โ€œTak ada sesi tanya jawab. Tak ada konferensi pers. Bahkan sebagian media hanya menerima rilis resmi dari protokol acara,โ€ keluhnya.
โ€œPadahal ini momen penting. Tapi tidak ada ruang untuk mengonfirmasi isu-isu strategis, seperti skandal SPPD fiktif atau lemahnya penegakan hukum di Riau.โ€

 

Minimnya suara kritis dari media lokal memunculkan pertanyaan besar: ke mana independensi pers saat berhadapan dengan simbol kekuasaan?

Publik tengah menanti transparansi dan ketegasan aparat penegak hukum, terutama terhadap dugaan korupsi yang melibatkan pejabat aktif. Tetapi ketika media ikut bungkam, masyarakat kehilangan saluran untuk bertanya.

 

Sampai berita ini diturunkan, tak ada keterangan resmi dari Mabes Polri terkait perkembangan kasus SPPD fiktif di Riau. Humas Polri yang dihubungi media ini hanya memberikan jawaban normatif:

โ€œProses masih berjalan.โ€

 

Namun publik bertanya:
“Proses ke mana? Keadilan untuk siapa”?

 

Di Mana Mahasiswa?

Kebungkaman media bukan satu-satunya hal yang mencemaskan. Ketiadaan suara kritis dari mahasiswaโ€”yang dahulu menjadi motor perubahan dan pengguling kekuasaan otoriterโ€”kini menjadi pertanyaan menyakitkan.

 

Dulu, mahasiswa mengguncang Orde Baru.
Kini, di hadapan skandal korupsi yang mencederai masa depan daerah mereka sendiri, banyak yang justru memilih diam.

 

Apakah mereka tidak melihat jeritan korban mafia tanah?
Apakah mereka tidak mendengar bagaimana ratusan miliar uang rakyat digerogoti oleh oknum DPRD dan pejabat provinsi?
Apakah mereka tak menyaksikan skandal politik dan korupsi yang melingkupi Pj Wali Kota Pekanbaru Risnandar Mahiwa?
Apakah mereka buta terhadap kenyataan bahwa hampir seluruh kepala OPD Pemkot Pekanbaru diduga terlibat dalam penyalahgunaan anggaran?

 

Jika mahasiswa hari ini masih memilih diam, maka sejarah akan mencatat: mereka bukan lagi agen perubahan, melainkan saksi bisu kehancuran.
Dan jika tidak ingin dicatat sebagai generasi pewaris mentalitas koruptor, mahasiswa Riau harus bersuara.

 

Riau tidak baik-baik saja. Negeri ini tidak baik-baik saja.
Dan diam adalah pengkhianatan terhadap rakyat dan masa depan.

 

“Salam akal sehat.” โ€” ujar seorang mahasiswa Universitas Riau dengan getir.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA
    x
    x