Pekanbaru, 4 Juli 2025 – Rencana aksi damai menolak dugaan kecurangan dalam Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) 2025 di Provinsi Riau secara mengejutkan batal digelar. Aksi yang sedianya berlangsung di dua titik strategis Kantor Gubernur Riau dan DPRD Provinsi Riau dengan estimasi 500 peserta, urung dilaksanakan tanpa alasan resmi.
Ironisnya, sejumlah LSM dan media yang selama ini vokal menyuarakan keadilan pendidikan justru bungkam dan menghilang, memunculkan dugaan bahwa skandal ini telah “diamankan” oleh kekuatan tak kasat mata.
Tuntutan yang Gagal Disuarakan
Dua tuntutan utama dalam aksi tersebut menyangkut hajat hidup orang banyak:
1. Gubernur Riau diminta menjamin pemerataan hak pendidikan secara adil dan transparan.
2. Plt Kadis dan Sekretaris Dinas Pendidikan Riau didesak dicopot karena dinilai gagal menjalankan sistem seleksi yang akuntabel.

Rencana aksi ini sebelumnya diinisiasi oleh gabungan organisasi seperti Aliansi Media Indonesia (AMI), Solidaritas Pers Indonesia (SPI), Forum Wartawan Pendidikan (FORWADIK), Forum Pers Independen Indonesia (FPII), serta beberapa elemen masyarakat lainnya. Beberapa tokoh yang terlibat dan menandatangani surat pemberitahuan aksi di antaranya I.S. (Ketua Umum DPP AMI), M.N. (Ketua FORWADIK), S.S. (Ketua Umum SPI), D.G. (Ketua Setwil FPII), K.Z. (Ketua Umum LSM Berantas), J.R. (Ketua DPD LSM Bara Api Riau), dan T.S. (Ketua Umum LSM Fortaran).

Namun, menjelang pelaksanaan, tak satu pun dari kelompok tersebut muncul di lokasi. Ketidakhadiran mereka menimbulkan spekulasi kuat bahwa terjadi pembungkaman, tekanan, atau bahkan transaksi politik di balik layar.
Panggilan WhatsApp yang Mencurigakan
Fakta mencolok diungkap oleh Ade Monchai, owner media siber kritis dan viral Mataxpost (X-Post). Ia dikenal publik sebagai sosok independen yang vokal mengangkat isu-isu sensitif di Provinsi Riau. Meski tidak tergabung dalam kelompok penggagas aksi, ia secara terbuka mendukung gerakan moral menolak ketimpangan dalam sistem pendidikan.
Kepada wartawan, Ade mengungkap bahwa pada Rabu malam, 2 Juli 2025, pukul 19.49 WIB, ia menerima panggilan suara melalui grup WhatsApp pribadinya dari dua tokoh: seorang Ketua LSM dan Ketua Aliansi Pers.
> “Saya angkat teleponnya, mereka menyebut inisial ‘Kh’ sambil membahas rencana aksi. Nada pembicaraan mengarah pada ‘akan ada negosiasi’. Saya bilang, ‘Saya bukan Kh, saya Ade Monchai.’ Langsung teleponnya dimatikan. Dia berdalih mau hubungi awak media dari TV One,” jelas Ade.
Satu oknum lainnya yang masih terhubung berkata, “Oiya Monchai, aku matikan dulu ya.” Saat Ade bertanya kenapa, jawabannya justru semakin menegaskan adanya sesuatu yang ditutup-tutupi.
> “Ini soal aksi demo besok,” katanya, lalu mengakhiri panggilan.
Percakapan tersebut menimbulkan spekulasi dan dugaan bahwa aksi damai bukan dibatalkan karena alasan teknis, melainkan karena campur tangan elit entah berupa tekanan, transaksi, atau kompromi politik.
Tokoh masyarakat Riau, Erianto, menilai diamnya kelompok sipil sebagai sinyal bahaya bagi demokrasi dan kebebasan berpendapat.
> “Kemarin mereka gembar-gembor soal keadilan pendidikan, hari ini justru diam. Seolah ada kekuatan besar yang meredam suara mereka. Ini berbahaya untuk masa depan demokrasi kita,” tegasnya.
Sementara itu, aktivis perempuan dan pemerhati kebijakan publik, Nuraini Syafril, menyampaikan kritik pedas terhadap LSM dan media yang memilih bungkam.
> “Yang dikorbankan adalah anak-anak dari keluarga biasa. Kalau suara-suara kritis bungkam, wajar masyarakat anggap mereka cuma badut yang galak saat lapar,” tegasnya.
Sejumlah tokoh kini menyerukan agar aparat penegak hukum turun tangan untuk menyelidiki kemungkinan adanya praktik transaksional dalam pembatalan aksi tersebut. Dugaan bahwa sebagian aktivis dan media disuap atau ditekan untuk membatalkan gerakan dinilai sangat serius dan tak bisa dibiarkan menjadi misteri.
> “Kalau benar ada uang yang mengalir demi membungkam gerakan moral, maka ini bukan sekadar pelanggaran etika. Ini kejahatan publik yang harus diusut. Telusuri siapa yang membayar, berapa jumlahnya, dan siapa penerimanya,” ujar H.S., tokoh pemuda Riau.
Pakar hukum dari Universitas Riau RR., juga menegaskan bahwa kejadian ini berpotensi mengandung unsur suap, gratifikasi, hingga intervensi terhadap kebebasan berpendapat, yang semuanya masuk kategori pidana.
> “Jika terbukti ada pihak yang memberikan atau menerima imbalan untuk membatalkan aksi, itu bisa dijerat dengan UU Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 5 dan 11 tentang suap kepada penyelenggara kegiatan,” ujarnya.
Lebih jauh, publik juga menuntut transparansi dari para pihak yang semula getol mengkritik sistem SPMB, namun kini justru bungkam. Masyarakat mendesak agar pihak berwenang membuka jalur pelaporan khusus bagi whistleblower yang mengetahui adanya dugaan transaksi dalam skandal ini.
Skandal SPMB Riau 2025 kini telah menjadi simbol gagalnya negara menjamin keadilan sosial. Sistem seleksi yang dinilai diskriminatif dan tidak transparan memicu ketidakpercayaan publik. Lebih buruk lagi, diamnya aktor-aktor yang semestinya menjadi penjaga suara rakyat menunjukkan bahwa sebagian LSM dan media telah kehilangan integritas.
> “Kalau mereka benar-benar peduli pada anak bangsa, seharusnya mereka berdiri bersama rakyat hari ini,” kata Ibrahim, salah satu orang tua siswa di Pekanbaru yang kecewa dan merasa dikhianati.
Hingga berita ini dirilis, tidak ada satu pun klarifikasi atau pernyataan resmi dari pihak LSM maupun media yang disebut-sebut sebelumnya berada di garis depan isu ini. Semuanya memilih bungkam. Seribu bahasa.
Tidak ada komentar