Pekanbaru, 7 Juli 2025 -Tesso Nilo yang sekarat. Lebih dari 63.000 hektare hutan alam hilang, gajah Sumatera kehilangan habitat, dan negara dirampok dalam senyap. Di balik bisingnya slogan pelestarian, mengendap jaringan korupsi kehutanan yang membentang dari korporasi, elite politik, hingga yayasan konservasi yang diam seribu bahasa: Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo (YTTN).
Indonesia sedang menghadapi salah satu skandal lingkungan dan korupsi kehutanan paling sistemik dalam dua dekade terakhir. Kawasan konservasi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), yang semestinya menjadi benteng terakhir keanekaragaman hayati di Sumatera, telah rusak parah akibat perambahan, pembalakan liar, dan alih fungsi hutan yang berlangsung secara terstruktur, masif, dan terorganisir selama lebih dari 15 tahun.
Di balik hilangnya lebih dari 63.000 hektare hutan sejak tahun 2001, termasuk area habitat penting bagi gajah dan harimau Sumatera, terbongkar jejaring kejahatan ekologi berskala nasional yang melibatkan elite politik, yayasan konservasi, aparat negara, dan korporasi sawit serta Hutan Tanaman Industri (HTI) raksasa, yang mungkin terlupakan oleh banyak orang bahwa ada sebuah yayasan berdiri tanpa tersentuh oleh hukum, yaitu YTTN (Yayasan Taman Tesso Nilo)
Secara hukum, Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo (YTTN) memang bukan penanggung jawab utama atas kawasan TNTN. Pengelolaan dan perlindungan kawasan konservasi sepenuhnya berada di bawah kewenangan Balai Taman Nasional Tesso Nilo (BTNTN), unit pelaksana teknis dari Dirjen KSDAE – KLHK.
Dalam konteks ini, kehadiran Rusli Zainal (mantan Gubernur Riau dan terpidana korupsi kehutanan) sebagai pendiri atau pengarah utama YTTN, menguatkan dugaan bahwa YTTN bukan sekadar mitra teknis, melainkan alat politis-ekonomis untuk memfasilitasi ekspansi perusahaan dalam kawasan konservasi.
“Tidak mungkin yayasan ini berdiri tanpa kepentingan, bila pendirinya adalah figur yang secara historis pernah mengeluarkan ratusan izin pemanfaatan hutan kepada korporasi, jejak rekam aktivitas yang sarat konflik kepentingan, YTTN bukan lagi mitra konservasi. Ia menjelma sebagai operator halus dari kolonialisasi korporasi atas hutan lindung Tesso Nilo, dengan label yayasan sebagai tameng etis,” ungkap Ade Monchai.
Ketua Umum SATU GARIS, Ade Monchai, menyebut kerusakan Tesso Nilo sebagai bentuk “korupsi kehutanan terstruktur”. Ia menegaskan, kerugian negara dari hilangnya kayu Meranti, Ramin, dan pohon-pohon langka lainnya yang dibalak secara ilegal ditaksir mencapai lebih ratusan triliun. Jumlah ini merujuk pada kalkulasi nilai potensi kayu per hektare dikalikan dengan luas hutan alam yang telah hilang berdasarkan data Global Forest Watch dan KPK (laporan 2012, 2021).
“Ini bukan sekadar perambahan. Ini adalah kejahatan korporasi yang difasilitasi oleh yayasan konservasi, ditutup-tutupi oleh aparat, dan dibiayai melalui skema CSR perusahaan yang penuh konflik kepentingan,” tegas Ade dalam konferensi pers di Pekanbaru.
Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo (YTTN), yang didirikan pada 2006 dengan misi pelestarian, kini dituding sebagai salah satu aktor kunci dalam pembiaran dan bahkan fasilitator kerusakan kawasan konservasi. Dari informasi data Pendiri awal yayasan ini adalah mantan Gubernur Riau Rusli Zainal, yang kemudian dipenjara bersama rentetan kasus Bupati Pelalawan dan Pejabat Kementerian LHK , karena korupsi kehutanan, dibawah kekuasaan nya izin pelepasan hutan dan izin pengelolaan hutan diterbitkan.
