MataxPost – Selatpanjang – Satu lagi babak kelam dalam praktik mafia tanah dan peradilan tumpul kembali terjadi. Dalam perkara perdata No. 11/Pdt.G/2025/PN Bls di Pengadilan Negeri Bengkalis, Swandi warga Selatpanjang yang telah menguasai sebidang tanah sejak 2018 dan mengantongi bukti sah berupa SKGR dan IMB justru dikalahkan habis-habisan. Lebih tragis lagi, tiga tergugat yang secara terang-terangan membangun di atas lahannya tanpa alas hak yang sah, malah dimenangkan sebagian dalam gugatan balik mereka. Inilah cermin menyedihkan bagaimana hukum dipelintir untuk melindungi penggarong tanah, menguasai lahan yang bukan pemiliknya. (01/08)
Swandi menggugat empat pihak:
1. Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti,
2. Liong Tjai,
3. Apeng, dan
4. Bin Kian.
Ia menuntut agar tanah miliknya seluas Β±700 meter persegi yang kini dikuasai dan dibangun oleh Tergugat II, III, dan IV dikembalikan, pihak Pemkab Meranti mencabut plang nama atas klaim lahan tersebut, juga karena tidak pernah dijual, dihibahkan, apalagi dilepaskan haknya. Dokumen-dokumen sah yang diajukan Swandi meliputi: SKGR tahun 2004 yang masih tercatat di kelurahan, IMB dari Dinas PU Meranti, serta saksi-saksi sekitar yang menegaskan penguasaan fisik dan administratif tanah sejak puluhan tahun lalu.
Namun dalam putusannya, majelis hakim justruΒ menolak seluruh gugatan Swandi dan mengabulkan sebagian gugatan balik dari Tergugat IβIV. Dari bukti atas persidangan lapangan pihak tergugat 2,3,4 menyatakan, mereka membangun pondasi diatas lahan Swandi karena sudah izin dari lurah,
Pengakuan Ketiga tergugat yang mengaku hanya βmeminjamβ lahan Swandi atas βizin lisanβ dari seorang lurah yang bernama Sri Suryani dwi, didengar oleh ketua majelis hakim lansung serta masyarakat yang menonton persidangan, tanpa bukti tertulis, tanpa dokumen peralihan hak, tanpa akta jual beli, tanpa hibah, dan bahkan tanpa selembar surat keterangan waris, pengakuan Liong Tjai dalam persidangan lapangan tersebut bisa dilihat melalui rekaman vidio amatir dan viral di medsos tiktok X -Post..
Lebih mencengangkan lagi, dalih ini diterima begitu saja oleh majelis hakim seakan menjadi pembenaran bahwa penguasaan oleh para tergugat adalah sah dan tidak melawan hukum. Hakim bahkan menyimpulkan Swandi tidak dapat membuktikan haknya, meski SKGR dan IMB miliknya masih tercatat di kelurahan. Di sisi lain, para tergugat sama sekali tidak memiliki dokumen kepemilikan apa pun sedangkan pihak Pemkab Meranti hanya memiliki sketsa tulisan tangan.
βKalau benar tanah itu milik negara, mengapa tergugat 2,3,4 harus minta izin ke lurah? Kemudian kalau itu tanah negara, lurah tidak punya wewenang memberi izin. Ini akrobat logika hukum yang terang-terangan melawan UU Pokok Agraria dan asas pertanahan,β ujar M. Dedy Arif dari Forum Hukum Rakyat Riau.
Dalam hukum agraria, penguasaan lahan harus dibuktikan dengan alas hak, bukan hanya pengakuan sepihak dan klaim lisan. Bahkan jika tanah itu diakui sebagai tanah negara, maka pengaturannya berada di tangan BPN dan pemerintah daerah, bukan lurah. Fakta bahwa lurah bisa βmeminjamkanβ lahan pribadi tanpa sepengetahuan pemiliknya yang SAH, menunjukkan adanya indikasi, perampasan hak milik orang lain, dan penyalahgunaan jabatan yang rusak parah, dan anehnya justru dilegalkan oleh pengadilan.
Tak kalah lucunya pihak Pemkab Meranti, BPKAD bagian Aset yang menggugat balik dalam kapasitas sebagai Tergugat I, justru tidak pernah mempersoalkan bangunan permanen yang berdiri di atas tanah yang diklaim sebagai asetnya. Bangunan milik Liong Tjai, Apeng, dan Bin Kian (tergugat 2,3,4) tidak pernah diminta dibongkar maupun digugat secara hukum, dugaan kongkalikong antara mereka bertiga dengan Oknum pejabat Pemkab Meranti terlihat jelas dari awal sengketa.
Ini memperkuat dugaan bahwa Pemda hanya dijadikan oleh Liong Tjai,Apeng, dan Bin Kian sebagai βtameng administratifβ untuk meloloskan penguasaan ilegal tersebut. Permainan semacam ini kerap terjadi dalam pola kerja mafia tanah: menggunakan perangkat pemerintah untuk memberi legalitas semu terhadap penyerobotan aset masyarakat.
Swandi adalah korban sekaligus pemilik sah lahan justru diperintahkan oleh putusan pengadilan PN Bengkalis, untuk tidak mengganggu para tergugat, dan dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum. Dugaan kriminalisasi secara perdata. Dalam kacamata hukum, ini bukan sekadar kekeliruan, melainkan preseden berbahaya yang membuka celah luas bagi praktik penyerobotan legal atas hak milik rakyat.
