MATAXPOST | PEKANBARU – Dunia maya diguncang ledakan provokasi lintas negara. Tradisi Pacu Jalur, warisan budaya takbenda dari Kuantan Singingi, Riau, mendadak viral dan memicu kemarahan publik setelah sejumlah akun TikTok dan media sosial menyebarkan klaim bahwa Malaysia mengakui Pacu Jalur sebagai milik mereka. Netizen Indonesia langsung bereaksi keras. Tapi fakta mengejutkan justru terungkap: narasi itu diduga kuat bukan berasal dari Malaysia, melainkan dari akun-akun yang dibuat di Indonesia, bahkan ditengarai berasal dari Riau sendiri. (09/07)
Akun investigatif @siprandi2 mengungkap bagaimana akun penyebar klaim palsu tersebut tidak memiliki identitas jelas, dengan aktivitas digital yang mengarah ke wilayah Indonesia.
“This is INDonesIA sendiri hoax sendiri balas.. MENYALA STANDARD 78 KUUU video sepi?? This is fakta boss!!” tulis akun tersebut dalam caption yang viral.
Namun yang lebih mencurigakan, media-media daring lokal dan nasional tertentu secara mendadak dan nyaris bersamaan mempublikasikan artikel dengan narasi serupa: “Pacu Jalur diklaim Malaysia“, “Malaysia akui budaya Riau“, dan sejenisnya tanpa ada verifikasi atau sumber yang dapat dibuktikan berasal dari pemerintah atau media Malaysia, secara nyata klaim tersebut hanya dari sebuah komentar.
Fakta ini menimbulkan dugaan kuat bahwa isu ini bukan kejadian alamiah viral, melainkan bagian dari skenario yang dirancang untuk menaikkan perhatian publik secara sistematis, dengan motif agar daerah atau tokoh-tokoh pemerintahan di Riau menjadi sorotan nasional dan internasional. Padahal konten pacu jalur tersebut sudah viral di manca negara tanpa harus dibuat heboh, Apalagi, Pacu Jalur memang akan kembali digelar dalam waktu dekat, dan seringkali menjadi ajang unjuk gigi politik lokal maupun pusat.
Ketua Umum SATU GARIS, Ade Monchai, menyebut peristiwa ini sebagai sabotase informasi publik yang berbahaya.
“Ini bukan sekadar prank TikTok, ini potensi orkestrasi digital. Ketika akun anonim membuat provokasi, dan beberapa media langsung mengangkat isu yang sama dalam waktu hampir bersamaan, lalu viral di seluruh Indonesia maka, kita patut curiga, siapa di belakangnya dan apa motifnya? Apa pengalihan isu? saat ini SATU GARIS lagi gencarnya menyuarakan Skandal SPMB 2025 di Riau, ribuan anak bangsa terancam putus sekolah,“ujar Ade.
Menurutnya, ada dua kemungkinan motif utama: pertama, agar daerah Riau—khususnya Kuansing atau Pemprov Riau—viral dan jadi bahan pujian atas ‘resistensi’ terhadap klaim Malaysia, padahal provokasinya fiktif. Kedua, untuk kepentingan pencitraan pejabat atau oknum tertentu yang ingin tampil sebagai pembela budaya atau tokoh lokal yang peduli warisan adat, dan sebagai langkah politik.
“Kami menduga kuat ada skenario yang sengaja dimainkan untuk mendongkrak popularitas pribadi atau kelompok tertentu melalui isu Pacu Jalur ini. Mereka menciptakan provokasi, lalu berpura-pura jadi penyelamat budaya. Ini bukan semangat melayu, ini strategi murahan yang paten demi viral!”
Ia juga menambahkan:
“Kalau benar hanya ingin Pacu Jalur viral, kenapa harus lewat cara membenturkan dua bangsa? Ini sangat berbahaya. Kami minta Mabes Polri dan Kominfo segera lacak IP akun-akun tersebut. Jangan sampai budaya kita dijadikan alat mainan pencitraan!”
Namun langkah ini berpotensi berbalik arah. Praktik semacam ini bisa melanggar Undang-Undang ITE, khususnya Pasal 28 tentang penyebaran berita bohong yang menyesatkan dan dapat memicu konflik. Jika dilakukan dengan niat menyulut emosi dan membentuk opini publik palsu, maka pelaku juga bisa dijerat Pasal 14 dan 15 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Penyiaran Berita Bohong, dengan ancaman penjara hingga 10 tahun.
Tak hanya itu, praktik semacam ini juga mempermainkan reputasi dua bangsa serumpun Indonesia dan Malaysia demi kepentingan sensasionalisme. Jika akun-akun itu terbukti menggunakan identitas palsu sebagai warga Malaysia dan memancing keributan antarnegara, maka hal itu dapat dikategorikan sebagai penghasutan digital lintas batas.
Karena itu, SATU GARIS secara resmi mendesak Mabes Polri, khususnya Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim, untuk menelusuri sumber IP address dari akun-akun penyebar klaim tersebut, termasuk melacak keterkaitan dengan media yang terindikasi memainkan isu ini secara serempak. Desakan juga ditujukan kepada Kominfo, Dewan Pers, dan BSSN agar membuka jejak digital serta pola interaksi akun dan media terkait.
“Kalau memang benar ini permainan dari dalam, maka ini bukan lagi urusan budaya ini penipuan publik berjamaah. Pelakunya harus dibuka ke publik, siapa pun dia, buzzer, media, atau bahkan oknum pemerintahan,” tegas Ade.
Redaksi kami juga menelusuri dan menemukan bahwa sebagian besar media yang mengangkat isu klaim Malaysia tidak mencantumkan tautan ke media asal negeri jiran, dan banyak menggunakan “komentar netizen” sebagai dasar berita. Pola seperti ini patut didalami lebih lanjut oleh aparat penegak hukum dan pengawas pers.
Dalam dunia digital, tidak semua yang viral itu nyata. Kadang, viral adalah hasil perhitungan. Dan ketika budaya dijadikan alat dagang sensasi, yang hancur bukan hanya reputasi, tapi juga martabat bangsa.
Tidak ada komentar