Dalam struktur pengurus yayasan, nama-nama tokoh politik dan birokrat mencolok, termasuk Saleh Djasit, Drh. Chaidir, dan Dr. Mubariq Ahmad. Sejak 2011, operasional harian YTTN dijalankan oleh Yuliantony, yang dikenal luas sebagai figur sentral dalam semua program rehabilitasi yang bekerja sama dengan korporasi.
Meski menerima dana dari lembaga internasional seperti WWF, UNDP, dan Ford Foundation, serta perusahaan-perusahaan besar, YTTN tidak pernah diaudit secara terbuka. Tidak ada laporan publik yang tersedia terkait penggunaan dana hibah sejak 2009. SATU GARIS menduga kuat adanya penggelapan dana konservasi dan kontribusi siluman dari korporasi, terutama perusahaan yang memiliki catatan buruk terhadap kawasan hutan.
CSR yang Menyuburkan Greenwashing
Dalam berbagai laporan tahunan YTTN dan dokumen publik, tercatat kerja sama dengan PT RAPP (anak usaha APRIL Group) dan Wilmar dalam program rehabilitasi. Padahal, keduanya sempat ditetapkan sebagai tersangka perusakan hutan alam oleh Polda Riau pada 2007, sebelum kasusnya dihentikan secara kontroversial dengan SP3.
“Greenwashing itulah yang terjadi. Perusahaan merusak hutan, lalu setor CSR ke yayasan, dan dapat citra bersih. Yayasan ikut menikmati dana, tapi tutup mata atas kejahatan yang nyata,” ujar seorang mantan relawan YTTN pada 2013 yang kini aktif di Eyes on the Forest.
YTTN memang bukan lembaga penegak hukum, tetapi sebagai mitra resmi pemerintah dan penerima dana konservasi, ia memiliki tanggung jawab moral dan hukum atas kerusakan di kawasan Tesso Nilo. Dalam tata kelola konservasi, pasif terhadap kejahatan sama saja dengan ikut berkontribusi.
Penegakan Hukum Mandek, Aktor Lama Bebas Berkeliaran
Selama lebih dari 15 tahun, dari 2006 hingga 2025, tidak ada satu pun pejabat BKSDA Riau yang diperiksa dalam kasus kehancuran Tesso Nilo. SATU GARIS menilai hal ini sebagai bentuk kelalaian sistemik dan persekongkolan diam-diam antara pejabat, yayasan, dan korporasi.
“Jika tutupan hutan hilang dan penindakan hukum nihil, maka yayasan dan pejabat dari masa ke masa harus diperiksa secara etik dan pidana,” ujar Ade Monchai.
Pada 2007, Polda Riau di bawah Kapolda Irjen Sutjiptadi menetapkan delapan perusahaan sebagai tersangka illegal logging, yang menyuplai kayu ke PT RAPP. Namun setelah Kapolda diganti oleh Hadiatmoko, semua kasus dihentikan dengan SP3, meski barang bukti (BB) dan alat bukti (AB) lengkap. Kasus ini diduga dihentikan karena tekanan politik dan korporasi,
7 perusahaan ini juga pernah masuk dalam daftar tersangka oleh KPK, yaitu PT Madukoro, CV Alam Lestari, CV Harapan Jaya, CV Putri Lindung Bulan, CV Tuah Negeri, CV Bhakti Praja Mulia dan CV Mutiara Lestari.
Nama Ir. Rosman, mantan GM Forestry PT RAPP, juga kembali mencuat. Ia masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) sejak 2008 oleh KPK dalam kasus korupsi kehutanan di Riau. Hingga kini, ia belum tertangkap. Status DPO Rosman masih tercatat di laman resmi KPK hingga 2023.
Rosman adalah General Manager Forestry PT RAPP. Dia melarikan diri atau dalam pencarian KPK saat menjadi saksi dalam perkara terpidana Tengku Azmun Jafar, Asral Rachman, Syuhada Tasman, Burhanudin Husin dan Rusli Zainal.
