x

Mafia Tambak Udang Bengkalis Merajalela, Jaksa Baru Ditantang Bongkar Jaringan Perampok Negara

waktu baca 6 menit
Sabtu, 5 Jul 2025 08:42 41 Editor

PEKANBARU โ€” Ucapan selamat datang dan selamat bertugas disampaikan oleh berbagai kalangan kepada dua figur baru ini. Namun di saat bersamaan, publik juga menaruh ekspektasi besar. Sudah waktunya Kejari Bengkalis dan Aspidsus Kejati Riau yang baru menunjukkan taringnya. Jangan hanya sekadar hadir secara administratifโ€”tetapi hadir sebagai penegak hukum yang berani menindak mafia tambak dan jaringannya, tanpa pandang bulu. (05/07)

Masyarakat sipil, aktivis lingkungan, dan jaringan pemuda Riau mendesak dua pejabat baru kejaksaan untuk tidak menutup mata terhadap skandal tambak udang ilegal di Kabupaten Bengkalis. Desakan itu muncul seiring pelantikan nantinya Nadda Lubis sebagai Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Bengkalis dan Marlambson Carel Williams sebagai Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Riau. Harapan besar dititipkan kepada mereka agar segera membuka penyelidikan menyeluruh terhadap aktivitas tambak udang yang bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga merobek martabat negara.

Kasus tambak udang di Bengkalis yang sudah naik tahap penyidikan di Kejari Bengkalis bukan sekadar soal izin atau pencemaran lingkungan. Ini adalah pembiaran sistemik oleh pemerintah daerah yang berlangsung bertahun-tahun. Hampir seluruh unit tambak dikuasai oleh warga negara asing, terutama dari Malaysia dan Singapura, yang bekerja sama dengan warga keturunan Tionghoa lokal. Modusnya bervariasi, mulai dari penguasaan lahan tanpa izin, ekspor ilegal hasil tambak, hingga pengrusakan kawasan hutan mangrove dalam skala besar puluhan ribu hektar, negara dirampok di depan mata, sementara pejabat daerah justru bungkam seolah tidak mengetahui apapun. Dugaan kuat pun bermunculan bahwa pembiaran ini terjadi karena adanya aliran suap dan upeti ke lingkaran kekuasaan. Informasi yang dihimpun redaksi mengindikasikan bahwa pejabat aktif di Bengkalis ikut menikmati hasil tambak tersebut, baik secara langsung maupun melalui perantara.

Investigasi lapangan mengungkap bahwa Kecamatan Bantan tercatat memiliki lebih dari 30 unit tambak, sebagian besar beroperasi tanpa izin lingkungan. Kecamatan Bengkalis sendiri mencatat 19 tambak aktif dengan status hukum yang kabur. Di wilayah Rupat dan Rupat Utara, aktivitas tambak tidak hanya tanpa izin, tetapi juga menjebol kawasan hutan lindung. Di Desa Teluk Rhu, Kadur, dan Ketapang tiga titik kritis di Rupat Utara, tambak dibangun langsung di kawasan hutan mangrove tanpa proses pelepasan kawasan dari negara. Nama-nama seperti Ayong, Atong, dan Thomas Tong disebut-sebut sebagai penguasa tambak di wilayah tersebut. Sementara di Desa Buruk Bakul, seorang pengusaha bernama Jhon Effendi menguasai 40 tambak udang di lahan sekitar 16 hektare yang diduga berada di kawasan konservasi pesisir.

Pemetaan lebih luas menemukan bahwa Desa Tameran, Sungai Berang, Panglima Minal, Penebal, Pematang Duku, Kembung Luar, dan Teluk Pambang termasuk dalam zona merah perusakan mangrove. Lahan-lahan negara dialihfungsikan secara ilegal oleh jaringan pemodal dengan dalih pembangunan ekonomi, padahal faktanya terjadi eksploitasi brutal tanpa kontribusi terhadap kas negara. Tak ada NPWP, tak ada SIUP, tak ada laporan produksi. Hasil tambak dijual ke luar negeri melalui jalur tidak resmi, menciptakan kerugian negara yang sangat besar. Jika dihitung dari potensi pajak dan retribusi yang hilang, negara bisa kehilangan ratusan miliar setiap tahun.

Aktivitas ini bukan sekadar melanggar undang-undang lingkungan hidup dan perikanan, tetapi juga mencerminkan bagaimana kekuasaan digunakan untuk melindungi kejahatan sumber daya alam. Aparat daerah tidak bergerak, bahkan terkesan terlibat. Beberapa nama pejabat disebut sebagai pemilik tambak secara diam-diam. Bahkan camat dan kepala desa di beberapa wilayah diduga mendapat jatah tetap dari para pengusaha tambak, baik dalam bentuk uang maupun hasil panen.

