Pekanbaru – Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun 2025 di Provinsi Riau kembali mencoreng dunia pendidikan. Di tengah komitmen manis dari Kepala Balai Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP) Riau, Dr. Nilam Sari, tentang keadilan dan transparansi, justru ditemukan dugaan kuat praktik jual beli bangku di berbagai sekolah negeri favorit. Komitmen itu kini dinilai hanya sebatas formalitas yang tak sejalan dengan realita lapangan. (08/07)
Kasus mencolok terjadi di SMAN 1 Pekanbaru. Seorang siswa bernama Hani Amalia Putri, berasal dari luar kota dan tidak tercatat sebagai peserta seleksi online, tiba-tiba bisa lulus dan bahkan telah mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Nama siswa ini tidak pernah tercantum di pengumuman jalur manapun, memunculkan dugaan adanya “siswa siluman” yang disisipkan lewat jalur khusus oleh oknum tertentu.
Tim media yang menelusuri ke berbagai sekolah favorit seperti SMAN 1, SMAN 8, dan lainnya mendapati pengakuan dari para kepala sekolah bahwa seluruh proses finalisasi penerimaan siswa baru hanya bisa dilakukan atas perintah Dinas Pendidikan Provinsi.
“Kami hanya menjalankan. Semua titipan itu langsung dari Kadisdik atau Kabid SMA. Kami tak bisa tolak, karena itu perintah langsung,” ungkap seorang kepala sekolah yang tidak disebutkan namanya demi keamanan
Praktik jual beli bangku pun disebut-sebut berlangsung secara vulgar. Harga yang ditawarkan untuk masuk melalui “jalur belakang” berkisar antara Rp25 juta hingga Rp50 juta, tergantung posisi zonasi dan kedekatan dengan oknum di dinas. Siswa-siswa yang seharusnya berhak diterima justru tersingkir karena tak punya akses atau uang.
Ketua Umum SATU GARIS (Suara Aspirasi Terdepan untuk Gerakan Anti Korupsi, Reformasi, Integritas, dan Supremasi Hukum), Ade Monchai, menyebut praktik ini sebagai bentuk korupsi terstruktur yang menghancurkan keadilan dalam dunia pendidikan.
“Kalau sistemnya terkunci, yang pegang kunci itu siapa? Ya Kadisdik dan Kabid SMA. Mereka punya kuasa penuh. Kepala sekolah hanya disuruh terima,” tegasnya.
Ia juga menuntut Ombudsman RI, Kejaksaan Tinggi, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tangan. Menurutnya, praktik semacam ini bukan hanya menzalimi anak-anak yang jujur, tapi juga menciptakan ketidakpercayaan total terhadap institusi pendidikan pemerintah.
“Jika ini terus dibiarkan, Riau akan mencetak generasi yang tumbuh dari sistem rusak dan korup,” tegas Ade.
SATU GARIS juga secara tegas mendesak KPK dan Kejaksaan Agung untuk menelusuri secara mendalam aliran dana yang diduga mengalir ke oknum pejabat di Dinas Pendidikan Riau. Indikasi kuat adanya transaksi tunai maupun non-tunai dalam proses jual beli bangku harus diusut hingga ke akar, termasuk dugaan keterlibatan pihak ketiga sebagai makelar penerimaan siswa titipan.
“SATU GARIS mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Tinggi Riau, dan PPATK untuk segera menelusuri aliran dana mencurigakan yang diduga berasal dari praktik jual beli bangku sekolah. Pemeriksaan tidak hanya harus dilakukan terhadap rekening pribadi Kadisdik dan Kabid SMA, tetapi juga terhadap rekening keluarga dekat mereka serta pihak-pihak ketiga yang berpotensi menjadi perantara. Transparansi keuangan harus dibuka secara menyeluruh agar tidak ada ruang bagi mafia pendidikan bersembunyi di balik jabatan publik.”
Sementara itu, Kepala BPMP Riau, Dr. Nilam Sari, yang sebelumnya menyatakan bahwa BPMP hadir untuk menjamin akuntabilitas dan keadilan dalam pelaksanaan SPMB, belum memberikan tanggapan resmi terhadap berbagai temuan di lapangan. Pernyataannya kini dinilai tak lebih dari pemanis birokrasi yang tidak menyentuh akar persoalan.
Kadisdik Riau Erisman Yahya sendiri memilih bungkam. Permintaan wawancara yang dikirim redaksi tidak dijawab, dan hingga berita ini diturunkan, belum ada klarifikasi resmi yang dikeluarkan pihak dinas.
Kepala Bidang SMA Disdik Riau, Nasrul, saat dikonfirmasi oleh awak media, hanya memberikan jawaban singkat.
“Maaf, kondisi kesehatan drop lagi, sudah dua hari diopname. Insyallah setelah sehat boleh kita berjumpa. Terima kasih,” tulisnya melalui pesan singkat. Tidak ada pernyataan yang membantah ataupun menjelaskan dugaan keterlibatannya dalam skandal ini.
Di tengah semua ini, suara publik semakin nyaring mendesak agar sistem PPDB yang seharusnya berpihak pada keadilan anak-anak bangsa, tidak terus dikooptasi oleh elit birokrasi yang menjadikan pendidikan sebagai ladang transaksi. Bangku sekolah bukan barang dagangan.