PEKANBARU – Sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) atau Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) jenjang SMA/SMK di Provinsi Riau tahun ajaran 2025 kini berubah menjadi skandal pendidikan. Ribuan siswa tidak tertampung di sekolah negeri, sistem digital yang dirancang justru tertutup, dan janji transparansi berubah jadi ilusi. Namun lebih menyakitkan lagi, di tengah kritik dan amarah publik, organisasi profesi guru justru menyatakan semuanya telah berjalan sesuai amanah Presiden Prabowo Subianto. (03/07)
Pernyataan Ketua PGRI Riau, Prof. Adolf Bastian, yang menyebut SPMB telah berjalan “lancar, transparan, dan berbasis digital”, disampaikan bersamaan dengan pujian terhadap Dinas Pendidikan dan panitia pelaksana. Ia bahkan mengklaim bahwa seluruh proses ini sejalan dengan arahan Presiden untuk membersihkan sistem pendidikan dari intervensi dan prosedur lama. Padahal, fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya.
Sistem digital SPMB 2025 di Riau tidak bisa diakses publik. Statistik pendaftaran, kuota sekolah, daftar siswa lolos, grafik seleksi, semua dikunci dan hanya bisa dibuka melalui akun pribadi siswa. Tidak ada dashboard umum, tidak ada keterbukaan informasi, tidak ada pengawasan independen.
Bahkan wartawan dan mungkin lembaga pengawas tidak bisa melakukan verifikasi silang karena semua jalur tertutup rapat, bukan hanya sistem yang tertutup tepatnya adalah sistem yang disembunyikan.
Namun PGRI Riau justru memilih berdiri di sisi yang membela. Tidak ada sikap kritis, tidak ada pembelaan terhadap hak anak-anak untuk mendapatkan pendidikan secara adil dan terbuka. Alih-alih bersuara lantang, mereka menjadi corong narasi Dinas Pendidikan. Banyak yang menilai, inilah bentuk nyata dari kolaborasi diam-diam antara birokrasi dan profesi, yang mengkhianati semangat pendidikan itu sendiri.
> “Ketika para pengajar yang bergelar Profesor berdiri di atas kebohongan, mau jadi apa negeri ini?” ujar Ade Monchai dari Koalisi Peduli Pendidikan Rakyat Riau, Kamis (3/7). “Lebih parahnya, bukan sekadar bohong pada hati nurani, ini adalah kebohongan yang disusun untuk memanipulasi negara. Mengatasnamakan amanah Presiden, padahal di lapangan rakyat dikubur oleh sistem yang tidak adil.”
Menurut Ade, pernyataan Prof. Adolf yang menyebut semua sudah sesuai arahan Presiden Prabowo adalah bentuk manipulasi terang-terangan. Presiden menjanjikan pendidikan gratis, transparan, dan berpihak kepada rakyat kecil. Di Riau, sistem justru mengkhianati semua itu. Maka yang terjadi bukan sekadar pembohongan publik, tetapi juga pembusukan terhadap nilai dan kehendak politik nasional.
contoh tangkapan layar SPMB Riau 2025
Dinas Pendidikan Riau sebelumnya menjanjikan solusi lewat jalur afirmasi. Total 3.150 kuota disebut tersedia di sekolah swasta bagi siswa kurang mampu yang gagal masuk sekolah negeri. Namun data resmi menyebut hanya sekitar 2.438 kuota yang benar-benar bisa dimanfaatkan, tersebar di 50 sekolah (13 SMA dan 37 SMK).
Bahkan Plt Kadisdik Riau Erisman Yahya pernah menyebut hanya tersedia 2.000 kuota dan itu hanya untuk Kota Pekanbaru. Artinya, ribuan siswa lainnya lebih dari 25.000 anak masih belum tertampung dan tidak tahu harus bersekolah di mana.
Data yang diterima redaksi dari berbagai sumber menyebutkan:
Jumlah lulusan SMP/sederajat di Provinsi Riau tahun 2025: Sekitar 108.000 siswa
Total daya tampung SMA/SMK Negeri di Riau: Sekitar 82.600 kursi
Daya tampung sekolah negeri yang berhasil diisi dalam sistem SPMB: Sekitar 76,5%
Artinya, lebih dari 25% lulusan SMP atau sekitar 27.000 siswa tidak tertampung di sekolah negeri
Fakta investigasi menyebut:
-Total sekolah swasta yang ikut serta dalam program afirmasi: Hanya 50 sekolah (13 SMA dan 37 SMK)
J-umlah kuota afirmasi aktif dan bisa dimanfaatkan: Sekitar 2.438 kursi
Bahkan Plt Kadisdik Riau, Erisman Yahya, sempat menyatakan: “Untuk tahun lalu itu kuotanya sebanyak 2000 siswa, untuk tahun ini tidak jauh berbeda. Untuk sekolah swasta yang sudah MoU mayoritas ada di Kota Pekanbaru. Karena pendaftaran yang cukup ketat inikan memang ada di Pekanbaru,” tuturnya
Apakah mereka harus masuk sekolah swasta dengan biaya sendiri? Bagaimana dengan yang tak mampu? Artinya, negara gagal hadir. Dinas Pendidikan gagal memetakan lulusan SMP se-Riau, gagal mengantisipasi lonjakan pendaftar, gagal menyediakan kursi yang cukup, dan lebih fatal lagi: gagal adil dan gagal jujur.
Kini desakan publik bukan hanya untuk membuka seluruh data seleksi secara transparan dan forensik, tetapi juga untuk mencopot Erisman Yahya dari jabatan Plt Kadisdik, Sekdis Arden Simeru dan mengusut keterlibatan panitia serta pengembang sistem digital. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Tinggi Riau diminta turun tangan. Ada dugaan kuat permainan kuota, suap masuk sekolah, dan manipulasi sistem yang tidak mungkin terjadi tanpa keterlibatan birokrasi tingkat atas.
Di tengah semua ini, peran PGRI dinilai telah melenceng jauh. Sebuah organisasi profesi Guru yang seharusnya menjadi penjaga moral pendidikan, kini justru dianggap menjadi bagian dari sistem pembenaran atas ketidakadilan. Banyak yang bertanya: apakah para pengurus PGRI masih memiliki keberanian untuk berkata jujur? Atau mereka sudah terlalu nyaman berada di lingkaran kekuasaan?
Jika seorang profesor pendidikan memilih berdiri di atas kebohongan, lalu untuk apa gelar akademik itu? Jika organisasi guru lebih sibuk menyelamatkan citra birokrasi daripada membela anak-anak miskin yang tak bisa sekolah, maka hancurlah makna guru sebagai pelita bangsa.
Rakyat sedang menyaksikan. Dan sejarah tidak akan lupa: ketika ribuan anak menangis di depan pagar sekolah, yang diselamatkan justru bukan mereka tetapi wajah institusi yang seharusnya melayani anak bangsa.
Tidak ada komentar