Kebungkaman pemerintah daerah terhadap kerusakan ini menunjukkan adanya kompromi kekuasaan. Padahal, undang-undang sangat jelas: pengelolaan tambak di kawasan mangrove tanpa izin adalah tindak pidana lingkungan. Alih fungsi hutan lindung menjadi tambak merupakan kejahatan yang berdampak sistemik, mulai dari rusaknya habitat laut hingga hilangnya mata pencaharian ribuan nelayan lokal. Dampaknya nyata. Ribuan nelayan tradisional di Bengkalis kehilangan hasil tangkapan karena ekosistem dasar laut rusak parah. Banyak dari mereka terpaksa beralih menjadi buruh tambak dengan upah rendah di tanah mereka sendiri, atau berpindah profesi karena laut tak lagi bisa diandalkan.

โ€œKami sudah lama teriak. Tapi tak ada yang dengar. Kalau kami protes, malah diancam. Kami tahu siapa saja yang main di balik tambak itu,โ€ ujar seorang nelayan di Kecamatan Bantan yang enggan disebutkan namanya karena alasan keselamatan.

Aktivis lingkungan dari Jaringan Pantau Pesisir Riau, Rahman, menegaskan bahwa kasus ini bukan hanya soal korupsi dan pembiaran, tetapi sudah menyentuh ranah kedaulatan negara.

โ€œIni bukan hanya persoalan korupsi dan pembiaran. Ini persoalan penghancuran kedaulatan negara secara diam-diam. Bagaimana mungkin pejabat daerah membiarkan tambak ilegal dikuasai asing? Bahkan sebagian ikut terlibat?โ€pungkasnya

Desakan pun menguat agar Kejaksaan Negeri Bengkalis dan Kejaksaan Tinggi Riau segera memeriksa para pejabat Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kabupaten Bengkalis, serta pejabat vertikal dari LHK Provinsi Riau dan Kementerian LHK (KLHK) yang selama ini diduga melakukan pembiaran. Ketertutupan mereka terhadap fakta-fakta kerusakan lingkungan dan minimnya tindakan hukum menjadi indikator kuat bahwa mereka bisa jadi merupakan bagian dari jaringan perlindungan terhadap praktik ilegal tersebut.

Ade Monchai, Koordinator SATU GARIS ( Suara Aspirasi Terdepan Untuk Gerakan Anti Korupsi, Reformasi, Integitras, dan Supremasi Hukum), juga menyampaikan bahwa skandal ini tak boleh ditangani setengah hati.

โ€œIni sudah menjadi penyakit sistemik yang menjalar dari level desa hingga ke pusat kekuasaan daerah. Kalau kejaksaan tidak segera bertindak tegas, maka rakyat akan semakin kehilangan kepercayaan terhadap negara. Ini bukan hanya soal tambak, ini soal keberpihakan pada keadilan dan kedaulatan,โ€ ujarnya.

Lebih jauh lagi, publik juga menuntut agar Kejaksaan segera menelisik harta kekayaan Bupati Bengkalis Kasmarni dan Wakil Bupati Bagus Santoso. Gaya hidup dan kepemilikan aset keduanya mulai menjadi sorotan karena dianggap tak sejalan dengan profil penghasilan pejabat publik. Dugaan bahwa aliran dana tambak ilegal mengalir hingga ke pucuk pemerintahan daerah tak bisa diabaikan. Pemeriksaan LHKPN secara forensik serta pelacakan transaksi keuangan melalui PPATK dinilai menjadi langkah mendesak untuk membuka tabir kolusi antara pengusaha tambak dan pejabat daerah.

Sejumlah undang-undang berpotensi dilanggar dalam skandal tambak udang ilegal di Bengkalis. Di antaranya: UU Lingkungan Hidup (UU 32/2009) tentang usaha tanpa izin dan perusakan mangrove dengan ancaman pidana hingga 10 tahun dan denda Rp10 miliar; UU Kehutanan (UU 41/1999) terkait aktivitas tanpa izin di kawasan hutan dengan ancaman 10 tahun penjara; UU Pesisir (UU 27/2007 jo. UU 1/2014) soal perusakan ekosistem pesisir; UU Tipikor (UU 31/1999) untuk dugaan suap dan penyalahgunaan jabatan; serta UU TPPU (UU 8/2010) jika terbukti ada penyamaran dana hasil kejahatan dari tambak ilegal.

Kini, publik menagih komitmen penegak hukum. Nadda Lubis dan Carel Williams memiliki tanggung jawab moral dan institusional untuk membuktikan bahwa hukum masih bisa berdiri di atas semua golongan. Publik mendesak agar kejaksaan segera membentuk tim investigasi lintas sektor yang melibatkan KLHK, KKP, dan PPATK. Seluruh tambak ilegal harus disegel, pelaku utama dan bekingnya diperiksa, serta seluruh aliran uangnya ditelusuri hingga ke akar.

Jika pembiaran ini terus berlangsung, Bengkalis akan menjadi contoh kelam bagaimana negara bisa dipermainkan oleh modal asing dan kolusi pejabat lokal. Ini bukan hanya soal lingkungan yang rusak, tapi soal kehormatan dan wibawa negara yang dirusak secara terang-terangan. Skandal tambak ini harus menjadi pintu masuk untuk membersihkan sektor perikanan dan kehutanan dari praktik mafia. Sebab membiarkan ini terus berjalan sama artinya dengan membiarkan negara dirampok secara terbuka.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA
    x
    x