Dikutip dari berbagai media, koordinator Jikalahari, Made Ali, menilai pemerintah dan Satgas PKH hanya tegas kepada petani kecil dan masyarakat adat, tetapi kehilangan keberanian saat berhadapan dengan perusahaan besar.
“Lahan ribuan hektare dikuasai korporasi dalam atau sekitar kawasan konservasi, tapi yang dikejar justru petani dan warga pendatang,” kritiknya.
MataXpost.comTiada Kebenaran Yang Mendua
Pengamat kebijakan publik Rony Riyansah saat diminta tanggapannya oleh awak media , menjelaskan bahwa kebijakan tumpang tindih serta lemahnya tata batas kawasan konservasi membuat lahan taman nasional mudah dimasuki korporasi.
“Sebagian izin itu tampak legal secara administratif, tapi tidak etis secara ekologis. Tesso Nilo adalah kawasan konservasi, bukan kebun industri,” tegasnya.
Komentar tegas juga datang dari Ade Monchai, Ketua Umum SATU GARIS (Suara Aspirasi Terdepan untuk Gerakan Anti Korupsi, Reformasi, Integritas, dan Supremasi Hukum). Ia menyatakan,
“Keberpihakan hukum terhadap korporasi besar tampak jelas. Satgas PKH dinilai tidak memiliki nyali untuk menegakkan hukum kepada perusahaan-perusahaan ini. Padahal, mereka telah merusak kawasan yang seharusnya dilindungi demi keuntungan segelintir orang. Ini adalah contoh mandulnya satgas PKH dan pembiaran oleh negara.”ucapnya
Sementara itu, pihak PT RAPP dan perusahaan lainnya enggan berkomentar ketika dikonfirmasi. Di sisi lain, Kementerian LHK dan Balai TNTN belum menunjukkan keseriusan dalam menyita kembali lahan konservasi yang sudah digarap oleh korporasi HTI dan sawit tersebut.