βKalau lurah bisa memberikan izin atas tanah orang lain dan itu dibenarkan hakim, maka habislah hukum agraria kita. Setiap tanah rakyat bisa direbut cukup dengan restu informal pejabat lokal. Ini bukan negara hukum, ini negara mafia,β tegas Dewi Kartika dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
Lebih jauh, ini bukan sekadar perkara perdata biasa, tetapi bukti keterlibatan kekuasaan dalam praktik mafia pertanahan. Seorang pejabat di lingkungan Pemkab Meranti yang tidak ingin disebut namanya mengungkap bahwa salah satu tergugat diduga memiliki hubungan khusus dengan petinggi kabupaten. Ini memperjelas kenapa penguasaan liar itu tidak pernah disentuh oleh instrumen hukum daerah dan malah βdimenangkanβ lewat palu pengadilan.
βMereka jadikan lurah seperti calo tanah. Sekali keluar βizin lisanβ, tanah orang bisa jadi milik siapa saja. Ini pola mafia yang sama beroperasi diberbagai daerah dengan legalitas semuΒ dan hakim yang akan jadi alat pembenarnya, ini tak boleh dibiarkan, dan kami meminta Kejaksaan Tinggi Riau dan Kejaksaan Agung untuk memeriksa HAKIM PN Bengkalis yang menangani perkara ini, ujar Ade Monchai Ketua Umum SATU GARIS.
Putusan PN Bengkalis ini juga bertentangan dengan prinsip hukum keperdataan, asas legalitas, serta jaminan konstitusional atas hak milik. Pasal 28H UUD 1945 dan UU Pokok Agraria jelas menyatakan bahwa negara wajib melindungi kepemilikan atas tanah yang sah. Jika semua itu diabaikan, maka hukum tidak lagi menjadi penjaga keadilan, tapi menjadi alat perampasan hak rakyat.
Melihat kejanggalan hukum, penyimpangan asas, dan dugaan kuat intervensi kekuasaan lokal dalam perkara ini, tiga organisasi sipil menyerukan:
1. Komisi Yudisial segera memeriksa majelis hakim PN Bengkalis yang memutus perkara ini karena diduga melanggar kode etik dan asas logika hukum yang sehat.
2. Kejaksaan dan KPK diminta menyelidiki peran lurah dan oknum Pemkab Meranti dalam penerbitan βizinβ atas tanah yang secara hukum telah dikuasai pribadi, karena mengandung unsur penyalahgunaan wewenang.
3. Mahkamah Agung wajib mengawasi proses banding, mengingat potensi putusan ini menjadi preseden buruk bagi ribuan kasus serupa di seluruh Indonesia.
4. Kementerian ATR/BPN segera melakukan audit tanah atas nama Pemkab Meranti untuk menelusuri aset-aset fiktif dan klaim liar yang digunakan sebagai dasar sengketa.
Putusan ini bukan hanya absurd secara hukum, tetapi juga mengirim sinyal bahaya ke publik: bahwa mafia tanah tidak lagi sekadar bermain di tingkat kelurahan atau birokrasi daerah, melainkan sudah merasuk hingga ke ruang-ruang peradilan. Bila ini dibiarkan, maka sistem hukum Indonesia berisiko tak lagi berpijak pada keadilan dan konstitusi, melainkan pada relasi kuasa, pesanan politik, dan persekongkolan gelap.
βJika putusan Hakim PN Bengkalis ini benar didasarkan pada kongkalikong, dugaan suap, atau tekanan dari pihak berkepentingan, maka kita sedang menyaksikan runtuhnya marwah peradilan yang mestinya menjadi benteng terakhir keadilan rakyat,β tegas Ade
SATU GARIS secara tegas mendesak Kejaksaan Agung dan Komisi Yudisial untuk segera memeriksa oknum HAKIM di PN Bengkalis jika terbukti adanya dugaan Suap,
‘Kami minta Kejaksaan segera menangkap dan adili oknum hakim yang diduga terlibat dalam praktik penyalahgunaan wewenang serta suap dalam putusan ini. Tidak boleh ada kekebalan hukum bagi hakim yang justru mencederai keadilan dengan menjual putusan kepada mafia tanah. Apabila dugaan ini benar terbukti, maka hukuman maksimal wajib diberikan demi memulihkan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan”, imbuh Ade
Kasus sengketa tanah antara Suandi dan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti telah membuka tabir dugaan permainan mafia tanah yang melibatkan oknum pejabat hingga aparat penegak hukum. Putusan Pengadilan Negeri Bengkalis yang dinilai janggal tidak hanya menyisakan pertanyaan besar soal keadilan hukum, tetapi juga memunculkan dugaan kuat adanya suap dan persekongkolan sistematis.
Jika aparat penegak hukum tidak segera bertindak, bukan mustahil praktik-praktik gelap seperti ini akan semakin merajalela, mencederai rasa keadilan rakyat, dan menghancurkan kepercayaan publik terhadap lembaga hukum. Masyarakat kini menanti sikap tegas Kejaksaan dan Komisi Yudisial untuk mengusut dan menindak tegas semua pihak yang terlibat, termasuk hakim yang diduga menyalahgunakan kewenangannya.
Disclaimer:
Berita ini disusun berdasarkan hasil investigasi lapangan, dokumen hukum, dan pernyataan berbagai narasumber yang memiliki kredibilitas. Segala bentuk dugaan, tudingan, dan analisis yang dimuat dalam artikel ini masih dalam ranah investigatif dan belum menjadi kesimpulan hukum yang final, kecuali dinyatakan oleh lembaga peradilan yang berwenang. Redaksi X Post tetap membuka ruang klarifikasi dari pihak-pihak yang disebut dalam pemberitaan ini sesuai dengan prinsip jurnalisme yang berimbang dan beretika