Mataxpost | Pekanbaru, Riau β Skandal korupsi di Provinsi Riau telah memasuki fase sangat berbahaya. Dari pucuk pimpinan di Pemprov, jajaran DPRD, hingga para kepala daerah kabupaten/kota, jeratan tindak pidana korupsi nyaris menjadi pola yang berulang. Tiga orang Gubernur Riau berturut-turut telah dipenjara karena kasus korupsi: Saleh Djasit, Rusli Zainal, dan Annas Maamun. Masing-masing dijatuhi hukuman akibat merugikan negara hingga puluhan bahkan ratusan miliar rupiah. Kondisi ini menjadikan Riau sebagai salah satu provinsi dengan indeks korupsi kepala daerah tertinggi secara nasional. (28/07)
Di tingkat kabupaten/kota, daftar kepala daerah yang pernah dicokok penegak hukum pun semakin panjang. Di antaranya dari Kabupaten Kuantan Singingi, Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, Kampar, Pelalawan, Bengkalis, Rokan Hulu, Rokan Hilir, Kepulauan Meranti, serta Kota Dumai. Nyaris seluruh wilayah administratif Riau tercoreng oleh ulah pejabatnya sendiri.
Namun di tengah gelombang penangkapan dan vonis terhadap kepala daerah, satu nama justru bertahan seolah tak tersentuh hukum: SF Hariyanto. Sosok ini adalah birokrat senior yang kini menjabat sebagai Wakil Gubernur Riau, setelah sebelumnya malang melintang di berbagai posisi strategis seperti Pj Gubernur, Sekdaprov, Kadis PU dan Kadispenda.
Nama SF Hariyanto telah berkali-kali dilaporkan ke Polda Riau, Kejati Riau, hingga ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tetapi belum sekali pun ia ditetapkan sebagai tersangka, meski disebut-sebut dalam banyak kasus korupsi besar di Riau.
SF Hariyanto diduga terlibat dalam proyek pengadaan pipa PDAM Tembilahan tahun 2013 saat menjabat Kadis PU Riau. Kasus ini menyebabkan kerugian negara Rp2,6 miliar. Ironisnya, yang dijadikan tersangka justru Muhammad, mantan Kabid Cipta Karya Dinas PU, yang kini divonis 6,5 tahun penjara. Dalam perkara lain, saat menjabat Kadispenda Riau 2015-2016, SF Hariyanto disebut dalam kesaksian terpidana Deyu sebagai penerima dana Rp350 juta. Namun lagi-lagi hanya bawahannya yang dijadikan tumbal.
Nama SF Hariyanto juga mencuat dalam kasus korupsi proyek PON Riau, yang menjatuhkan Gubernur Rusli Zainal ke penjara. Dalam persidangan, ia sempat dibentak oleh hakim karena memberi keterangan yang dinilai tidak jujur. Hakim bahkan mengancam akan memvonisnya lima tahun jika terbukti memberi kesaksian palsu.
Kasus lain yang menyeret namanya adalah kegagalan konstruksi Jembatan Siak III. Meski dua ahli menyatakan bahwa jembatan itu gagal struktur, tak ada konsekuensi hukum terhadap SF Hariyanto selaku Kepala Dinas PU kala itu. LSM Indonesia Monitoring Development menyatakan telah terjadi potensi kerugian negara dalam proyek tersebut, dan mendesak pertanggungjawaban hukum.
Pada tahun 2023, istri SF Hariyanto sempat menjadi sorotan publik karena gaya hidup mewah dan kebiasaan pamer kekayaan di media sosial. SF Hariyanto pun dipanggil KPK sebanyak dua kali untuk menjelaskan asal-usul kekayaannya.
Dugaan lainnya mencakup korupsi di dua bidang kerja Dispenda Riau: Pengolahan Data serta Pembukuan dan Pengawasan. Lalu kasus Dispenda tahun 2015-2016 dengan pola korupsi uang pengganti (UP), ganti uang (GU), dan perjalanan dinas. Lagi-lagi, hanya anak buahnya yang dijerat hukum.
Pada 2022, mencuat dugaan korupsi βraksasaβ di Dinas PUPR Riau, terkait kegiatan normalisasi dan restorasi sungai serta rekonstruksi banjir senilai Rp15 miliar. Tahun berikutnya, muncul dugaan penyimpangan dalam dana earmark APBD Riau 2023 senilai Rp404 miliar. Selain itu, dana embarkasi haji tahun 2021-2022 juga dilaporkan beraroma korupsi dengan potensi kerugian hampir Rp29 miliar. Kedua kasus ini telah dilaporkan ke Kejaksaan Agung oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil.
Yang terbaru viral ke publik ialah isu defisit APBD Riau yang berjumlah triliunan rupiah, yang juga menyeret nama SF haryanto terkait posisinya sebagai Sekdaprov dan sebagai Ketua TPAD.
Seluruh dugaan tersebut berpotensi melanggar sejumlah pasal dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 2 dan Pasal 3 yang mengatur tentang penyalahgunaan kewenangan dan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang merugikan keuangan negara. Ancaman hukuman atas pasal ini maksimal penjara seumur hidup dan denda hingga Rp1 miliar. Selain itu, jika terbukti memberi keterangan palsu di pengadilan, pelanggaran Pasal 22 ayat (1) UU Tipikor juga dapat dikenakan, termasuk Pasal 242 KUHP terkait sumpah palsu di bawah ancaman 7 tahun penjara.
Sebagian Masyarakat Riau, bersama berbagai lembaga antikorupsi saat ini mendesak agar tidak ada lagi praktik tebang pilih dalam penegakan hukum. Jika memang cukup alat bukti dan keterangan yang konsisten dalam berbagai laporan maupun persidangan, maka SF Hariyanto harus diproses sebagaimana mestinya, tanpa pandang jabatan maupun kekuasaan. Penegak hukum tak boleh lagi terlihat ragu menghadapi aktor kelas kakap, sementara hanya berani menangkap koruptor kelas teri.
Publik Riau dan Indonesia kini menunggu: apakah Kejaksaan Agung, KPK, dan lembaga penegak hukum lain berani mengungkap semuanya? Ataukah kebenaran kembali dikalahkan oleh kekuasaan? Jika benar SF haryanto tidak terlibat dalam dugaan kasus korupsi yang telah dilaporkan tersebut, hendaknya negara harus segera membersihkan namanya dari semua dugaan negatif terhadap dirinya. Agar opini publik tidak berkembang menjadi lebih luar.
Pihak SF Hariyanto belum memberikan klarifikasi ataupun membantah secara terbuka atas deretan dugaan yang telah dilaporkan ke penegak hukum. Mataxpost membuka ruang hak jawab bagi SF haryanto yang saat ini menjabat sebagai wakil gubernur Riau periode 2025-2030.
Keadilan tidak boleh tunduk pada jabatan. Sudah saatnya hukum ditegakkan tanpa takut, tanpa tebang pilih, demi kebenaran dan harapan publik atas keadilan yang sesungguhnya.
Eksplorasi konten lain dari ππππ π-π©π¨π¬π
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.