Pekanbaru, 4 Juli 2025 – Penolakan gelar kehormatan oleh Wakil Gubernur Riau (Wagubri) SF Hariyanto dari Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) menuai kontroversi. Ketua Majelis Kerapatan Adat LAMR, Datuk Seri H. Raja Marjohan Yusuf, menganggap sikap tersebut sebagai penghinaan terhadap adat. Namun banyak tokoh adat dari luar Riau justru menilai penolakan itu sebagai bentuk penghormatan kepada marwah adat, bukan pelecehan.
Ade Monchai, Ketua Bidang Adat dan Budaya Alam Minangkabau dari Gerakan Pemuda Minangkabau (GPM) di Ikatan Keluarga Minang (IKM) , yang bergelar Datuk Nan Sati dari suku Jambak Kenagarian Solok, Sumatera Barat, pemuda yang lahir di pekanbaru ini, menegaskan bahwa gelar adat dalam budaya Minangkabau bukanlah hadiah kekuasaan, melainkan warisan suku yang dijaga melalui keteladanan. Ia menolak pemahaman gelar sebagai bentuk penghormatan terhadap pejabat hanya karena jabatan.
โGelar kehormatan bukanlah hadiah kekuasaan. Dalam tradisi Minangkabau yang juga bagian dari rumpun Melayu Tua, gelar Datuk adalah pusaka suku, bukan simbol politik. Pemberian gelar yang tak berakar pada keturunan dan kontribusi adat justru akan membawa celaka, baik bagi penerima maupun pemberinya,โ tegasnya.
Ade bahkan menyebut sejumlah contoh yang menurutnya menjadi peringatan alam terhadap praktik penyimpangan adat. Ia menyinggung musibah Istano Basa Pagaruyung yang terbakar setelah Presiden SBY menerima gelar adat, serta kasus Kapolda Sumbar yang setelah diberi gelar, kemudian tersandung kasus narkoba dan dijatuhi hukuman mati. โIni bukan kebetulan. Alam pun murka jika adat dijual,โ ujarnya.
Pernyataan senada datang dari Kesultanan Deli di Sumatera Utara. Tuanku Raja Muda Deli, Tengku Hamdy Osman Delikhan, menyatakan bahwa gelar adat adalah pusaka kehormatan yang tidak bisa dibeli dan tidak layak diberikan kepada siapa pun hanya karena sedang duduk di tampuk kekuasaan. โGelar dalam adat Melayu Deli adalah pusaka kehormatan, bukan untuk dibeli dan bukan untuk siapa yang sedang berkuasa. Hanya mereka yang punya akar dan amal yang pantas menyandangnya,โ katanya dalam sebuah pidato kebudayaan.
Almarhum Tengku Luckman Sinar, budayawan besar Melayu Deli, juga pernah mengingatkan bahwa pemberian gelar bukan sekadar menyematkan nama kehormatan, melainkan sumpah adat. โJika gelar itu diberikan pada yang tidak tahu malu, maka marwah adat ikut jatuh,โ tulisnya dalam catatan adat.
Dari Ranah Minang, tokoh adat sekaligus sejarawan Prof. Mestika Zed menyatakan bahwa gelar adat Minangkabau merupakan amanah suku kepada tokoh yang telah hidup dan berbuat dalam jalur adat. โTidak bisa diberikan sembarangan, apalagi hanya karena jabatan atau popularitas,โ ujarnya.
Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat, Datuk Rajo Basa, bahkan menolak secara prinsip pemberian gelar kepada siapa pun yang tidak berasal dari suku Minangkabau. โKami tidak pernah memberikan gelar datuk kepada pejabat yang tidak berasal dari suku Minang. Kalau dipaksakan, maka itu keluar dari adat yang telah kami junjung ratusan tahun,โ tegasnya.
Dengan berbagai pandangan tersebut, penolakan gelar oleh SF Hariyanto bukanlah bentuk penghinaan, melainkan sikap kehati-hatian agar adat tidak disalahgunakan. Ia tidak menolak Melayu, justru ingin menjaga adat Melayu agar tidak ternoda oleh simbol kosong.
LAM Riau sebagai lembaga tertinggi adat di provinsi ini seharusnya menjadi penjaga pagar kehormatan, bukan justru bertindak reaktif ketika sebuah pinangan adat ditolak. Budaya Melayu mengajarkan keseimbangan, timbang rasa, dan penghormatan terhadap marwah. Dalam adat Minangkabau ada petuah: โBajalan ka nan luruih, batanyo ka nan tuo, bakato ka nan pandai ( Berjalan dengan lurus, bertanya kepada yang tua, berkata bagi yang paham adat).
โ Sementara Tunjuk Ajar Melayu Riau mengingatkan: โAdat bukan untuk disanjung, tapi untuk dijunjung. Yang menjunjung harus paham timbang rasa, bukan sekadar duduk bersongkok, tapi lemah dalam menjaga martabat pusaka.โ
Bahkan LAM Riau yang kini dipimpin oleh Datuk Seri H. Raja Marjohan Yusuf dan Datuk Seri H. Taufik Ikram Jamil pernah diingatkan Hj. Azlaini Agus yang menyatakan agar LAM Riau tidak menjadi โsokong yang membawa rebah, tidak mengulangi penyimpangan masa lalu, seperti yang terjadi pada masa kepemimpinan Syahril Abu Bakar, yang dinilai terlalu politis dalam memaknai adat, peringatan ini keluar saat LAM Riau akan memberikan Gelar kepada Ganjar Pranowo.
Sesuai Pasal 29 Ayat 1 Anggaran Rumah Tangga LAM Riau, gelar kehormatan adat hanya dapat diberikan kepada tokoh perorangan yang โberjasa dalam meningkatkan harkat, martabat, dan pelestarian adat budaya Melayu Riau.โ Maka sudah sepatutnya gelar datang setelah pengabdian, bukan karena jabatan.
Jika penolakan gelar dianggap sebagai penolakan terhadap Melayu, maka logika adat menjadi terbalik. Justru dengan menolak gelar yang belum pada tempatnya, marwah adat diselamatkan dari komodifikasi. Sebab jika adat dijadikan alat kekuasaan, yang rusak bukan hanya struktur budaya, tetapi juga warisan anak cucu.
Sebagai penutup, biarlah pantun adat Melayu Riau dan Deli yang berbicara:
Kalau adat jadi permainan, Lenyaplah makna pusaka bangsa. Datuk bukan asal gelar, Datuk itu amanah suku. Jangan karena kursi besar, Adat dijual ke para tamu.
Catatan: Tulisan ini adalah bagian dari upaya merawat tradisi dan menyuarakan kehormatan adat Melayu agar tidak larut dalam godaan politik dan simbolisme kekuasaan
Tidak ada komentar