Status Terbaru: RAPP Jadi Tersangka, Tapi Belum Ada Orangnya
Pada Februari 2025, Kejaksaan Agung menetapkan PT RAPP sebagai tersangka korporasi dalam kasus korupsi kehutanan dan penguasaan kawasan hutan tanpa izin. Namun hingga saat ini, belum diumumkan siapa saja individu yang bertanggung jawab secara pidana.
SATU GARIS menilai penetapan korporasi tanpa individu adalah strategi pelemahan kasus. Mereka mendesak agar jaksa segera menyeret direksi dan komisaris RAPP serta pihak-pihak yayasan yang terlibat. Publik saat ini mendesak Penegakkan Hukum dan Ekologi terhadap:
1.Memeriksa Rusli Zainal, Saleh Djasit, Drh. Chaidir, dan Dr. Mubariq Ahmad, Yuliantony, dan seluruh pengurus YTTN dari masa ke masa;
2.Melakukan audit forensik keuangan YTTN dari 2009–2024;
3.Memeriksa keterlibatan Kepala BKSDA Riau dan jajarannyajajarannya
4.Memeriksa Pejabat Balai Taman Nasional Tesso Nilo dan Pejabat Dirjen KSDAE LHK
5.Menetapkan tersangka aktor intelektual dan pelaku lapangan, serta menyeretnya hingga ke pengadilan negara.
6.Membekukan operasional YTTN sampai hasil audit diumumkan;
7.Menyita aset pejabat terkait dan pengurus yayasan untuk pemulihan kerugian negara.
Berikut nama Korporasi yang Diduga Merusak Tesso Nilo:
1 PT RAPP (APRIL Group) HTI Tersangka (2025)
2 PT Wilmar Sawit SP3 (2008)
3 PT Indosawit Subur (Asian Agri) Sawit Diduga mencaplok kawasan
4 PT Merbau Pelalawan Lestari Logging SP3 (2008)
5 PT Musim Mas Sawit Belum ditindak
6 PT Hutani Sola Lestari HTI Zona konflik
7 PT Siak Raya Timber Logging Aktif di konsesi hutan
Kesimpulan: Tata Kelola Konservasi Gagal Total
Jika lembaga konservasi seperti YTTN justru menjadi kaki tangan korporasi perusak hutan, maka konsep konservasi berbasis kemitraan publik-swasta telah gagal. Data dari Eyes on the Forest (2022) menyatakan bahwa sejak perluasan kawasan Tesso Nilo tahun 2009 dari 38.000 hektare menjadi 81.000 hektare, tingkat kehilangan hutan primer meningkat hingga 270%.
“Kami menduga bahwa yayasan bukan hanya lalai, tapi terlibat langsung dalam proses perizinan terselubung dan pemanfaatan dana korporasi,” ujar Ketua Umum SATU GARIS
SATU GARIS bersama masyarakat sipil mendesak agar Kejaksaan Agung, KPK, dan KLHK segera menyelidiki dan mengusut keterlibatan semua pihak. Penegakan hukum tak boleh hanya menyasar pelaku lapangan, tapi juga elite politik, pengurus yayasan, dan pejabat yang selama ini menikmati hasil kejahatan kehutanan.
Jika kejahatan ini dibiarkan, maka keadilan ekologis tinggal narasi kosong. Negara harus berpihak pada hutan, rakyat, dan generasi mendatang.
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak Yayasan TNTN, BBKSDA Riau, maupun perusahaan-perusahaan yang disebutkan.
Sumber Data dan Rujukan:
Laporan WWF Indonesia (2013, 2017)
Data hotspot eAtlas (2001–2023)
Laporan Greenpeace Asia Tenggara (2019)
Global Forest Watch & Eyes on the Forest
Laporan ICW dan KPK tentang kerugian kehutanan (2012, 2021)
Dokumen struktur YTTN (2006–2024)
Arsip pejabat BBKSDA Riau (2007–2025)
Surat DPO KPK atas nama Ir. Rosman
Investigasi SATU GARIS (2023–2025)
Wawancara aktivis lingkungan, mantan relawan YTTN.